Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dana Haji, Investasi, dan Polemik Ibadah Haji Tak Kunjung Usai?


Topswara.com -- Pemerintah melalui Kementerian Agama mengusulkan kenaikan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang harus dibayarkan oleh calon jama'ah haji jadi sebesar Rp69 juta. Jumlah ini tentu menjadi jumlah yang besar karena naik hampir dua kali lipatnya. Lalu mengapa pemerintah tiba-tiba berencana menaikkan dana haji dengan angka yang cukup drastis ini?

Kenaikan Dana Haji

Dirilis dari CNN Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Agama mengusulkan kenaikan biaya perjalanan haji. Tahun ini pemerintah mengusulkan rata-rata BPIH per jama'ah sebesar Rp98.893.909, dengan komposisi Bipih Rp69.193.733 dan nilai manfaat sebesar Rp29.700.175 juta atau 30 juta. 

Biaya haji tahun ini melonjak hampir dua kali lipat dari tahun lalu yang hanya sebesar Rp39,8 juta. Ongkos ini juga lebih tinggi dibandingkan 2018 sampai 2020 lalu yang ditetapkan hanya Rp35 juta.

Beberapa tahun terakhir ini dana haji kerap mengalami polemiik dikarenakan biaya penyelenggaraan ibadah haji yang bertambah mahal. Dengan demikian kondisi ini mendorong kita untuk memahami bagaimana mekanisme biaya penyelanggaraan ibadah haji ini. 

Dilansir dari krjogja.com, ada 12 komponen utama BPIH yaitu meliputi penerbangan, akomodasi, living cost; maslahat ‘ammah, konsumsi, angkutan darat, operasional, perbekalan, pembinaan, penyuluhan dan pelatihan, sewa, pemeliharaan, dan beban lainnya.

Sementara mekanisme pembayaraan dana haji dengan menggunakan terminology yaitu direct-cost dan indirect-cost. Direct-cost adalah biaya yang harus disetorkan oleh jama’ah haji. Umumnya hanya digunakan untuk beban penerbangan, sebagian akomodasi di Makkah, dan living cost sebesar SAR1500 atau lebih kurang Rp.5.568.000.  

Kita ambil contoh kasus musim haji tahun 2019 lalu, maka kita akan mengetahui bahwa direct cost berjumlah Rp 35.235.602. Ini yang harus dibayarkan oleh calon jama’ah haji.

Sedangkan beban selain unsur-unsur di atas masuk kategori indirect-cost, yang berasal dari subsidi yang diambilkan dari nilai manfaat hasil pengelolaan dana oleh BPKH. Dan indirect cost pada tahun 2019 lalu berjumlah Rp 34.764.454 sehingga total berjumlah Rp 70.000.050. Artinya BPIH sesungguhnya per jama'ah adalah Rp 70.000.050. Ini merupakan angka rata-rata nasional.

Investasi Dana Haji Biang Polemik

Investasi dana haji dimulai sejak tahun 2011 dengan pemanfaatan dana haji dilakukan ke deposito syariah, surat berharga dan emas. Kemudian pemerintah meresmikan BPKH pada tahun 2017 di bawah UU No 34 Tahun 2014 sebagai sebuah lembaga berwenang dalam mengelola dana haji dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji dan memberikan kemaslahatan bagi umat Islam di Indonesia. 

Namun jika dikaji lebih lanjut polemik dana haji yang terjadi beberapa tahun terakhir justru bersumber dari investasi yang digagas pemerintah. Yang mana manfaat atau laba dari investasi tersebut dijadikan sumber pembiayaan indirect cost senilai untuk mendanai sebagian biaya calon jama’ah haji. Harusnya biaya haji adalah 70an juta misalnya, akhirnya calon jama'ah haji hanya membayar setengahnya.

Mekanisme investasi ini akhirnya mengabaikan prinsip istitho’ah. Istitho’ah adalah suatu kondisi seseorang memiliki bekal secara finansial untuk biaya perjalanan haji dan untuk biaya keluarga yang ditinggalkan. 

Tetapi mekanisme atas nama investasi namun beraroma bisnis ini justru mengabaikan prinsip tersebut. Banyak pihak atas nama investasi justru memanfaatkannya sebagai jalan mendapatkan dana mudah dan segar dari rakyat untuk kepentingan masing-masing. Investasi menggerakkan semua pihak-pihak terkait untuk berlomba-lomba membuka pendaftaran haji walau dengan digit yang kecil, kemudian inilah yang menjadi malapetaka tersendiri bagi kelanjutan mekanisme keberangkatan jama’ah haji. 

Harusnya dengan prinsip istitho’ah, rakyat yang akan mendaftar haji adalah mereka yang benar-benar mampu secara finansial. Maka tidak akan ada yang namanya daftar tunggu atau antrian keberangkatan hingga puluhan tahun lamanya seperti yang dialami dan dirasakan hari ini. Karena dana haji yang didaftarkan sesuai biaya yang ada tanpa ada dana manfaat dari hasil investasi.

Baca Juga
Maka dana haji yang diusulkan oleh Kemenag tahun ini sebenarnya tidak mengalami kenaikan. Namun kembali kepada biaya yang seharusnya dibayar oleh rakyat tanpa ada dana manfaat atau subsidi hasil investasi oleh BPKH. Besar kemungkinan investasi dengan cara riba tersebut telah gagal dan pemerintah tidak memiliki cadangan dana untuk memberangkatkan calon jama’ah yang sudah masuk daftar tunggu. 

Sehingga agar jama'ah yang terjadwal berangkat tahun ini dapat tetap melaksanakan ibadah haji, mau tidak mau pemerintah membutuhkan suntikan dana segar guna menutupi kegagalan investasi. Dan sumber dana yang paling mungkin diraih adalah melalui para jama'ah itu sendiri. Kondisi ini memiliki peluang terulang di kemudian hari, selama skema pembiayaan masih menggunakan sistem yang sedang diberlakukan. 

Dan lagi-lagi, yang akan jadi korban serta pesakitan adalah rakyat. Demikianlah tata kelola dengan sistem kapitalisme sekuler hari ini, tidak akan pernah ada jaminan kebaikan didalamnya. Penguasa yang jauh dari landasan takwa tidak takut dosa menjalankan amanah kepemimpinan dengan prinsip materi dan keuntungan semata.

Khilafah Memudahkan Rakyat Menjalankan Ibadah Haji

Ibadah haji adalah ibadah yang agung. Khilafah menyediakan pelayanan dan perhatian yang besar bagi rakyat yang akan menjalankan ibadah haji seperti menyediakan posko peristirahatan bagi calon jama'ah haji yang lelah perjalanan dari negara menuju tanah suci, menyediakan makan dan minum untuk mereka. Mereka dilayani sebaik-baiknya sebagai tamu-tamu Allah tanpa ada unsur bisnis, karena itu merupakan kewajiban yang harus dijalankan negara. 

Kemudian sebagai bentuk periayahan kepada rakyat yang melakukan ibadah haji, khalifah melakukan beberapa hal: 

Pertama, khalifah menunjuk pejabat khusus untuk memimpin dan mengelola pelaksanaan haji dengan sebaik-baiknya. Mereka dipilh dari orang-orang bertakwa dan cakap dalam memimpin. Tidak seperti pejabat hari ini, yang hanya berpikir manfaat dan keuntungan, tidak melihat dana haji sebagai dana umat yang haram jika tidak diperlakukan dengan benar dan amanah. 

Kedua, jika negara harus menetapkan biaya penyelenggaraan haji, maka nilainya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jama'ah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari Tanah Suci. Kita bisa bandingkan dengan dana haji hari ini yang sangat mahal. 

Terlebih untuk dana haji khusus hingga mencapai angka 350 juta hingga 600 juta rupiah. Angka yang sangat fantastis dan snagat mencekik rakyat. Negara juga bisa membuka opsi, yakni rute darat, laut dan udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang berbeda. 

Ketiga, khalifah berhak mengatur kuota haji dan umrah. Dengan demikian, keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jama'ah haji dan umrah. Karena khalifah harus memperhatikan kewajiban haji hanya berlaku sekali seumur hidup dan hanya berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. 

Bagi calon jama'ah yang belum pernah haji, sedangkan sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan.

Demikianlah mekanisme haji dalam Islam. Biaya dan kemudahan prosesnya akan menjadi perhatian negara. Karena negara yang menerapkan syariat Islam tidak memanfaatkan rakyat untuk meraih keuntungan bagi negara dan pejabatnya. 

Justru negara sangat memastikan segala hak dan kebutuhan rakyatnya terpenuhi dengan baik. Sebab negara yang menerapkan Islam menjalankan kewajibannya sebagai pemimpin dan pejabat atas dasar iman dan takwa. Bahwa setiap kepemimpinan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak. Apalagi ini terkait dengan ibadah umat. 

Wallahu a'lam.


Oleh: Rahmania, S.Psi.
Aktivis Muslimah

Posting Komentar

0 Komentar