Topswara.com -- Fenomena Childfree ini sebenarnya bukan hanya soal pilihan dan sikap menolak anak, tetapi di balik itu ada fenomena gunung es yang harus dibongkar.
Pertama, secara historis Childfree ini lahir dari paham bukan Islam. Kemudian ketika dunia mengalami ledakan demografi, negara-negara Barat berusaha mengurangi populasi dunia dengan mengadopsi teori Maltus. Setelah itu, diikuti dengan berbagai konsep turunan kapitalisme yang lain.
Kedua, negara Barat melalui Konferensi Kependudukan di Kaero dan Beijing berusaha mengegolkan pelegalan LGBT dan Aborsi, yang di Barat sudah dinyatakan legal. Karena ini bagian dari rencana pengurangan populasi dunia
Ketiga, kajian fikih tentang bentuk-bentuk Childfree hanya menyentuh aspek kulit, seperti boleh tidak tidak menikah (membujang), menikah tetapi tidak mempunyai anak, misalnya memakai alat kontrasepsi, dan sebagainya.
Karena itu, dibutuhkan kajian yang lebih mendalam, bukan hanya dari aspek fikih ini, tetapi juga apa yang ada di belakang, dan dampaknya ke depan.
Karena itu, Childfree harus dilihat secara menyeluruh, dari aspek sejarah, latar belakang pemikiran, pandangan fuqaha terhadap bentuk-bentuk Childfree, termasuk dampaknya bagi umat dan dunia, baik dari aspek Maqashid as-Syariah maupun Ma'alat al-Af'al.
Dengan begitu akan diperoleh gambaran yang utuh tentang wajah Childfree yang sesungguhnya, dan bagaimana bahaya ide dan pikiran ini.
Orang yang memilih Childfree karena trauma, takut masa depan anaknya, dan sebagainya jelas mempunyai masalah akidah. Tentang qadha dan qadar, tawakkal, rizki dan ajal. Juga menyalahi fitrah manusia, laki dan perempuan, yang diciptakan dengan potensinya.
Bahkan, sikap dan gaya hidup ini merusak ketahanan bangsa, umat dan negara. Lihat kasus Jepang dan negara Eropa yang mengalami masalah minimnya angka kelahiran. Mereka sedang menghadapi ancaman kepunahan karena pilihan dan gaya hidup mereka.
Ingin tahu lebih dalam, tunggu buku Fenomena Childfree dalam Pandangan Islam yang insya Allah akan segera rilis.
Rabbi Yassir wa La Tu'assir
Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman
Khadim Ma'had Syaraful Haramain
0 Komentar