Topswara.com -- Mandiri dalam hal ekonomi sudah menjadi impian sejak dulu, yang hingga kini belum juga terealisasi. Entah itu hanyalah opini atau sekedar retorika para politisi. Nyatanya ekonomi dalam negeri masih saja ditopang oleh utang dan investasi. Bahkan dari tahun ke tahun nilai utang membengkak, tidak mampu teratasi.
Dari catatan Kementrian Keuangan (Kemenkeu), fluktuasi posisi utang pemerintah dipengaruhi oleh adanya transaksi pembiayaan berupa penerbitan dan pelunasan SBN, penarikan dan pelunasan pinjaman, serta perubahan nilai tukar.
Kemenkeu juga mengklaim rasio utang terhadap PDB dalam batas aman, wajar, serta terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal. Dari total utang Rp 7.733,99 triliun, rinciannya Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 6.846,89 triliun dan pinjaman Rp 887,10 triliun (CNBC Indonesia.com, 18/01/2023).
Sementara itu, Direktur Pusat Riset Politik, Hukum dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI), Saiful Anam menyatakan bahwa terkait utang Indonesia yang semakin besar, maka ini bisa merupakan salah satu kriteria kegagalan pemerintah mengelola negara.
Sebab, jika pemerintah benar-benar hebat, maka tidak akan terjadi utang semakin membengkak seperti saat ini. Di mana, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah per 30 Desember 2022 sebesar Rp 7.733,99 triliun (politik.rmol.id, 20/01/2023).
Di sisi lain, Didik J Rachbini (Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance) menilai bahwa hal ini terjadi karena buruknya sistem politik di Indonesia, sehingga perencanaan keuangan negara menjadi sangat buruk. Dia menyatakan ekonomi dan politik sebetulnya tidak bisa dipisahkan. Ada fakta berdasarkan defisit anggaran terjadi karena perencanaan anggaran kurang matang. Perkembangan utang pemerintah meningkat akhirnya kondisi politik merusak demokrasi (harianSIB.com, 06/01/2023).
Sangat miris, bukan? Padahal Indonesia adalah negeri yang kaya akan sumber daya alam. Namun masih saja terjerat utang untuk menutupi defisit APBN, karena adanya salah kelola negara. Akhirnya bukan hanya jadi beban negara, tetapi rakyat pun juga terkena imbasnya. Salah satunya memalak rakyat melalui pajak.
Selain itu, tanpa disadari dengan adanya utang tersebut menjadikan negeri bunuh diri secara politik. Apalagi dalam sistem kapitalisme sangat memuja materi dan pelaksanaan ribawi. Di mana utang negara dijadikan senjata untuk menikam negara-negara lemah oleh para oligarki. Sehingga negara yang berada di dalam lingkaran utang akan terus terjajah. Alhasil, kedaulatan negara tergadaikan.
Demikianlah realita dalam sistem ekonomi ala kapitalisme. Pemberian utang bukan demi membantu, melainkan karena ada udang di balik batu. Negara penghutang dijadikan layaknya lakon wayang yang didalangi oleh para korporat, dengan memainkan peran sesuai perintahnya, baik dari segi kebijakan, sistem politik, ekonomi hingga budaya. Sementara negara tersebut tidak berkutik dan tidak mempunyai kekuatan untuk melawannya.
Tentu ini sangat berbeda dalam sistem Islam. Islam sendiri sudah menjelaskan aturan ketika negara berutang. Berutangnya negara sejatinya tidak perlu dilakukan, kecuali untuk perkara-perkara urgent dan jika ditangguhkan akan dikhawatirkan terjadi kerusakan dan kebinasaan. Untuk hal-hal yang bisa ditangguhkan, maka semua itu menunggu hingga negara memiliki harta. Upaya lain untuk mengatasi krisis ekonomi, semisal penarikan pajak, hanya pada orang-orang kaya.
Sistem Islam juga akan fokus untuk mensejahterakan rakyatnya, baik yang kaya, apalagi yang miskin. Ada satu orang yang tidak bisa makan dalam sehari saja sudah menjadi alarm keras akan buruknya distribusi harta.
Kondisi ini harus segera menjadi perhatian oleh penguasa dalam sistem Islam. Oleh karenanya, tidak heran, indikator kesejahteraan ekonomi rakyat di negara Islam adalah terpenuhinya kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) setiap individu dalam jumlah cukup.
Islam juga memiliki sejumlah sumber APBN yang masing-masing memiliki nominal yang banyak sehingga APBN aman dan bisa meminimalkan terjadinya utang luar negeri. Salah satu sumber APBN tersebut berasal dari hasil pengelolaan SDA secara mandiri tanpa campur tangan swasta. Sehingga ekploitasi SDA pun mampu dihindari.
Selain itu, kebutuhan-kebutuhan publik, seperti kesehatan, pendidikan, dan perumahan, bisa gratis karena itu wujud pelayanan negara kepada rakyatnya. Oleh karenanya, negara wajib melepaskan diri dari jerat kapitalisme dan mengadopsi sistem ekonomi Islam yang bebas riba. Agar kemandirian ekonomi dan kedaulatan rakyat tidak hanya menjadi angan semata.
Wallahua'alam bish-shawab.
Oleh: Watini
Pemerhati Masalah Umat
0 Komentar