Topswara.com -- Jembatan yang menghubungkan Dayeuhkolot dan Baleendah, Kabupaten Bandung telah membuat masyarakat sekitar resah. Pasalnya sejak sekitar dua tahun yang lalu fasilitas publik tersebut rusak dan retak namun belum mendapatkan perbaikan.
Upaya pemerintah setempat dengan membuat jembatan sementara dinilai masih kurang maksimal karena lewatnya truck besar dan kemacetan masih berpotensi merubuhkan jembatan yang hanya kuat menopang beban 5 ton itu. (Detik.com, 11/02/2023)
Jembatan adalah fasilitas umum yang fungsinya amat vital bagi masyarakat karena bisa menjadi jalur transportasi masyarakat serta distribusi barang dan jasa.
Jika terdapat kerusakan pada jembatan tentu akan menghambat aktivitas mereka bahkan bisa membuat suatu daerah terisolisasi. Oleh karenanya, penting memperhatikan kelayakan serta keamanannya agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Sayangnya, fakta yang terjadi sekarang persoalan kelayakan jembatan begitu sulit terealisasi. Dikabarkan pemerintah tidak mempunyai dana yang cukup untuk membangun jembatan baru atau merevitalisasi jembatan lama. Sebab, pendapatan negara saat ini hanya bertumpu pada pungutan pajak saja.
Sedangkan pajak hanya bisa menghasilkan dana yang sedikit. Oleh karena itu pemerintah semakin memperlebar wajib pajak. Bahkan para penjual di online shop pun pada hari ini dikenakan pajak.
Anehnya setelah menyadari pendapatan dari pajak itu tidak mencukupi kebutuhan, negara tidak tergerak untuk mengelola sumber daya alam di Indonesia secara penuh. Negara masih saja menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta asing maupun aseng. Sebagai gantinya negara hanya mendapatkan sedikit sekali pemasukan dari pemanfaatan sumber daya alam ini.
Sudahlah Indonesia ini memiliki penghasilan yang kecil dan anggaran yang terbatas untuk pembangunan infrastruktur seperti jembatan. Pejabat dan para pemilik kekuasaan di atas pun bermental korup. Walhasil dana yang terbatas itu semakin terkikis karena dikorupsi oleh pejabat dari atas hingga bawah.
Maka tidak heran jika setelah pembangunannya rampung, jembatan yang dihasilkan memiliki kualitas yang buruk dan cepat rusak. Malah di sebagian kasus ada jembatan yang dibangun sehari langsung rusak atau rusak di saat acara peresmiannya.
Kenyataan ini diperparah dengan kebiasaan petinggi negeri yang gemar utang dengan alasan untuk pembangunan infrastruktur. Padahal jumlah utang Indonesia saat ini sangatlah banyak. Saking banyaknya sampai hari ini negara tidak bisa melunasi pokoknya dan hanya bisa mencicil bunganya saja tiap tahun.
Oleh karena itu, mengambil utang untuk membangun infrastruktur hanyalah omong kosong belaka karena pada faktanya infrastruktur tetap saja masih tertinggal sedangkan hutang terus bertambah.
Inilah pil pahit yang harus rakyat telan tatkala para pemangku kebijakan masih mempertahankan sistem kapitalisme dalam setiap aturannya, keperluan untuk khalayak tidak mendapat prioritas.
Rakyat seolah dibiarkan untuk mengurus urusannya sendiri. Maka banyak kita jumpai masyarakat yang bergotong-royong mengumpulkan harta yang mereka miliki untuk membangun infrastruktur yang mereka butuhkan seperti halnya jembatan karena pemerintah lamban dalam memenuhi kebutuhan mereka ini.
Padahal seharusnya tugas negara untuk menyediakan infrastruktur yang layak bagi rakyat, mulai dari penyediaan dana yang cukup, alat dan bahan-bahan yang memadai, para pejabat dan pekerja yang profesional serta segala hal lain yang dibutuhkan.
Negara juga harus memastikan bahwa pembangunan infrastruktur itu dijalankan dengan sebaik-baiknya bukan dengan asal-asalan.
Negara pun harus menghentikan kapitalisasi pada sumber daya alam dengan mengambil alih kembali pengelolaan kekayaan alam dari para oligarki yang terhubung dengan pengusaha swasta dalam negeri ataupun asing.
Akibat kapitalisasi di berbagai sektor terutama sektor ekonomi, negara tidak lagi berdaulat mengelola SDA untuk kepentingan masyarakat dan kesejahteraan mereka. Alhasil negara kerap menyampaikan tidak memiliki dana yang cukup untuk membangun infrastruktur publik seperti jembatan.
Berbeda kenyataannya apabila negara mau menerapkan aturan Islam dalam sistem pemerintahan dan urusan publik. Negara tidak akan mengandalkan pajak untuk membiayai pembangunan infrastruktur melainkan lebih mengutamakan pemanfaatan sumber daya alam dalam negeri secara mandiri.
Karena dalam Islam sumber daya alam itu adalah milik rakyat secara umum dan negara wajib mengelolanya sendiri untuk dikembalikan manfaatnya pada rakyat.
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis yang artinya:
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Dengan mekanisme seperti ini, pemerintah mampu membiayai pembangunan infrastruktur beserta sekaligus memenuhi kebutuhan rakyat secara komunal seperti pendidikan, kesehatan, serta keamanan.
Para pemangku kebijakan tidak akan tega untuk mengkorupsi dana pembangunan infrastruktur seperti jembatan karena mereka tahu bahwa itu diperlukan untuk khalayak umum.
Keimanan mereka kepada Allah SWT. juga yang mencegah mereka dari perbuatan hina tersebut. Sebaliknya pejabat yang paham Islam justru akan menginfakkan harta yang mereka miliki untuk membangun sarana prasarana yang dibutuhkan oleh rakyat.
Di era peradaban Islam yakni di masa kekhilafahan, pembangunan infrastruktur benar-benar diperuntukkan untuk kemaslahatan umat.
Sebut saja diantaranya jembatan Jisr atau Qintharah Qurthubah yang membelah sungai Al-Wadi al-Kabir. Jembatan ini dibangun pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz pada tahun 101 H. Lalu ada jembatan tua Stari Most di Bosnia yang memiliki dua menara yang melindungi pintu masuk ke jembatan, serta bebatuan kapur tenelija yang melapisi jembatan ini menjadi ciri khas kesederhanaannya yang elegan.
Dengan bahan yang berkualitas serta pengerjaan serius jembatan ini masih bisa dinikmati kekokohannya dan menjadi bukti sejarah yang tidak terbantahkan bahwa pemimpin yang ada saat itu adalah pemimpin yang berperan sebagai raa'in sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: "Imam itu laksana penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
WaLlaahu a'lam Bish shawaab.
Oleh: Ai Siti Nuraeni
Pegiat Literasi
0 Komentar