Topswara.com -- Mendengar kata ibu, akan tergambar kehangatan dekapan kasih sayang seseorang. Ibu, diharapkan menjadi sosok yang mengayomi, mengajarkan segalanya untuk anak-anaknya.
Namun akibat salahnya sistem kehidupan, paradigma ibu kian bergeser. Banyak penyimpangan yang terjadi makin jauh dari fitrah keibuan. Seperti kasus seorang wanita asal Jambi berikut ini.
Dia berinisial YN (25) diduga melakukan pelecehan seksual terhadap 11 anak di bawah umur di Kawasan Rawasari, Kota Jambi. Bahkan setelah ditelusuri lebih lanjut, korban bertambah menjadi 17 anak, diantaranya anak laki-laki dan perempuan.
Wanita yang sehari-harinya bekerja sebagai ibu rumah tangga dan juga penjaga rental PS (play station) di rumahnya, dilaporkan oleh pihak keluarga korban dengan alasan pelecehan seksual pada anak.
Kasus ini mulanya terungkap ketika YN melapor ke polisi dan mengaku dirinya mengalami pelecehan seksual oleh anak-anak di bawah umur.
Setelah dilakukan penyelidikan ternyata yang terjadi adalah sebaliknya, justru pelaku yang telah melakukan pelecehan seksual pada anak di bawah umur.
Dari keterangan korban, Si Pelaku berusaha memaksa korban anak laki-laki untuk memegang payudara pelaku sampai alat vitalnya. Kemudian sang pelaku juga berusaha memegang alat vital korban. Hal itu dilakukan saat rental sepi dan suami tidak berada di rumah.
Dari kasus tersebut membuktikan bahwa jauhnya kehidupan dari tatanan Islam dan adanya pengaruh sistem sekularisme yaitu pemisahan agama dengan kehidupan, membuat seseorang berani berbuat bejat bahkan kehilangan rasa malu sampai terang-terangan dalam melakukan kebejatannya.
Islam Menjaga Fitrah Keibuan
Islam adalah agama yang hak, yang bersumber dari Sang Pencipta Alam Semesta.
Allah telah memberikan seperangkat aturan untuk mengatur kehidupan manusia agar berjalan dengan baik sesuai fitrahnya. Karena manusia adalah mahluk ciptaan Allah, Allah sangat mengetahui apa saja yang dibutuhkan oleh manusia agar mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Begitu pula tentang menjaga fitrah keibuan pada manusia. Allah telah memberikan aturan yang baku agar manusia bisa menggunakannya dan yang terpenting bisa bernilai ibadah.
Manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah kepadaNya. Sehingga diharapkan setiap aktivitas yang kita kerjakan bisa bernilai ibadah.
Tidak terkecuali bagi kaum hawa. Allah telah mengatur bahwa tugas utama seorang wanita adalah sebagai ibu dan pengaturan rumah tangga.
Sudah menjadi fitrahnya bahwa seorang ibu menyayangi anaknya dan berusaha melindunginya. Sejalan dengan fitrah tersebut, Islam pun telah mengatur bahwa sebagai ibu, mempunyai kewajiban untuk mendidik anak-anaknya agar kelak menjadi pribadi yang bertakwa, memberikan kasih sayang, dan juga perlindungan untuk mereka. Bukan sebaliknya.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik yang berbunyi :
عن أنس بن مالك قال كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ يَأْمُرُ بِالبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيْدًا وَيَقُوْلُ تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّي مُكَاثِرُ الْأَنْبِيَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya:
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk menikah dan melarang keras untuk membujang dan berkata, “Nikahilah wanita yang sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak karena aku akan berbangga dengan kalian dihadapan para nabi pada hari kiamat.”
Dari hadis tersebut jelaslah perintah Allah untuk menikahi wanita yang penyayang dan mampu mempunyai banyak anak.
Sedangkan dari kasus di atas sangat menyalahi aturan Allah di mana seorang ibu diperintahkan untuk menyayangi anak-anaknya. Hal ini akibat dari paham sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan.
Mereka menganggap bahwa Allah hanya ada ketika di dalam masjid, di pengajian, dan di tempat tertentu saja. Sehingga ketika mereka berada diluar masjid merasa bebas.
Mereka tidak merasa bahwa ada pengawas yang senantiasa mengawasi kita dua puluh empat jam yaitu Allah SWT. Juga ada malaikat yang mencatat amal baik dan buruk kita. Sehingga mereka merasa bebas melakukan apa saja tanpa khawatir akan adanya pertanggung jawaban di yaumul akhir kelak.
Maka mereka cenderung memperturutkan hawa nafsu mereka bahkan fitrah ibu yang seharusnya mengayomi anaknya seolah tercabut dengan tega mengancam akan membunuh dan mencincang anaknya jika nafsu seksnya tidak terpenuhi.
Selain adanya aturan di atas, Allah juga telah membekali manusia dengan tiga potensi yaitu potensi dalam pemenuhan kebutuhan jasmani, naluri, dan akal.
Potensi dalam pemenuhan kebutuhan jasmani berasal dari diri manusia dan pemenuhannya bersifat segera karena bisa menimbulkan sakit dan berujung pada kematian.
Contohnya ketika kita merasa lapar maka kita harus segera makan. Jika ditunda maka akan menyebabkan sakit dan lama kelamaan akan berujung pada kematian. Begitu juga ketika kita merasa harus, mengantuk, ingin buang air maka pemenuhannya bersifat segera.
Kemudian potensi yang kedua adalah naluri dimana naluri ini bisa muncul akibat adanya rangsangan dari luar dan pemenuhannya bersifat tidak segera asalkan mampu menghindari rangsangan yang memicu.
Apabila tidak segera dipenuhi maka tidak menimbulkan bahaya kematian, hanya saja menimbulkan kegelisahan.
Potensi naluri ini ada tiga yaitu :
Pertama naluri atau gharizah baqa' yaitu naluri untuk mempertahankan diri.
Kedua gharizah nau' yaitu naluri untuk melestarikan keturunan.
Ketiga gharizah tadayyun yaitu naluri untuk menyembah atau mengagungkan sesuatu.
Terkait poin kedua yaitu gharizah nau', naluri ini bisa muncul apabila ada rangsangan dari luar. Pada kasus di atas, hiperseksualitas yang dialami tersangka akibat dari rangsangan luar yaitu adanya trauma psikis akibat pelecehan seksual yang pernah dialami, sehingga membuat pelaku secara alam bawah sadar ingin mengulangi hal yang sama kepada orang lain.
Disisi lain akibat seringnya melihat tontonan yang berbau pornografi, memicu terjadinya hiperseksualitas.
Islam mempunyai aturan untuk menanganinya. Yaitu adanya perintah untuk menundukkan pandangan apabila melihat lawan jenis. Hal ini akan menutup kemungkinan adanya rangsangan ketika melihat lawan jenis.
Kemudian diperintahkan juga untuk menutup aurat secara sempurna. Islam telah mengatur cara berpakaian sehingga menutup seluruh aurat yang jika terlihat akan dapat merangsang lawan jenis.
Selain itu Islam juga mengatur pergaulan antara laki-laki dan perempuan dimana hanya diperbolehkan berinteraksi di wilayah umum dan sebatas muamalah.
Adanya larangan melihat hal-hal porno seperti film atau video juga menjadi bagian dari aturan Islam.
Potensi yang ketiga adalah akal. Akal ini adalah pembeda dari mahluk Allah yang lain. Ketika mendapati sesuatu, seharusnya akal ini digunakan untuk berfikir apakah yang hendak kita lakukan sesuai atau tidak dengan syariat Allah? Jika sesuai maka akan meneruskan pada anggota tubuh untuk melaksanakannya, namun jika tidak sesuai maka akan memerintahkan pada anggota tubuh untuk menghindarinya. Sehingga bisa mencegah dari hawa nafsu.
Disinilah potensi akal seharusnya dapat kita gunakan. Dengan mengindra hal-hal disekitarnya kemudian mengkaitkan dengan maklumat sabiqah (pemahaman sebelumnya) sehingga mampu bersikap sesuai dengan pemahamannya. Semakin kuat keimanan dan, ketakwaannya serta tsaqafah Islamnya, maka apa yang dia lakukan akan sesuai dengan hukum Islam.
Pada kasus diatas jika pelaku dan korban telah memiliki maklumat sabiqoh dari sudut pandang islam dan juga memperbanyak tsaqafah Islam, niscaya perbuatan keji yang hendak dia kerjakan bisa dia urungkan.
Kompleksnya aturan dalam Islam apabila kita terapkan secara kaffah, maka akan menjadi solusi bagi setiap masalah tidak terkecuali bagi kasus di atas.
Namun semua itu tidak akan terwujud tanpa peran negara yang akan menegakkan hukum Islam, sehingga secara sukarela atau terpaksa rakyat akan melaksanakannya.
Jika hukum Islam bisa dilaksanakan, niscaya seluruh hukum Islam menjaga manusia agar tetap sesuai dengan fitrahnya.
Wallahua'lam bissawab
Oleh: Sri Fatona Wijayanti
Sahabat Topswara
0 Komentar