Topswara.com -- Gemah ripah loh jinawi, adalah peribahasa Jawa yang menggambarkan kondisi masyarakat dengan wilayah yang subur makmur. Sejatinya hal tersebut layak disematkan untuk Indonesia dengan kekayaan yang melimpah.
Sayangnya fakta yang ada justru sebaliknya. Bagaimana tidak, dari tahun ke tahun utang negeri ini justru semakin meningkat. Kekayaan yang ada seakan tidak cukup memenuhi kebutuhan rakyat.
Dikabarkan melalui laman cnbcindonesia.com (18/1/2023), berdasarkan catatan Kementerian Keuangan posisi utang Pemerintah Indonesia sampai dengan akhir Desember 2022 mencapai Rp7.733,99 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 39,57 persen.
Terdapat peningkatan dalam jumlah nominal dan rasio utang dari bulan sebelumnya. Namun demikian, pemerintah masih mengeklaim rasio utang terhadap PDB dalam batas aman, wajar, dan terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal.
Terkait utang pemerintah ini, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J. Rachbini, menilai bahwa utang negara sejak periode pemerintah 2014 terus-menerus meningkat. Menurutnya hal ini akan berimplikasi pada APBN ke depan yang akan habis untuk membayar utang.
Sejatinya Indonesia memiliki sumber kekayaan yang melimpah ruah. Mulai dari hutan, laut, minyak bumi, gas, batubara, hingga emas. Namun demikian, apa sesungguhnya yang menyebabkan utang negara semakin membengkak?
Penyebab Utang Terus Membengkak
Menanggapi utang Indonesia yang semakin besar, Direktur Pusat Riset Politik, Hukum dan Kebijakan Indonesia, Saiful Anam, menilai bahwa kondisi ini merupakan salah satu kriteria kegagalan pemerintah dalam mengelola negara. Menurutnya jika pemerintah sungguh-sungguh, tidak akan terjadi pertumbuhan utang yang semakin besar.
Kesalahan pengelolaan negara terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme sekulerisme. Dalam sistem ini negara memberikan keleluasaan dalam pengelolaan dan kepemilikan harta milik umum dan negara kepada pihak asing dan swasta.
Misalnya saja PT Freeport yang mengelola emas. Meski saat ini kepemilikan saham Indonesia di atas 50 persen, akan tetapi keuntungan dari pengelolaan emas ini sebagian masih masuk ke kantong pengusha asing. Sehingga kekayaan yang melimpah tidak berkorelasi pada perolehan pendapatan negara.
Meski negara memiliki kekayaan yang melimpah, tetapi tak mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya. Bahkan APBN selalu defisit. Untuk mengatasi anggaran negara yang defisit, maka sistem kapitalisme menjadikan ULN (Utang Luar Negeri) sebagai solusi. Padahal di dalamnya ada unsur bunga serta membahayakan kedaulatan negara.
Bahaya Utang Luar Negeri
Terus meningkatnya utang negara sejatinya akan membahayakan negara. Salah satunya utang luar negeri mengandung unsur bunga. Sehingga hal ini akan membebani APBN untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga yang juga makin tinggi. Pasalnya mayoritas utang luar negeri dalam bentuk dolar, hingga terjadi fluktuatif dalam pembayaran sesuai kurs dolar. Kas negara pun akan tersedot untuk membayar utang setiap tahun.
Semakin besar jumlah utang, maka jumlah kas negara yang tersedot untuk membayar cicilan utang pokok dan bunganya juga semakin besar. Akibatnya, kapasitas APBN untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat makin terbatas. Pada akhirnya tetap saja rakyat yang dibebani utang. Terlebih sumber pendapatan APBN diperoleh dari pajak yang dipungut dari masyarakat.
Di sisi lain, meski utang semakin menggunung, tetapi pemerintah mengeklaim rasio utang terhadap PDB dalam batas aman dan terkendali. Hal ini sesungguhnya menunjukkan alarm kerusakan. Bagaimana mungkin utang yang semakin membengkak tapi tetap merasa aman. Anggapan ini pun dibantah oleh ekonom Indef, Bhima Yudhistira.
Menurutnya bahwa risiko utang tidak bisa dilihat hanya dari rasio utang terhadap PDB. Metode ini banyak diragukan, terutama pasca krisis utang di Eropa tahun 2011 lalu. Negara seperti Spanyol dan Irlandia misalnya, utang dua negara ini akhirnya harus ditalangi oleh IMF. Padahal rasio utangnya terbilang masih dalam batas aman dibandingkan dengan Yunani (Koran-jakarta.com, 27/5/2017).
Risiko lain yang perlu diwaspadai dari utang luar negeri adalah membahayakan kedaulatan sebuah negara. Sebab utang negara bukan sekadar pinjam-meminjam antar negara. Namun utang LN lebih kepada jebakan utang (debt trap). Utang luar negeri dijadikan sebagai alat penjajahan negara-negara maju terhadap negara berkembang.
Contoh nyata seperti yang terjadi di beberapa negara. Seperti Nigeria, saat pembiayaan infrastruktur melalui utang yang disertai perjanjian, merugikan dalam jangka panjang. Negara yang memberi utang yaitu Cina mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar berasal dari negara mereka untuk pembangunan infrastruktur. Begitu juga Sri Lanka. Saat jatuh tempo utang dan tidak mampu membayar, akhirnya Pemerintah Sri Langka harus rela melepas Pelabuhan Hambatota sebesar US$1,1 triliun.
Dengan demikian utang luar negeri jelas membahayakan eksistensi sebuah negara. Oleh sebab itu untuk mengembalikan kedaulatan, maka negara harus memiliki kemampuan untuk mengelola sumber kekayaan negara untuk kesejahteraan rakyat tanpa berutang. Hal ini hanya akan mampu dilakukan oleh sistem Islam.
Islam Mengelola Sumber Kekayaan Tanpa Utang
Islam sebagai pedoman dalam hidup, telah mengatur setiap aspek kehidupan secara mendetail. Terkait utang maka Islam telah mengaturnya secara jelas. Semua jenis utang yang mengandung unsur bunga alias riba hukumnya diharamkan, termasuk utang luar negeri. Bahkan utang luar negeri lebih membahayakan, pasalnya saat yang berutang negara, maka rakyat ikut menanggung beban. Akibatnya riba menjadi asas perekonomian suatu negeri. Padahal riba dapat mendatangkan azab dari Allah SWT.
Sebagaimana Rasul SAW. bersabda: “Jika zina dan riba telah tersebar luas di satu negeri, sungguh penduduk negeri itu telah menghalalkan azab Allah bagi diri mereka sendiri.” (HR. al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani)
Di sisi lain, perekonomian yang dibangun di atas pondasi riba tidak akan pernah stabil. Akan terus goyah bahkan terjatuh dalam krisis secara berulang. Akibatnya, kesejahteraan dan kemakmuran yang merata untuk rakyat serta kehidupan yang tenteram akan jauh dari kenyataan.
Alhasil, utang luar negeri itu harus segera diakhiri. Perekonomian juga harus segera dijauhkan dari riba. Pengelolaan sumber daya alam yang melimpah juga harus segera diatur sesuai syariat Islam. Kekayaan milik umum dan negara dikelola oleh negara tanpa melibatkan pihak swasta. Sehingga keuntungan yang diperoleh menjadi pemasukan negara untuk kesejahteraan rakyat.
Saat negara mengelola sumber kekayaan sesuai tuntunan syariat, maka negara akan mampu memiliki kemandirian dalam memenuhi kebutuhan rakyat tanpa perlu berutang kepada negara lain. Dengan demikian kedaulatan negara juga senantiasa terjaga dan memiliki wibawa di hadapan negara lain. Hanya dengan kembali pada syariat Islamlah keberkahan akan segera dilimpahkan kepada bangsa ini.
Wallahu a’lam bi ash-shawâb.
Oleh: Siti Aisyah
Penulis dan Member Komunitas Muslimah Rindu Surga
0 Komentar