Topswara.com -- Bak dua mata pisau, transformasi digital yang di satu sisi telah menyuguhkan banyak kemudahan aktivitas manusia hanya dengan klik dan klik, namun di sisi lain kemajuan teknologi saat ini berdampak pada kerusakan masyarakat.
Sebagaimana kasus pembunuhan yang dilakukan oleh dua bocah remaja berinisial A 17 tahun dan F 14 tahun di Makassar Sulawesi Selatan. Keduanya tak segan menculik seorang bocah 11 tahun yang pada akhirnya dibunuh untuk diambil organnya.
Kapolrestabes Makassar Kombes Pol Budi Haryanto menyampaikan bahwa kedua remaja tertarik untuk mengambil organ tubuh setelah melihat tayangan di televisi dan internet karena tergiur dengan cuan besar dari tawaran jual beli ginjal di media sosial (Kompas.tv 12/01/2023).
Miris bin ironis, hal diluar nalar yang tampaknya tidak mungkin dilakukan oleh seorang remaja belia pada kenyataannya benar terjadi. Pemuda yang semestinya keberadaan mereka menjadi problem solver atas berbagai problem hidup yang dihadapi kaum Muslim, hari ini orientasi hidup mereka adalah materi bahkan hal diluar nalar dilakukan demi segepok uang.
Program Gerakan Nasional Revolusi Mental yang dicanangkan menimbulkan tanda tanya besar, mengapa makin hari pemuda hari ini semakin kriminal. Kasus ini secara tidak langsung menunjukkan kegagalan mewujudkan profil pemuda yang berkepribadian mulia.
Sejatinya hal tersebut tidak terlepas dari kehidupan sekuler liberal yang diterapkan di negara ini. Sistem pendidikan yang bercorak sekuler saat ini berfokus pada capaian indikator Programme for International Student Assessment (PISA) yang bersifat materil, yang hanya mengukur kecakapan dalam membaca, matematika, dan sains.
Sedangkan mata pelajaran agama hanya diberikan porsi yang sedikit, yakni seminggu sekali dalam durasi dua jam. Bagaimana bisa membentuk akhlak yang mulia jika muridnya hanya mendapatkan pendidikan agama yang minim, dan persoalan yang dibahas hanya seputar ibadah mahdah. Sedangkan agama sebagai solusi kehidupan tidak pernah dibahas, maka tidak heran akan timbul bibit-bibit kriminal.
Terkait kasus perdagangan organ tubuh manusia ini sebenarnya banyak terjadi di dunia, di Indonesia sendiri ini bukanlah hal baru. Pada 2016 silam, kepolisian mengungkap sindikat perdagangan ginjal di Bandung, Jawa Barat (detiknews.com).
Berdasarkan UU 19/2016 pasal 40 (2a) dan (2b) tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta UU 36/2009 tentang Kesehatan Pasal 192 jo Pasal 64 ayat (3) yang membahas pelanggaran terkait penjualan organ tubuh manusia, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melakukan pemblokiran sejak Kamis (12/1/2023) pada sejumlah situs dan grup media sosial yang aktif melakukan kegiatan jual beli organ tubuh.
Namun langkah memblokir situs tersebut tentulah tidak bisa mengatasi persoalan hingga ke akar. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) perdagangan organ ilegal mencuat dikarenakan dua faktor utama yakni kemiskinan dan lemahnya peraturan perundang-undangan (news.detik.com).
Adanya perdagangan organ dalam menunjukkan betapa bobroknya kapitalisme dalam mencukupi kebutuhan masyarakat. Akibat kemiskinan yang sistemis, orang rela melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhan. Selain itu adanya budaya hedonisme membuat orang gelap mata dengan berbagai macam atribut barang bermerek, maka tidak heran tindakan diluar nalar mereka lakukan demi mencapai tujuan hidup yang semu.
Paradigma kapitalisme yang memisahkan antara agama dengan kehidupan saat ini telah menyetir teknologi melalui revolusi global untuk menjajah pemikiran umat Islam, tidak terkecuali dalam ranah ekonomi maupun politik. Tidak hanya soal jual beli organ, teknologi kini memberi ruang maraknya kemaksiatan lain seperti LGiBeTe, seks bebas, prostitusi, konten porno, pinjaman online yang ribawi dan sebagainya.
Pemerintah seperti membiarkan maraknya konten nirfaidah tersebut atas nama kebebasan berekspresi bagi masyarakat. Tidak adanya sistem pengamanan yang kuat dari negara di tengah lajunya transformasi digital mengakibatkan banyak penyalahgunaan yang membawa bahaya serius bagi sesama.
Transformasi digital dalam alam sekuler kapitalisme hanya menjadikan keuntungan materi sebagai tujuan utama tanpa mempertimbangkan secara serius efek negatif yang ditimbulkan.
Dalam sistem Islam teknologi dimanfaatkan sebagai media untuk mengkampanyekan kebaikan yang bisa menambah iman dan ketakwaan manusia. Melalui penerapan sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam dengan visi mencetak generasi memiliki pola pikir dan sikap Islam.
Dengan landasan Islam, generasi akan mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah termasuk juga dalam pemanfaatan transformasi digital yang akan senantiasa sesuai dengan syariat.
Negara akan menjalankan fungsinya sebagai periyah urusan umat, negara akan memastikan setiap kepala keluarga dapat bekerja mencari nafkah dengan membuka lapangan kerja bagi laki-laki atau memberi modal usaha sehingga para ibu bisa konsentrasi memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya tanpa perlu turut bekerja di luar rumah untuk menghidupi keluarga.
Negara juga akan menciptakan suasana di tengah masyarakat yang senantiasa terwarnai dengan syiar Islam. Ketika terjadi pelanggaran, negara akan memberi hukuman sesuai koridor syariat.
Hukuman tersebut bersifat jawabir untuk menebus dosa si pelaku dan zawajir yakni sebagai tameng bagi yang lain agar tidak melakukan kesalahan yang sama. Di samping itu negara juga menjamin kebutuhan sandang, papan, pangan, termasuk kesehatan, pendidikan dan keamanan yang bisa dirasakan seluruh lapisan masyarakat dengan pengelolaan secara mandiri akan kekayaan alam yang dimiliki negeri. Maka hanya Islam yang bisa memberikan solusi terbaik.
Negara akan menjalankan peran dan fungsinya secara benar atas dorongan keimanan dengan menjalankan sistem tatanan yang pengaturannya berasal dari Allah SWT Zat Yang Maha Segalanya tanpa ada kepentingan pihak lain. Dengan diterapkannya Islam di seluruh lini kehidupan dalam bingkai khilafah Islamiyah, maka kejahatan akan sangat terminimalisir.
Dalam istilah para fuqaha terdahulu, khilafah disebut juga dengan sejumlah istilah yang kurang lebih semakna, yaitu Imâmah atau Dârul Islâm atau Imâratul Mukminin. (Wahbah Az-Zuhailî, Al-Fiqh Al-Islâmi wa Adillatuhu, 8/407; Imam Nawawi, Al-Majmû’ Syarah Al-Muhadzdzab, 17/517).
Allah SWT berfirman
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ
”Dan Kami telah turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) untuk menjelaskan segala sesuatu. “(QS An-Nahl : 89).
Maka dari itu, konsekuensi logisnya, wajar sekali Islam memerlukan institusi negara agar umat Islam dapat mengamalkan ajarannya secara menyeluruh (kâffah). (QS Al-Baqarah : 208). Dan wajar pula Nabi Muhammad SAW tak hanya bertugas sebagai nabi, tetapi juga sebagai kepala negara, khususnya setelah beliau berhijrah ke Madinah pada tahun 622 M.
Syekh Abdullah Ad-Dumaijî dalam konteks ini berkata :
إِنَّ الرَّسولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ أَقَامَ أَوَّلَ حُكومَةٍ إِسْلاميَّةٍ فِي المَدينَةِ ، وَصَارَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ أَوَّلَ إِمامٍ لِتِلْكَ الحُكومَةِ
”Sesungguhnya Rasulullah SAW telah mendirikan pemerintahan Islam yang pertama di Madinah, sehingga Rasulullah SAW itulah yang menjadi Imam pertama untuk pemerintahan Islam itu… Rasulullah SAW melakukan tugas-tugas sebagai kepala pemerintahan, seperti mengadakan berbagai perjanjian, memimpin pasukan perang, mengirim duta dan utusan, dan sebagainya.” (Abdullah Ad-Dumaijî, Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ ‘inda Ahlis Sunnah wa-Al-Jamâ’ah, hlm. 52).
Ketika Nabi Muhammad SAW wafat, tugas sebagai nabi berakhir, namun tugas sebagai kepala negara, tidak ikut berakhir, tugas itu diteruskan oleh para khalifah, mulai Khalifah Abu Bakar Shiddiq, dan khalifah-khalifah selanjutnya, hingga khalifah terakhir Sultan Abdul Majîd II saat Khilafah Utsmaniyyah hancur tahun 1924 di Turki.
Sistem pemerintahan Islam yang dijalankan oleh Khalifah Abu Bakar Shiddiq itulah yang melanjutkan sistem pemerintahan yang dicontohkan Rasulullah SAW dalam kitab-kitab fiqih disebut dengan istilah khilafah. Wallahua’lam bissawab.
Oleh: Agustin Pratiwi
Aktivis Muslimah
0 Komentar