Topswara.com -- ‘Seperti ngontrak di rumah sendiri’. Ungkapan yang kedengarannya sangat pas dengan kondisi negeri tercinta Indonesia ini. Kekayaan negeri justru sulit dinikmati rakyat pribumi.
Dengan melimpah ruahnya kekayaan alam sebagaimana Allah karuniakan melimpah emas di Papua, nikel di Sulawesi dan kekayaan alam di pulau lainnya tidak terkecuali pulau Kalimantan yang kaya akan hutan, gas alam hingga batubara.
Ditambah lagi dari Sabang sampai Merauke berjajar kepulauan yang banyak memiliki area perairan dengan keindahan dan Sumber Daya Alam seperti ikan, tanaman dan sumber mineral. MasyaAllah, Alhamdulillah.
Namun di samping segala kekayaan yang tersedia sejak Indonesia merdeka kemiskinan selalu jadi PR besar bagi rezim penguasa. Sungguh ironi, segala hasil duniawi negeri serba dikapitalisasi untuk kepentingan kelompok pribadi.
Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan adanya target pemerintah menurunkan angka kemiskinan 1 persen per tahun dan akan mencapai 0 persen warga yang miskin ekstrem pada 2024 (kumparan.com).
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono memberikan tanggapan bahwa sangat sulit untuk mencapai target yang diserukan pemerintah. Mengingat, angka kemiskinan ekstrem pada Maret 2022 masih mencapai 2,04 persen dan penduduk miskin pada September 2022 sebanyak 26,36 juta jiwa atau sebesar 9,57 persen dari total penduduk Indonesia (kontan.co.id 30/1/2023).
Per September 2022 BPS mencatat Garis Kemiskinan (GK) di Indonesia ialah Rp.535.547 per kapita per bulan yang terhitung dari rata-rata pengeluaran masyarakatnya (cnbcindonesia.com 17/01/2023).
Padahal makin hari biaya untuk memenuhi kebutuhan pokok makin mahal, dari mulai biaya pendidikan, kesehatan, listrik, transportasi, air bersih, BBM dan sebagainya. Ketimpangan sosial antara Si Miskin dan Si Kaya pun kerap ditemui. Ada yang berpenghasilan mencapai miliaran rupiah di samping mereka yang tak memiliki se peserpun disaat yang sama.
Tontonan kehidupan glamour yang disuguhkan media justru makin membangun gap sosial yang lebar hingga problem sosial pun tak terelakkan, mulai dari banyaknya pelajar putus sekolah , kasus kriminalitas, perceraian, stunting juga kesehatan mental menerpa kehidupan masyarakat.
Beberapa program kebijakan yang diklaim untuk menekan angka kemiskinan seperti perluasan target dan kenaikan anggaran program, transformasi penyaluran bantuan, integrasi Bansos berdasarkan BDT, Extraordinary Pemulihan Ekonomi Nasional melalui Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2020, hingga Instruksi Presiden Nomor 04 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem tak menunjukkan hasil signifikan.
Pihak Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2010 menilai program pengentasan kemiskinan seperti BOS, jatah raskin, BLT dan PNPM tidak secara nyata terserap oleh masyarakat kurang mampu (lipi.go.id).
Program tersebut tampak hanya dapat meredakan gejala yang bersifat sementara dan tidak menyentuh akar permasalahan badai kemiskinan yang melanda. Belum lagi jika sumber anggaran yang digunakan berasal dari utang ribawi, maka hanya akan menambah permasalahan dengan tergadainya kemandirian bangsa dalam mengelola negara.
Sejatinya badai kemiskinan yang terus mengintai bahkan di seluruh belahan dunia adalah produksi dari sistem ekonomi kapitalis liberal yang berasaskan sekularisme. Sistem ini meniscayakan pihak yang memiliki modal mendapat keistimewaan peran menguasai Sumber Daya Alam suatu negara yang pada hakikatnya milik masyarakat umum.
Negara yang seharusnya dapat secara mandiri mengelola kekayaan alam untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat justru terlumpuhkan dengan segala kebijakan yang terlahir dari sistem kapitalisme sebab telah tersandara kepentingan pemilik modal.
Sistem ini pulalah yang mencetak individu tak terkecuali penguasa yang hanya berorientasi untuk mendapatkan keuntungan materi tanpa memandang aspek halal dan haramnya.
Di samping itu, sistem politik demokrasi membenarkan langkah koalisi pemangku kebijakan dengan siapapun bahkan meski menjadikan rakyat terzalimi, penguasa lebih berpihak pada pengusaha, sebagaimana dicetuskannya undang-undang Cipta Kerja, bak karpet merah bagi pengusaha di tengah buruh yang nasibnya terus terlunta.
Oleh karena itu jika ditelisik masalah kemiskinan dan dampak yang mengitarinya akan terus ada kecuali jika paradigma politik ekonomi ala kapitalisme liberal ditinggalkan. Kemudian mengembalikan tatanan dunia berdasarkan petunjuk dari Zat Pencipta Yang Maha Sempurna pemilik semesta, yakni dengan sistem Islam.
Buah penerapannya menjadi tinta emas dalam sejarah peradaban umat manusia. Pengaplikasian Islam telah terbukti selama belasan abad berhasil melahirkan peradaban mulia dan membentuk masyarakat yang dilingkupi kesejahteraan.
Para penguasa akan melaksanakan tugas kepemimpinannya atas dorongan taqwa, dengan kesadaran bahwa kekuasaan adalah amanah yang akan dipertanggung jawabkan di hadapan Pencipta kelak.
Menyoal sumber daya alam, haram bagi negara menyerahkan kepemilikannya pada individu atau asing karena sejatinya sumber daya alam tersebut adalah milik rakyat yang wajib dikelola oleh negara secara mandiri untuk dikembalikan lagi guna kepengurusan kepentingan masyarakat luas.
Islam akan menutup celah dikuasainya kekayaan negara hanya untuk segelintir orang atau pihak korporasi asing. Pengaturan tentang kepemilikan, distribusi kekayaan, sistem moneter dan keuangan, sistem perdagangan dan polugri, sistem hukum dan sanksi, semua dijalankan berdasarkan syariat Islam sebagaimana petunjuk dalam Al-Qur'an.
Dalam Islam tugas utama negara adalah melayani kepentingan rakyat dan memenuhi kebutuhannya secara adil dan merata negara wajib memastikan kebutuhan pokok masyarakat seperti pangan, sandang, dan papan termasuk juga pendidikan dan kesehatan dapat dengan mudah dijangkau oleh seluruh lapisan rakyat bahkan diberikan secara cuma-cuma.
Wajib pula bagi negara untuk memastikan para kepala keluarga dapat melaksanakan kewajibannya untuk mencari nafkah dengan mempekerjakan atau memberikan modal untuk membuka usaha. Hal tersebut dapat diakomodir oleh negara dengan sumber anggaran yang berasal dari Baitul Mal hasil pengelolaan mandiri kekayaan umum dan negara.
Pengelolaan yang dilakukan negara pun dilakukan untuk menyukseskan aktivitas yang sesuai dengan perintah Allah SWT berfirman dalam Surah Al Hasr ayat 7 yang artinya ‘Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.’
Dengan mengaplikasikan Islam di setiap aspek kehidupan bernegara sebagaimana pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, masyarakat telah sampai pada tahap kehidupan di mana mereka tidak memerlukan menerima zakat.
Tidak ada satupun orang yang memenuhi seruan untuk menerima zakat saat pegawainya mengumumpkan di tengah mereka. MasyaAllah. Islam secara nyata telah menghantarkan kehidupan manusia dalam taraf kesejahteraan yang tinggi.
Maka sudah saatnya kita meninggalkan paradigma sekuler kapitalisme dan kembali kepada pengaturan syariat Islam kaffah yang akan menghantarkan kita pada kesejahteraan di dunia juga keselamatan di akhirat. Wallahua'lam bissawab.
Oleh: Agustin Pratiwi
Aktivis Muslimah
0 Komentar