Topswara.com -- Sebuah survey mengejutkan menyebut Indonesia menjadi negara keempat di Dunia dengan kasus perselingkuhan terbanyak, yakni 277,534,122 populasi. Ranking pertama diduduki India, kemudian Cina, lalu AS menyusul di ranking ketiga, sebagaimana dirilis Pikiran Rakyat (17-2-2023).
Sementara itu, dilansir dari Tribunnews (18-2-2023) merilis hasil survey aplikasi Just Dating yang menyebut bahwa Indonesia menjadi negara kedua di Asia yang terbanyak terjadi kasus perselingkuhan setelah Thailand.
Sebanyak 50 persen responden mengaku pernah berselingkuh dari pasangannya masing-masing. Untuk Indonesia hasil survei menunjukkan sebanyak 40 persen mengaku pernah menyelingkuhi pasangannya. Disusul kemudian ada Taiwan dan Singapura dengan hasil 30 persen pasangan mengaku berselingkuh.
Maraknya perselingkuhan adalah indikasi rapuhnya ikatan pernikahan dan bangunan keluarga. Memang benar, perselingkuhan itu terjadi karena berbagai sebab, namun secara garis besar, hal itu terjadi karena lemahnya ‘benteng pertahanan’ dalam diri pasangan.
Tertarik kepada lawan jenis di luar pasangannya akibat sering berinteraksi kerap menjadi cikal bakal perselingkihan. Jalinan cinta terlarang inilah yang menendurkan ikatan pernikahan dan mengikis bangunan keluarga.
Apapun alasannya, selingkuh adalah perbuatan terlarang dalam perspektif hukum apalagi agama. Masyarakat manapun sepakat bahwa selingkuh adalah perbuatan ‘dosa’. Itulah sebabnya, pelaku selingkuh selalu ‘diam-diam’ dalam melakukan aksinya.
Bila dilihat dari perspektif islam, selingkuh adalah bentuk pengkhianatan terhadap aqad pernikahan dan dapat dikategorikan sebagai zina. Seseorang berselingkuh karena berbagai dalih, misalnya karena tidak puas terhadap pasangan, atau sekadar mencari kesenangan yang tidak ia dapatkan pada pasagannya, atau lemahnya komitmen, sehingga mudah beralih ke lain hati secara sembunyi-sembunyi.
Fenomena semacam ini wajar belaka dalam sistem sekulerisme seperti sekarang. Ketika agama dijauhkan dari kehidupan, maka beragam persoalan berdatangan tanpa bisa dituntaskan.
Seperti kasus perselingkuhan yang makin hari makin banyak jumlahnya dan beragam pula dalihnya. Agama hanya menjadi kebutuhan privat ketika salat, zakat, ijab dan qobul, serta talak.
Peran agama nyaris hilang dalam mengatur interaksi sosial di masyarakat, terlebih soal interaksi antara lawan jenis. Yang mengatur itu semua adalah nilai-nilai sekuler yang liberal. Hubungan ‘suka-suka gue’, ‘hak asasi gue’, ‘bukan urusan loe’, dsb menjadi dalih yang lumrah dikemukakan.
Dalih-dalih yang diungkapkan mengindikasikan kerapuhan komunikasi dan lemahnya benteng pertahanan diri. Ketika rumah tangga dilanda masalah, mereka cenderung ‘lari’ mencari kesenangan.
Bukannya merumuskan masalah dan menyelesaikan secara sabar dan sungguh-sungguh, kebanyakan mereka ini gampang menyerah dan bersumbu pendek dalam menghadapi pasangannya.
Nilai-nilai sekularisme telah mengikis sifat takwa sehingga seseorang kehilangan rasa takut akan dosa. Manusia berlari mengejar kesenangan jasmani dan manfaat material dari pada mempertahankan kesucian pernikahan.
Apakah ada jaminan bahwa perselingkuhan itu akan menjadi hubungan yang langgeng dan menentramkan? Berapa lama ia akan mampu bertahan jika kelak badai persoalan juga menimpa pasangan selingkuhannya? Komitmen akad nikah saja berani dilanggar, apalagi hubungan tanpa komitmen mengikat seperti selingkuh.
Tidak hanya di level individu, sekularisme juga mengikis tradisi mulia amar makruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat cenderung abai dan cuek terhadap problem di sekitarnya (perselingkuhan, misalnya) lantaran diberlakukannya mantra ‘hak asasi’.
Meskipun ada sebagian yang juga melakukan rasan-rasan hingga penggerebekan. Tetapi, nyatanya, cara ini tak mampu membendung aksi selingkuh yang lainnya. Pun dengan negara yang juga mengadopsi sekularisme. UU yang mengatur zina saja seakan-akan a lot dalam pembahasan. Kategori zina sangat kabur. Asalkan dailakukan secara ‘suka-sama suka’, tidak termasuk tindak pidana.
Oleh karenanya, dibutuhkan paradigma baru untuk menyelesaikan persoalan perselingkuhan. Paradigma satu-satunya yang relevan hanyalah Islam. Paradigma Islam menjadikan pernikahan sebagai ibadah, bahkan perjanjian kuat di hadapan Allah SWT.
Pernikahan bukan sekadar untuk meraih kesenangan jasmani semata, namun ada tujuan mulia yang harus dicapai agar kehidupan masyarakat tetap dalam kemuliaan dan kesucian.
Dalam Islam, keberlangsungan pernikahan wajib dijaga tidak hanya oleh pasangan suami istri saja, tetapi juga oleh masyarakat dan negara. Negara memiliki andil besar untuk ikut menjaga kuatnya ikatan pernikahan. Peran itu diwujudkan dengan berbagai perangkat hukum atau aturan yang diterapkan dalam berbagai aspek terkait, sistem sosial, sistem pendidikan, sistem ekonomi, bahkan juga sistem kesehataan dan lainnya.
Islam menurunkan seperangkat hukum-hukum berkeluarga dengan menata pembagian peran antara suami dan istri, dan mengatur pola hubungan persahabatan di antara keduanya. Tujuan berkeluarga dalam Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. dan mewujudkan ketenteraman, bukan semata memuaskan naluri seksual atau semata karena status sosial. Islam sangat menekankan paradigma tanggung jawab dalam menjalani peran di keluarga.
Lebih dari itu, Islam yang diterapkan secara komprehensif oleh negara terbukti efektif memberikan fondasi keimanan dan ketakwaan bagi kaum muslim sehingga tidak mudah menggoyahkan pembagian peran tiap pasangan, termasuk soal nafkah dan kesetiaan.
Syariah Islam yang dijalankan negara memastikan jaminan nafkah melalui mekanisme sistem ekonomi yang sehat. Ekonomi islam terbukti mampu mengentaskan kemiskinan dan menjadikan masyarakat berada pada taraf makmur. Karenanya, akan meminimalisir angka keterlibatan perempuan di ranah publik sebagai tenaga kerja dan meredam ‘gejolak asmara’ di tempat kerja.
Di sinilah wujud nyata Islam melalui perisainya (khilafah) mampu melindungi bangunan keluarga dari badai perselingkuhan dan tuntutan hidup materialistik yang hari ini kian melanda keluarga-keluarga muslim.
Sungguh, umat membutuhkan islam kafah dalam naungan khilafah agar firman Allah SWT benar-benar terwujud dalam kehidupan umat.
Allah pernah Berfirman: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia yang menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu kemudian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih serta rasa sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi para kaum yang berpikir.” (Ar Ruum: 21). Wallahua’lam.
Oleh: Pipit Agustin
Sahabat Topswara
0 Komentar