Topswara.com -- Lepas dari pandemi Covid-19, berharap keadaan ekonomi akan membaik, faktanya tidaklah demikian. Satu sisi pembangunan terus melaju, seakan menjadi simbol negara maju, sisi lain akibat melambungnya harga-harga dan gelombang PHK, masyarakat miskin terus bertambah, bahkan terkategori kemiskinan ekstrim.
H. Eep Jamaludin Sukmana, selaku anggota DPRD Kabupaten Bandung fraksi PAN DP 1 (Soreang, Kutawaringin, Ciwidey, Pasirjambu) menyoroti banyaknya warga yang masuk kategori kemiskinan ekstrim berada di wilayah Daerah Pemilihan 1. Menurut Eep kemiskinan ekstrim harus menjadi pusat perhatian karena sifatnya fluktuatif, yaitu berubah-ubah sewaktu-waktu. (tribuntipikor.com 8/2/2023).
Lebih lanjut H. Eep mengungkapkan, ciri kemiskinan ekstrim adalah betul-betul tidak punya pekerjaan. Untuk biaya hidup diri sendiri bergantung sama orang lain. Masih menurut H. Eep, segala bantuan baik dari kementrian, BanGub hendaknya dialokasikan untuk skala prioritas bagi mereka yang tidak terakomodir oleh APBN Kabupaten Bandung.
Fakta kemiskinan ekstrim tentu saja bukan hanya di sebagian wilayah Kabupaten Bandung saja, mengingat PHK terjadi di banyak wilayah. Berbagai bantuan, kalaupun ada yang khusus ditujukan bagi yang tidak memiliki pekerjaan ataupun korban PHK sifatnya hanya sesaat, sangat tidak merata, ada yang tidak tepat sasaran, juga menjadi lahan korupsi baru.
Bagi yang tidak memiliki pekerjaan, kebutuhan untuk dirinya sendiri bergantung kepada belas kasihan orang lain, bagaimana kemudian kalau dia sendiri sebagai penanggung nafkah, sementara bansos hanya berlaku insidental? Maka masalah kemiskinan berdampak kepada stunting, anak putus sekolah, dan kesulitan lainnya.
Yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana menciptakan lapangan kerja baru, harga-harga terjangkau, biaya hidup murah. Masalah kemiskinan akan selesai dengan menghilangkan faktor yang membuat seseorang miskin. Bansos bukanlah solusi menghilangkan kemiskinan, apalagi jika bansos dipandang sebagai beban APBN, sehingga pemerintah keteteran menyediakannya.
Ironisnya walaupun rakyat bertambah miskin, pembangunan tidak boleh terhenti seperti IKN, kereta cepat, dan infrastruktur lainnya. Kebutuhan perut rakyat seakan tidak lebih penting dibanding bermegah-megahan memenuhi ambisi. Akibat negeri ini berkiblat pada sistem ekonomi kapitalisme ala Barat, masalah kemiskinan terus melekat tak kunjung terselesaikan.
Ekonomi kapitalisme telah memberikan kebebasan dalam hal kepemilikan. Sehingga membiarkan dikuasainya sumber daya alam termasuk yang merupakan hajat hidup orang banyak, oleh swasta. Keuntungan mengalir deras kepada para kapital atau pengusaha.
Kebutuhan akan air, gas, listrik, bensin, sangat tergantung kepada pengusaha. Jika pengusaha menaikkan harganya, rakyat makin panik, tapi tetap tidak berdaya. Penguasa bukan tempat mengadu, karena hanya bertindak sebagai regulator pembuat kebijakan, juga makelar yang mendapat keuntungan dari pengusaha. Keduanya saling membutuhkan sebagaimana hal ini sangat kentara di tahun politik.
Selain kebebasan kepemilikan, banyaknya program yang diperuntukkan demi menuntaskan kemiskinan selalu saja menggandeng swasta. Begitupun dalam hal penyediaan lapangan kerja, menjadikan negara tidak berkemampuan menuntaskan masalah kemiskinan sekaligus pengangguran.
Semakin lama negara menerapkan sistem ekonomi kapitalisme, selama itu pula problem kemiskinan akan mendera, cita-cita ekonomi maju makin menjauh. Apakah kondisi ekonomi masyarakat bisa berubah? Tentu saja bisa. Sistem ekonomi Islam, mulai dari tataran konsep sampai implementasi telah membuktikannya.
Dalam sistem ekonomi Islam, kepemilikan akan harta atau sumber daya alam diatur dan dibagi sesuai syariat. Ada tiga macam kepemilikan yaitu, kepemilikan individu, umum, dan negara.
Kepemilikan individu bisa diperoleh dengan bekerja, waris, hadiah, pemberian atau subsidi dari negara, dan yang lajnnya.
Adapun yang termasuk kepemilikan umum adalah air, listrik, danau, laut, jalan raya, barang tanbang melimpah (emas, batu bara, mjnyak bumi) dan yang lainnya. Semuanya tidak boleh diprivatisasi atau dimonopoli oleh individu ataupun komunitas walaupun mereka mampu membelinya.
Terakhir kepemilikan negara, meliputi seluruh harta yang pengelolaannya diserahkan kepada khalifah untuk kemaslahatan negara dan umat. Yaitu ganimah, jizyah, kharaj, harta orang murtad dan yang lainnya.
Kepemilikan dalam Islam harus sesuai syariat begitupun pengelolaannya. Harta tidak boleh diinvestasikan dengan akad batil dan cara ribawi, seperti bursa saham, pasar modal, dan bentuk ribawi lainnya.
Menjadikan harta akan berputar, ekonomi riil berkembang, kemiskinan otomatis berkurang bahkan hilang, karena ada kebijakan dari negara berupa pemberian cuma-cuma disamping zakat, yang sifatnya permanen bagi yang tidak bekerja alasan sakit atau cacat.
Peran negara begitu sentral sesuai dengan fungsiya sebagai peri'ayah atau pengurus bagi rakyatnya sebagaimana sabda Nabi:" Seorang penguasa adalah pengurus bagi rakyat yang dipimpinnya, dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban terhadap kepengurusannya. (HR. Bukhari Muslim)
Dari bukti sejarah, sistem ekonomi Islam mampu mengatasi kemiskinan, yaitu di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tidak ada satu orangpun rakyat yang berhak menerima zakat. Tidak ada yang berhak menerima zakat adalah infdikator tercukupinya kebutuhan hidup layak.
Kondisi inI tIdak akan ditemukan dalam sistem ekonomi kapitalisme sekalipun yang menerapkannya adalah negara maju. Selalu akan ditemukan yang kaya semakin kaya, yang miskin tambah miskin. Ciri khas kondisi rakyat dalam sistem kapitalisme.
Demikianlah kemampuan sistem ekonomi Islam yang terintegrasi dengan sistem lainnya; sosial, moneter, sanksi, dan yang lainnya, menciptakan masyarakat sejahtera terbebas dari kemiskinan.
Wallahu a'lam bi ash shawwab
Oleh: Enok Sonariah
Pegiat Dakwah dan Sahabat Topswara
0 Komentar