Topswara.com -- Ramadhan tinggal menghitung hari. Bulan suci yang dinanti jutaan kaum Muslimin yang berharap ingin beribadah dengan tenang, khusyuk, dan juga nyaman. Nyaman dari perasaan khawatir kenaikan bahan kebutuhan pokok akan kembali mengusik. Maklum saja kebanyakan masyarakat sudah paham setiap menjelang puasa dan lebaran melonjaknya harga kebutuhan pokok sudah seperti tradisi.
Kenaikan harga sembako memang sudah menjadi trend pada waktu tertentu seperti menjelang Ramadhan, Lebaran, Natal dan Tahun Baru. Kenaikan ini terjadi lantaran kebutuhan masyarakat meningkat.
Meskipun itu kerap terjadi. Tidak ayal masyarakat, khususnya ibu rumah tangga mulai merasa ketar ketir. Di tengah kegetiran persoalan ekonomi kian mencekik, masyarakat berharap kenaikan bahan pokok jangan lagi menjadi momok menjelang Ramadhan tahun ini. Namun rasanya harapan itu bak panggang jauh dari api.
Masyarakat kembali harus gigit jari. Di tengah-tengah perekonomian belum stabil karena mahalnya harga bahan-bahan pokok seperti beras, telur, dan lainnya menguras pengeluaran lebih besar.
Kenaikan harga beras ini nyaris merata di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Jawa Timur yang merupakan salah satu lumbung pangan nasional. Di beberapa wilayah, harga beras bahkan benar-benar fantastis. Di Kalimantan Selatan misalnya, harga beras premium per 13 Februari lalu dilaporkan mencapai Rp17.460 per kg. Padahal Harga Eceran Tertinggi (HET) beras dipatok sekitar Rp9.450-12.000 per kg.
Diikuti pula dengan kenaikan harga minyak goreng yang kembali berulang sejak awal 2023, khususnya minyak goreng dengan brand Minyakita yang diluncurkan oleh pemerintah sejak tahun lalu. Minyak goreng ini bagian dari program minyak goreng rakyat yang digulirkan oleh Kemendag untuk menstabilkan harga minyak goreng di pasaran.
Berdasarkan peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 49 Tahun 2022, minyak goreng rakyat terdiri atas minyak curah dan MinyaKita yang diatur oleh pemerintah dengan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp.14.000 per liter. Namun, minyak goreng besutan pemerintah yang diluncurkan tahun lalu, mendadak langka. Sudah langka tambah mahal pula harganya. Di penjual eceran saja harga sudah tembus Rp20.000 per liternya.
Penyebab Langka dan Mahal
Ketika minyak goreng langka dan mahal, dan harga beras pun melesat bebas harus ke mana masyarakat mendapatkannya? Apa pula yang menjadi penyebab kelangkaan dan mahalnya bahan kebutuhan pokok tersebut? Seperti biasa cara klasik yang dilakukan pemerintah melakukan operasi pasar murah memaksa masyarakat antre berdesakkan demi berburu sembako murah. Tidak ayal kondisi tersebut menjadi pemandangan yang berulang setiap kali persoalan kelangkaan barang menjamah.
Mendag, Zulkifli Hasan bahkan mengeluarkan aturan terbaru mewajibkan tiap pembeli MinyaKita menunjukkan KTP saat melakukan pembelian. Menurutnya agar masyarakat tak berbondong-bondong memborong MinyaKita sehingga menimbulkan kelangkaan di pasar. Zulhas juga membatasi maksimal hanya boleh membeli 5 kilogram. Selain itu, pembeli dilarang memborong MinyaKita untuk dijual kembali.
Langkah lain yang dilakukan pemerintah melalui sidak. Belakangan Bulog, Badan Pangan Nasional (Bapanas), dan Satgas Pangan ramai-ramai melakukan inspeksi mendadak atau sidak ke Pasar Induk Beras Cipinang dan menunjukan bukti dugaan adanya penyelewengan beras Bulog. Pada Februari 2023, Direktur Utama Bulog Budi Waseso alias Buwas melakukan sidak di di gudang beras milik PT Food Station Tjipinang Jaya, Jakarta Timur. Buwas juga menemukan sejumlah barang yang diduga menjadi bukti keberadaan mafia beras.
Di gudang beras itu, Buwas menemukan tumpukan beras Bulog yang bersisian dengan beras dengan karung merek lain. Di antara tumpukan itu, terdapat sejumlah karung beras kosong dengan berbagai merek premium, seperti Induk Ayam dan lumbung rejeki.
Jika kita lihat, beras merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi pemerintah dengan persediaan yang mampu mencukupi kebutuhan rakyat karena mayoritas penduduk Indonesia menjadikan nasi sebagai makanan pokok.
Meskipun Indonesia adalah negara agraris, tetapi hasil pertanian yang dihasilkan masih belum mencukupi kebutuhan dalam negeri. Selain lahan pertanian semakin sempit karena lahan berubah fungsi menjadi bangunan infrastruktur, ditambah kondisi gagal panen sehingga impor beras yang dilakukan pemerintah pun kerap terjadi. Tujuannya untuk menjaga stok dalam negeri agar tidak mengalami kekosongan.
Lagi-lagi kebijakan impor beras telah dimanfaatkan para mafia untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Sayangnya pemerintah tampak selalu gagap menghadapi situasi yang berulang terjadi ini.
Padahal, negara semestinya berperan besar menyolusi kenaikan harga beras. Posisinya tidak boleh kalah oleh siapa pun yang hendak merugikan rakyat banyak. Ulah mafia menjadikan rakyat mati di lumbung padi.
Sementara itu terkait kelangkaan minyak subsidi, pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah mencurigai langkanya MinyaKita seperti disengaja agar masyarakat beralih ke minyak nonsubsidi. Distribusi sengaja diperlambat oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Belum lagi lemahnya pemerintah mengawasi harga hingga di atas HET.
Kecurigaan lain pun muncul dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Memaparkan hasil investigasi awal soal penyebab kelangkaan minyak goreng kemasan sederhana merek MinyaKita.
Direktur Ekonomi KPPU, Mulyawan Ranamanggala menduga ada akal-akalan produsen minyak sawit dalam mengatur pasokan Minyakita sehingga harganya naik dan sulit ditemukan di pasaran.
Di sisi lain, Analis Senior Indonesia Strategic and Economis Action Institution Ronny P. Sasmita menilai Kemendag gagal memberikan jaminan bahan baku untuk program MinyaKita. Saat permintaan tinggi, suplainya justru menyusut sehingga mengerek harga jual di pasaran.
Sedangkan Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, terdapat sejumlah oknum yang melakukan penimbunan yang akhirnya menyebabkan distribusi minyak goreng terhambat dan mendorong kenaikan harga.
Karut marut kelangkaan minyak goreng bersubsidi dan mahalnya harga beras tidak lepas dari lemah dan gagapnya pemerintah dalam menyelesaikan persoalan yang kerap terjadi. Jamak dipahami kenapa pemerintah seperti setengah hati mencari solusi dan menindak tegas para penimbun barang dan keberadaan mafia yang sudah jelas bermain memanfaatkan situasi yang menguntungkan.
Pertanyaannya, bagaimana bisa negara begitu tidak berdaya? Masalahnya, negara kita memang sudah salah dari awal ketika menjadikan sekularisme liberal sebagai asas yang melandasinya, serta sistem kapitalisme dijadikan acuan dalam strategi politik ekonominya sehingga membuat negara tidak menjalankan peran sebagaimana mestinya, tidak berdaulat secara penuh dalam menjalankan roda pemerintahan. Alih-alih menjadi pengurus dan penjaga rakyat, negara hanya berperan sebagai regulator saja.
Semestinya pemerintah atau negara memiliki peran besar dalam memberikan solusi dari berbagai faktor penyebab langkanya bahan pangan dan naiknya harga di pasaran, khususnya minyak goreng dan beras.
Posisi negara tidak boleh kalah oleh siapa pun yang hendak merugikan rakyat banyak, termasuk para mafia, penimbun, kartel, dan para oligarki. Di tangan pemerintahlah segala kebijakan berasal. Di tangan mereka pula segala sumber daya sejatinya berada.
Kenyataannya, dalam sistem yang digunakan saat ini, para pemilik modallah yang bisa mengendalikan pasar sesuai penguasaan mereka atas sektor ekonomi, bahkan mereka bisa menekan dan mengalihkan fungsi negara.
Jadi jangan harap kebutuhan pokok yang hilang timbul akan stabil dan harga-harga yang sudah terlanjur merangkak naik akan kembali normal. Sepertinya masalah klasik itu akan terus mengusik selama yang digunakan sistem kapitalisme.
Solusi Islam
Sementara dalam sistem Islam, menetapkan bahwa pemimpin bertanggung jawab atas urusan rakyatnya. Menjamin kesejahteraan mereka dengan memenuhi kebutuhan salah satunya ketersediaan pangan. Tanggung jawab tersebut terdorong atas dasar landasan keimanan dan ketaatan pada aturan-aturan Islam.
Terkait jaminan pangan, negara akan menjaga ketersediaan pangan agar kebutuhan rakyat terpenuhi dengan mudah, murah, dan berkualitas. Jika ketersediaan barang berkurang yang menyebabkan harga naik maka ketersediaan barang bisa diseimbangkan kembali oleh negara tanpa ada ketergantungan kepada asing.
Jika berkurangnya barang karena penimbunan, maka negara bisa menjatuhi sanksi sekaligus kewajiban melepaskan barang pemiliknya ke pasar. Jika berkurangnya barang karena penipuan maka negara pun akan menjatuhi sanksi ta'zir. Yaitu hukuman yang diberikan oleh kepala negara sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukan bertujuan untuk memberikan efek jera bagi para pelakunya agar kejahatan tersebut tidak berulang.
Saat ini peradaban Islam telah lama hilang hingga rakyat jauh dari sejahtera. Oleh karenanya, menjadi satu kewajiban untuk menghadirkan kembali peradaban Islam agar seluruh peraturan hidup bisa diterapkan dalam naungan syariat-Nya. Sudah saatnya menyingkirkan peradaban sekularisme kapitalisme yang membuat hidup rakyat tercekik oleh persoalan yang terus mengusik.[]
Oleh: Yun Rahmawati
Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok
0 Komentar