Topswara.com -- Kick off yang menandai resminya Indonesia menjadi Ketua ASEAN 2023 telah dibuka oleh Presiden Joko Widodo pada Minggu 29 Januari 2023 lalu di Bunderan Hotel Indonesia.
Dalam acara pembukaan tersebut Presiden Jokowi menyampaikan keyakinannya bahwa ASEAN masih penting dan relevan bagi rakyat, bagi kawasan, dan bagi dunia. Di samping itu Presiden Jokowi juga berharap ASEAN terus berkontribusi bagi perdamaian dan stabilitas di kawasan Indo-Pasifik.
Namun, benarkah bahwa ASEAN masih relevan bagi rakyat Indonesia dan memberikan keuntungan?
Keketuaan ASEAN 2023 bertemakan, "ASEAN Matters: Epicentrum of Growth". Maknanya, Indonesia bertekad mengarahkan kerja sama ASEAN tahun 2023 untuk melanjutkan dan memperkuat relevansi ASEAN dalam merespon tantangan kawasan dan global.
Kemudian, harapannya Indonesia mampu memperkuat posisi ASEAN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi kawasan, untuk kemakmuran rakyat ASEAN.
Apabila menelisik sejarahnya dapat diketahui bahwa tujuan dibentuknya organisasi kawasan ini adalah untuk menjalankan globalisasi ekonomi yang tidak lain merupakan globalisasi pasar, atau juga disebut pasar bebas.
Negara-negara maju telah mendorong ASEAN menjadi sebuah kawasan yang terintegrasi dengan pasar modal. Pada pelaksanaannya negara-negara maju mengarahkan dukungan melalui utang langsung atas nama investasi melalui lembaga keuangan multilateral bagi pembangunan infrastruktur yang sesungguhnya dalam rangka mempermudah pengerukan sumber daya alam dan ekspansi pasar.
Nampak dari Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023 yang didukung oleh Inggris. Dilansir dari laman Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia pada 2 Februari 2023, dalam pertemuan dengan Menteri Ekspor Kerajaan Inggris Andrew Bowie MP, Rabu (1/02), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa salah satu prioritas dari Keketuaan Indonesia di ASEAN pada tahun ini yakni penguatan digitalisasi ekonomi.
Inggris berencana melakukan pendanaan dan investasi dengan nilai yang signifikan ke Indonesia pada beberapa sektor yang potensial. Inggris juga memberikan dukungan konkrit pada Keketuaan ASEAN Indonesia untuk pilar ekonomi khususnya di sektor strategis.
Hakikatnya kesemuanya jelas untuk mendukung kepentingan bisnis modal besar dari negara maju sebagai pihak yang memberi utang. Kebijakan ini satu sisi menguntungkan pihak pemberi utang, namun pada sisi lain akan semakin menjerat negara-negara di kawasan ini dalam beban utang yang semakin besar.
Bagi Indonesia sendiri, saat ini sudah memiliki beban utang yang cukup besar. Dilansir dari CNBC Indonesia pada 18 Januari 2023, Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah sampai dengan akhir Desember 2022 mencapai Rp 7.733,99 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 39,57 persen.
Pemerintah mengklaim mampu membayar utang yang terus menggelembung itu. Namun faktanya terasa sebatas retorika. Sebab, jika pemerintah mampu membayar utang, mengapa jumlah utang malah naik terus? Kalau pemerintah mampu bayar utang, mengapa pajak (PPN) dinaikkan? Demikian anomali pernyataan Menteri Keuangan, yang dirasakan oleh rakyat.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, utang luar negeri atas nama investasi ini telah menjadi sarana hegemoni atas negara-negara berkembang. Melalui perjanjian kerjasama yang mengikat yang melahirkan hubungan tidak seimbang.
Bagaimana tidak, negara-negara kuat baik secara finansial, teknologi dan sumber daya manusia, akan memenangkan persaingan dan semakin “menghisap” ekonomi dari negara-negara yang miskin. Kuatnya penguasaan modal asing terhadap tanah, sumber energi, keuangan akan menghilangkan akses rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi yang menyebabkan semakin memburuknya kondisi ekonomi rakyat.
Apabila demikian pernyataan bahwa ASEAN masih relevan bagi rakyat Indonesia nampaknya tidak tepat. Alih-alih memberikan keuntungan, rakyat justru akan semakin sulit.
Selayaknya negara ini memiliki ketahanan politik dan ekonomi yang kuat. Sebuah sistem ketahanan yang akan melindungi negara dari hegemoni negara asing melalui utang atas nama investasi.
Adapun kerjasama dilakukan dengan mempertimbangkan kemaslahatan yang akan didapatkan oleh rakyat seperti melalui perjanjian perdagangan bukan melalui utang. Sekalipun jika diperlukan upaya rekontruksi legalitas hukum.
Pasalnya, masuknya hegemoni asing ke negeri ini banyak diawali dengan pembuatan UU (undang-undang) yang berpihak kepada pemodal asing. Selayaknya pula dalam pembuatan UU berlandaskan pada tuntunan aturan agama.
Di mana aturan agama memiliki ketentuan tersendiri menyangkut asas-asas sistem ekonomi yang meliputi kepemilikan, pengelolaan kepemilikan dan distribusi kekayaan yang keseluruhannya mengutamakan kepentingan rakyat bukan pemilik modal apalagi pihak asing.
Dengan merujuk pada aturan agama pula, akan melindungi negara dari jeratan utang terlebih yang memungut bunga (riba). Demikianlah apabila negara berpihak pada kemaslahatan rakyat bukan kemaslahatan negara-negara asing sebagai pemilik modal.
Wallaahu a’lam bishshawaab.
Oleh: Dwi Sri Utari, S.Pd.
Guru dan Aktivis Politik Islam
0 Komentar