Topswara.com -- Berangkat haji ke tanah suci merupakan impian setiap Muslim. Terbayang kemegahan Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi serta sucinya makam Rasulullah SAW. dan para sahabatnya yang dicintai di Madinah.
Namun untuk berangkat ke dua tanah haram tersebut bukanlah sesuatu yang mudah. Selain butuh kekuatan fisik, kemampuan finansial pun harus mendukung, sebab untuk sampai kesana butuh biaya yang tidak sedikit.
Seperti ongkos haji yang harus dikeluarkan oleh calon jamaah di tahun-tahun sebelumnya yang berkisar di angka 30 jutaan rupiah. Angka ini bukanlah jumlah yang sedikit bagi sebagian besar calon jamaah haji. Banyak dari mereka harus menabung bertahun-tahun untuk bisa mewujudkan impiannya berangkat ke tanah suci.
Kendati demikian di tahun 2023 ini pemerintah melalui Menteri Agama berencana menaikkan biaya haji menjadi sebesar 69 juta rupiah. Kenaikan ini hampir dua kali lipat dibandingkan ongkos haji tahun 2022 yaitu sebesar 39,8 juta rupiah. Ini dilakukan disaat pemerintah Arab Saudi justru menurunkan asuransi perjalanan haji dan umrah sebesar 63 persen. Menag beralasan dia mengambil kebijakan ini guna menjaga dana nilai manfaat BiPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji). (CNN Indonesia, 20 Januari 2023)
Pemerintah telah menetapkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH)/jamaah tahun ini sebesar Rp.98.893.909,11. Dana ini dibagi menjadi dua komponen, yaitu 70 persen adalah Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) dan 30 persen sisanya ditanggung oleh dana nilai manfaat.
Komposisi biaya ini naik dari tahun lalu yang pembagiannya adalah 60 persen dana nilai manfaat dan 40 persen Bipih . Diungkapkan oleh Ketua Badan Pengelola Keuangan Haji Fadlul Imansyah jika kenaikan ini tidak dilakukan maka pihaknya khawatir dana nilai manfaat ini akan habis di tahun 2025 mendatang.
Tidak hanya dihadapkan pada besarnya biaya, umat Islam khususnya di negeri ini juga harus menunggu antrian yang sangat panjang. Hingga saat ini masa tunggu keberangkatan haji mencapai dua puluh lima tahun.
Hal ini karena pemerintah memberikan kemudahan dana talangan haji kepada para calon jamaah agar dapat mendaftar dan mendapatkan nomor porsi. Di samping itu tidak ada pembatasan kuantitas berhaji, sehingga bisa saja seseorang pergi haji lebih dari satu kali, melebihi kewajiban yang hanya sekali.
Semangat umat untuk beribadah inilah kemudian terkesan dimanfaatkan negara untuk mengeruk keuntungan dari dana haji tersebut. Belum lagi adanya dua jenis pembagian jamaah haji, yaitu reguler dan khusus yang tentu saja dengan ongkos berbeda pula.
Dalam paradigma kapitalistik yang mengedepankan manfaat dan keuntungan, banyaknya kuota jamaah haji sudah tentu dibarengi dengan besarnya dana haji yang terkumpul, dan ini tentu sayang jika dibiarkan mengendap begitu saja. Maka muncullah ide untuk menjadikan trip perjalanan haji dan umrah menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Karena dalam perjalanan ibadah ini tentu saja diperlukan sarana berupa transportasi dan akomodasi yang memadai.
Maka untuk memenuhi hal diatas munculah berbagai jenis usaha seperti tour dan travel, bisnis hotel, katering, transportasi, perlengkapan haji/umrah, dan lain sebagainya. Bidang usaha ini biasanya dimiliki oleh swasta.
Sementara pemerintah biasanya menawarkan kerjasama dengan sistem tender. Pemenang tender yang akan bekerja sama dengan pemerintah untuk memenuhi semua kebutuhan jamaah haji mulai pembinaan, berangkat hingga pulang ke tanah air.
Di sisi lain uang tabungan yang masuk dari calon jamaah haji yang masih mengantri akan digunakan untuk berbagai macam investasi. Kemenag mengelola dana jamaah haji ke dalam tiga macam investasi di antaranya: Surat Utang Negara, Surat Berharga Syariah Negara dan Deposito Berjangka Syariah.
Bahkan saat ini jangkauan investasinya menjadi lebih luas setelah dikelola oleh BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji). Bahkan dana haji yang nilainya triliunan ini kabarnya dipakai pula untuk pembangunan infrastruktur di dalam negeri.
Padahal hukum menginvestasikan dana haji adalah abu-abu alias tidak jelas. Karena pemilik uang (dalam hal ini jamaah haji) tidak sedang menitipkan dananya untuk mengembangkan usaha dengan pemerintah, tetapi sekadar menabungkan uangnya untuk dipergunakan berangkat ke tanah suci.
Jelas hal di atas semakin kapitalistik dan menyakiti rakyat. Namun itulah watak asli kapitalisme yang menganggap ibadah haji sekadar ritual keagamaan belaka dan tidak memiliki esensi khusus sehingga dengan mudahnya pemerintah beserta para kapital menjadikannya ladang bisnis untuk mencari keuntungan.
Oleh karena itu penyelenggaraan pelaksanaan ibadah haji setiap tahun semestinya dikerjakan pemerintah dengan serius. Jangan hanya meminta kuota haji yang besar kepada pemerintah Arab Saudi dengan tujuan agar lebih banyak dana haji yang terkumpul untuk diinvestasikan. Tetapi uang yang terkumpul benar-benar digunakan untuk keperluan jamaah haji sebelum, selama dan ketika kembali ke tanah air dengan pelayanan yang paripurna.
Lain halnya dengan penyelenggaraan pelaksanaan ibadah haji dalam sistem Islam. Agama ini memandang pelaksanaan rukun Islam kelima ini bukan sekedar melaksanakan ibadah mahdhoh saja tetapi dapat dipandang dari sisi syiar agama dan politis.
Seorang khalifah sebagai khadimul ummah (pelayan umat) akan sangat serius dalam melayani para tamu Allah SWT. di tanah suci Makkah dan Madinah. Pertama, khalifah akan membentuk satu departemen khusus yang akan menangani urusan haji dan umrah di pusat dan daerah. Kedua, pemerintahan Islam menetapkan pelaksanaan ibadah haji sekali seumur hidup. Karena itu untuk menentukan kuota haji berdasarkan urutan prioritas keberangkatan akan menggunakan database kependudukan.
Ketiga, menghapus visa haji dan umrah untuk seluruh warga negara Islam, kecuali muslim yang menjadi warga negara kafir harbi fi'lan dan hukman. Keempat, ongkos naik haji (ONH) ditetapkan berdasarkan jarak asal jamaah ke tanah suci Makkah dan Madinah. Khalifah akan menyediakan jalur transportasi laut, udara dan darat untuk memudahkan para calon jamaah sampai ke tanah suci.
Selain itu khalifah akan memastikan ketersediaan akomodasi baik berupa hotel, makanan, layanan kesehatan dan segala yang dibutuhkan umat agar merasa nyaman saat melaksanakan ibadah haji.
Yang demikian itu dilakukan karena fungsi seorang khalifah adalah ri'ayah syu'unil ummah (mengatur urusan umat) untuk menjalankan kewajibannya sebagai muslim sesuai dengan syariat Islam. Sehingga beliau benar-benar bertanggung jawab atas kelancaran pelaksanaan ibadah haji seluruh umat Islam di dunia.
Seperti sabda Rasulullah SAW.:
“Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari).
Dengan begitu kita hanya bisa berharap pada penerapan aturan Islam secara kaffah agar masalah yang berkaitan dengan ibadah haji dapat dituntaskan dan umat bisa menikmati ibadahnya dengan nyaman dan menerima pelayanan terbaik.
WalLahu a'lam bi ash shawab.
Oleh: Tatiana Riardiyati Shopia S
Pegiat Literasi dan Dakwah
0 Komentar