Topswara.com -- Apa salah satu penyebab keretakan rumah tangga? Kebiasaan berutang!
Pagi itu, saat kunjungan ke rumah orang tua, ibu saya bercerita bila banyak ibu muda di lingkungan beliau tinggal terjerat utang. Ada ribanya pula. Utang beracun ini masuk kepada para ibu secara TSM terstruktur, sistematis, dan masif (whoa bahasa politik ini!).
Menjerat para ibu dengan utang cukup dua langkah; Pertama, para ibu ini seperti disengaja membentuk komunitas. Ini mudah saja karena kebiasaan kaum ibu yang berkumpul untuk ngerumpi. Sengaja para ibu ini dibuat komunitas agar gampang terbentuk jaringan untuk diutangi.
Kedua, mulailah masuk tawaran berutang dari pihak sponsor (dugaan kuat saya ini para rentenir). Utang ini ada yang ditawarkan orang perorang, ada juga berkelompok agar anggota komunitas ini bisa saling menanggung.
Utang demi utang pun mulai mengalir ke kocek para ibu sampai akhirnya duar! Tagihan utang meledak! Mulai dari yang belasan hingga ratusan juta rupiah! Mulailah para ibu muda itu kelimpungan membayar utang.
Lebih celaka lagi, rata-rata para ibu yang berutang itu sama sekali tidak meminta izin pada suami. Konflik rumah tangga pun dimulai. Lengkap sudah derita keluarga-keluarga muda yang terjerat utang itu; harta ludes dan rumah tangga pecah. Saking kesal pada istri, ada suami yang tak tahan untuk tidak menganiaya istrinya.
Beberapa tahun silam seorang kawan bercerita pada kalau ia terpaksa menceraikan istrinya karena tidak tahan dengan kebiasaannya berutang. Tanpa sepengetahuan dirinya, sang istri berutang sana dan sini, sampai akhirnya persis seperti cerita ibu saya di atas. Tidak tahan, ia pun menalak sang istri. Sementara itu suami-suami lain memilih mempertahankan rumah tangga mereka meskipun menanggung malu dan rasa kesal atas kelakuan istri-istri mereka.
Cerita di atas bukan menjadi penilaian kalau berutang adalah tabiat perempuan. Laki-laki juga mungkin berkelakuan sama. Hanya saja tidak bisa dipungkiri kalau shopping adalah salah satu kesenangan kaum Hawa. Dan berutang, adalah salah satu cara agar manusia bisa tetap berbelanja meskipun tak punya yang. Belanja dengan utang termasuk dengan kartu kredit kini sudah menjadi ‘tren’ banyak orang di Indonesia.
Pada 2013, Kadence International-Indonesia merilis hasil riset Share of Wallet yang mereka lakukan. Hasilnya 28 persen masyarakat Indonesia berada dalam kategori “broke”, atau kelompok yang pengeluarannya lebih besar ketimbang pendapatannya, sehingga mengalami defisit sekitar 35 persen. Pengeluaran ini dilakukan untuk hidup mewah di luar penghasilannya.
Jadi kalau melihat ada ibu-ibu atau pasangan yang pakai barang branded, sering upload foto di instagram sedang makan di tempat cozy punya, atau jalan-jalan ke luar negeri, ehm jangan dulu kagum apalagi iri. Bisa jadi sebagian dari mereka lakukan itu dengan cara utang sana utang sini.
Apa indikator lain yang bisa menunjukan konsumerisme dan kegemaran berutang di kalangan kelas menengah? Dari data transaksi belanja menggunakan kartu, sejak 2009 hingga 2015, nilai transaksi belanja menggunakan kartu kredit selalu lebih tinggi dibandingkan penggunaan kartu debit. Hal ini bisa menjadi pendukung bahwa masyarakat Indonesia gemar berutang untuk menunjang gaya hidupnya.
Pada 2009, angka belanja dari kartu debit mencapai 56,17 triliun rupiah, sementara belanja menggunakan kartu kredit sebesar 132,65 triliun rupiah. McKinsey Global Institute pada 2014 menyebut bahwa setiap tahun Indonesia menghasilkan lima juta kelompok masyarakat konsumtif urban.
Saat ini, ada 70 juta kelas menengah urban yang konsumtif. Dari angka itu, hanya 10 persen dari populasi kelas menengah tadi yang melek teknologi digital belanja secara online. Diperkirakan dengan peningkatan belanja sebesar 7,7 persen setiap tahun, pada 2030 belanja yang dihasilkan kelas menengah di Indonesia akan mencapai satu triliun dolar.
Menilik penelitian Kadence International-Indonesia, utang yang diambil bukan utang produktif, alias untuk keperluan usaha, tetapi utang konsumtif. Celakanya utang konsumtif juga bukan untuk konsumsi primer atau asasiyah, tetapi untuk gaya hidup dan hidup gaya; belanja di mall, jalan-jalan, dan sebagainya.
Hal ini dibenarkan oleh Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Rhenald Kasali. Menurutnya salah satu permasalahan akut yang terjadi pada masyarakat kelas menengah di Indonesia adalah budaya konsumerisme. Pasalnya, kata dia, konsumerisme membuat masyarakat kerap belanja dan meminjam uang secara online demi keinginan semata, namun bukan karena kebutuhan.
“Memang persoalannya ada di kelas menengah baru yang tidak sabaran, cepat-cepat pengen ambil uang, dan konsumtif sekali. Ditambah lagi kecenderungannya konsumtif hanya untuk keinginan, bukan kebutuhan,” kata Rhenald.
Ini bukan saja terjadi di tanah air, tetapi hampir di semua negara kapitalis, banyak warga dan keluarga terjerat hutang. Di AS, akumulasi utang keluarga di sana menembus U$ 13.54 triliun di tahun 2018, yang dipikul oleh sekitar 300 juta warga AS. Sedangkan di seluruh Inggris, utang rumah tangga mencapai 1.6 triliun poundsterling atau setara 28 trilyun rupiah!
Tiga Jurus Mematikan
Ada tiga penyebab banyak keluarga di negara kapitalis terjerat utang. Pertama, budaya konsumtif atau konsumerisme. Dunia industri kapitalis berlomba-lomba merayu konsumen untuk shopping sebanyak-banyaknya. Dunia marketing dan periklanan menyihir kita untuk melihat keinginan adalah kebutuhan.
Apa yang sebenarnya bukan kebutuhan pokok diubah jadi urgen, seolah-olah have to. Ponsel branded terbaru dengan harga belasan juta, pakaian, tas, makan di restoran, sampai traveling. Banyak perusahaan yang keluarkan anggaran besar untuk promosi produk mereka, termasuk gunakan public figure, dengan tujuan mendapatkan penjualan sebanyak-banyaknya.
Kedua, tawaran kredit yang meluas hingga ke rumah tangga. Kalangan perbankan selalu mencari konsumen baru pengguna kartu kredit dan berbagai produk pinjaman. SPGnya nongkrong di mall-mall dan agresif dekati calon konsumen. Sebagian lagi mengejar calon konsumen lewat telepon yang entah darimana mereka dapatkan nomor kita.
Sekarang berkembang pula fintech (financial technology). Cukup unduh aplikasinya di ponsel pintar, isi formulir online, orang sudah bisa dapat pinjaman. Mudah dan cepat, makin banyak orang terpikat berutang lewat aplikasi sana dan sini.
Ketiga, negara kapitalis jamin kebebasan kepemilikan. Orang bebas punya apa saja dengan cara apa saja, selama dalam batasan konstitusi. Negara tidak peduli apakah rakyatnya banyak terjerat utang sampai sesak nafas. Itu bukan domain negara. Pemerintah hanya membuat regulasi yang mengatur utang piutang, tapi takkan mengurus seberapa bangkrut rakyat.
Bahkan negara kapitalis tidak ambil pusing tentang kebutuhan pokok rakyat; apakah mereka sudah makan, sehat, punya tempat tinggal yang layak atau tidak. Semuanya freedom. Silakan usaha sendiri. Prinsipnya; survival of the fittest, only the strong. Hanya yang kuat yang bakal bertahan, yang tidak kuat silakan lambaikan tangan dan pamit mundur jadi sampah masyarakat.
Hiduplah Islami
Berutang itu boleh. Nabi SAW. Juga berutang. Hanya saja Islam tidak menganjurkan orang memelihara kebiasaan berutang. Berat. Utang tidak hanya dipikul di dunia, tetapi juga di akhirat. Selain itu Islam juga mengingatkan bila Allah SWT. mencintai orang-orang yang sederhana, sedikit keinginan pada dunia, lebih banyak beribadah, beramal shalih dan berjuang.
Kaya raya dan banyak uang bukan berarti bebas menghabiskannya untuk apa saja, tetapi harta itu harus produktif dunia-akhirat. Bila yang kaya saja dianjurkan begitu, apalagi yang kere. Penghasilan pas-pasan tetapi nafsu belanja tidak ditahan, keterlaluan.
Hal yang lebih esensial lagi, riba adalah harta kotor, bahkan amat kotor, dalam pandangan Allah. Mengambil riba walau hanya sejumput seperti berzina dengan ibu kandung sendiri. Menjijikkan, bukan? Jangan ada kompromi dengan riba. Sudahlah dosanya besar, mencekik leher pula.
Beragamnya kebutuhan hidup dalam rumahtangga bukan berarti semua harus dipenuhi. Selalu ada prioritas. Ada kebutuhan yang tak bisa ditunda, ada yang bisa ditunda, bahkan ada yang bisa diabaikan sementara waktu. Apalagi bila itu adalah keinginan, bukan kebutuhan (pokok), terutama hanya karena faktor kesenangan, prestise, atau hobi, letakkan dulu di keranjang paling bawah. Utamakan kebutuhan pokok.
Untuk para istri, ingatlah, kaum wanita adalah penanggungjawab dalam harta suaminya. Jangan mengkhianati kepercayaan suami dalam pengurusan harta. Setiap pengeluaran di luar belanja rumah tangga, sampaikan pada pasangan.
Apalagi bila hendak berutang maka rembug dulu dengan pasangan, terutama bila nominalnya besar. Bukankah kelak utang itu harus dibayar, dan suami juga harus bertanggung jawab dalam soal utang piutang, bahkan suami termasuk ahli waris yang juga harus menanggung utang bila istri sudah tiada? Jadi dengan alasan apa istri tidak mau berembug dengan suami dalam soal utang?
Satu-satunya alasan istri menutup-nutupi kebiasaan berutang adalah karena tahu suaminya tidak akan ridha. Nah, ini kesalahan berat lagi. Seorang istri yang mengharapkan surga Allah seharusnya berusaha keras membuat suaminya ridlo, bukan membuat suaminya bangkrut. Mudah-mudahan para istri bisa berpikir panjang, ribuan kali, sebelum berutang tanpa sepengetahuan suaminya[]
Oleh: Iwan Januar
Direktur Siyasah Institute
0 Komentar