Topswara.com -- Geng motor makin meresahkan masyarakat. Gerombolan anak-anak muda bersenjata tajam ini berkeliling menggunakan motor mencari korban secara acak. Biasanya mereka mengincar harta benda seperti sepeda motor untuk dirampas. Tetapi tidak jarang mereka juga melukai korban sehingga banyak pula yang kehilangan nyawa.
Seperti yang baru-baru ini terjadi di Desa Ranca Beureum, Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung. Seorang pemuda berusia 23 tahun yang diduga anggota geng motor melakukan penganiayaan hingga menewaskan remaja berusia 15 tahun. Menurut pengakuan pelaku dia menganiaya korban karena tersinggung akibat dibentak ketika meminta rokok, sementara pelaku dalam keadaan mabuk. (Harapanrakyat.com, 6 Februari 2023)
Kejadian seperti ini bukan satu, dua kali terjadi. Korban geng motor yang kehilangan nyawa maupun harta kian bertambah. Sehingga semakin hari semakin sulit mendapatkan rasa aman.
Bentuk kriminalitas seperti ini adalah satu dari sekian banyak potret buram kehidupan generasi yang kehilangan jati dirinya. Para pemuda yang jauh dari tuntunan agama merasa bebas melakukan apapun untuk mengekspresikan bentuk eksistensi diri mereka dan memancing perhatian masyarakat sekalipun dengan cara yang buruk.
Pemuda seperti ini adalah cerminan generasi lemah yang kehilangan arah dan tujuan hidupnya yang benar. Mempertahankan eksistensi diri adalah hal yang lumrah dan naluriah, tetapi jika tidak disalurkan dengan cara yang benar maka hasilnya adalah kemunduran akhlak dan perilaku.
Hal demikian tidak lepas dari penerapan siatem kapitalisme sekuler yang dijalani oleh umat saat ini. Sekularisme adalah pola pikir yang memisahkan urusan agama dari kehidupan dan melahirkan liberalisme (paham kebebasan). Hal ini yang menjadikan generasi kini semakin rusak, bebas melakukan apapun menuruti hawa nafsu mereka.
Keimanan yang sangat tipis menjadikan mereka menafikan dosa. Yang penting bagi mereka adalah kesenangan mengaktualisasi diri dengan caranya yang keliru.
Lantas apa kaitan apitalisme dengan maraknya geng motor saat ini dan rusaknya moral generasi?
Pertama, sistem kapitalisme mendasarkan kehidupan ini pada materi semata. Kesuksesan hidup diukur dari seberapa banyak pencapaian materi yang didapat dari hasil bekerja, belajar/sekolah apapun bentuknya.
Kedua, kapitalisme menjadikan peran seorang ibu bergeser dari yang semestinya seorang ummu wa rabbatul bait yaitu ibu dan pengatur rumah tangga menjadi ibu pekerja yang menghabiskan sebagian besar waktunya di tempatnya bekerja.
Yang demikian umumnya dilakukan karena kebutuhan hidup yang tinggi dan tidak bisa dipenuhi oleh seorang bapak sebagai pencari nafkah keluarga. Otomatis anak yang ditinggal kedua orang tuanya bekerja akan kekurangan perhatian dan kasih sayang. Sementara seorang anak hingga usia remaja membutuhkan dua hal tersebut agar tumbuh kembang fisik dan emosionalnya berjalan dengan baik.
Ketiga, sistem pendidikan sekuler yang membangun sisi kognitif (kecerdasan) tetapi alpa dalam membangun akidah serta pola pikir dan pola sikap hingga membentuk kepribadian yang Islami.
Hal yang demikian itu karena agama dijauhkan dari kehidupan dan tidak diperkenankan turut mengatur urusan kehidupan. Maka tak heran bila muncul para pemuda yang cerdas secara akal namun tidak berakhlak.
Keempat, kapitalisme membiarkan konten-konten media sosial maupun mainstream yang mengajarkan anarkisme beredar luas. Hal ini karena prinsip mabda tersebut semata-mata mencari keuntungan tanpa memikirkan efek jangka pendek maupun panjang bagi perkembangan mental dan emosional generasi.
Kelima, mabda kapitalisme apabila diterapkan dalam bernegara akan menciptakan penguasa yang abai terhadap rakyatnya. Sehingga pembentukan mental dan moral generasi diserahkan hanya pada institusi keluarga.
Jadi bila terjadi kerusakan moral generasi di suatu negeri semata-mata itu adalah kesalahan keluarga dalam mendidik anak-anaknya. Negara tidak bertanggung jawab di dalamnya karena itu termasuk ranah domestik.
Keenam, lemahnya kontrol dan tidak berjalannya amar makruf nahi mungkar di tengah umat. Masyarakat kapitalisme cenderung individualistis sehingga membiarkan kenakalan remaja yang mengarah pada perbuatan maksiat.
Padahal dalam membentuk generasi yang berkualitas dibutuhkan tiga pilar yang saling berkelindan, yaitu: keluarga, masyarakat dan negara. Yang demikian itu negara memiliki peran paling strategis dalam membentuk pola pikir dan kepribadian para pemuda. Sebab negaralah yang dapat menerapkan aturan secara praktis di tengah-tengah masyarakat.
Hal seperti inilah yang diterapkan dalam aturan Islam. Sistem Islam meniscayakan seorang pemimpin yang bertanggung jawab atas umat yang dipimpinnya karena dorongan ketakwaan. Seorang pemimpin dalam Islam tidak akan membiarkan harta kekayaan negerinya dikeruk oleh bangsa lain dan membiarkan rakyatnya terpuruk dan miskin.
Khalifah tidak akan membiarkan satu orang lelaki dewasa pun tanpa pekerjaan sehingga tidak bisa menafkahi keluarganya. Lapangan kerja disediakan dengan sangat luas.
Negara pun menjamin ketersediaan kebutuhan pokok dengan harga yang terjangkau oleh rakyat. Negara juga menanggung seluruh biaya kesehatan, pendidikan dan keamanan rakyat, sehingga mereka dapat menikmatinya dengan gratis.
Dengan begitu fungsi seorang ibu dapat dilakukan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengurus buah hatinya dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Ibu akan memiliki waktu yang cukup untuk mendidik anak dan membentuk akidah Islam mereka tanpa dibebani tanggung jawab mencari nafkah. Dengan demikian tumbuh kembang anak secara fisik, mental dan emosional dapat berjalan dengan baik.
Di samping itu masyarakat yang didorong untuk melakukan amar makruf nahi mungkar akan melaksanakan fungsi kontrol di tengah masyarakat. Umat tidak akan segan-segan memberi teguran apabila terjadi kemaksiatan yang dilakukan oleh siapapun. Selain itu negara juga menjamin keamanan masyarakat dengan memerintahkan para syurthoh (polisi) untuk berpatroli menjaga keamanan.
Negara juga akan menerapkan hukum yang membuat efek jera kepada pelaku kriminal sekalipun mereka masih berusia remaja karena dalam Islam sudah mukallaf. Adapun dalam kasus geng motor dapat diberlakukan beberapa macam hukuman, yaitu pencurian, penganiayaan dan pembunuhan.
Rasulullah saw. bersabda “(Bagi yang) sengaja (melukai atau membunuh, hukumannya) ialah qishash, kecuali jika wali yang terbunuh memaafkan.” (HR. Ad-Darquthni & Ibnu Abi Syaibah, shahih)
Menerapkan pendidikan Islam juga menjadi cara penguasa untuk membentengi para pemuda melakukan kemaksiatan apapun termasuk geng motor.
Generasi akan dibentuk pola pikir dan kepribadiannya dengan sistem Islam. Konten-konten yang berbahaya dan merusak akal pikiran para pemuda juga akan diberangus dan tidak dibiarkan beredar, diganti dengan konten-konten yang dapat membangkitkan keimanan dan ketakwaan mereka.
Dengan demikian para pemuda yang menjadi harapan umat dalam kebangkitan peradaban Islam yang mulia kedepannya dapat diwujudkan. Tidak lain dengan penerapan sistem yang sahih yaitu Islam kaffah.
WalLahu a'lam bi ash shawab.
Oleh: Tatiana Riardiyati Sophia
Pegiat Dakwah
0 Komentar