Topswara.com -- Aktor sinetron "Ada Apa Dengan Cinta" Revaldo Fifaldi Surya Permana harus kembali berurusan dengan pihak kepolisian terkait penyalahgunaan narkoba untuk ketiga kalinya.
Saat ini, Revaldo sudah diamankan di Polda Metro Jaya usai ditangkap di apartemen Green Pramuka City, Jakarta Pusat, Selasa (10/1/2023), Tidak kapok-kapok, kini ia mengulangi aksinya. Ini menunjukkan bahwa jerat narkoba begitu kuat terhadap penggunanya.
Narkoba sudah menjerat Indonesia, khususnya pemudanya. Berulangnya kasus penyalahgunaan narkoba, apalagi dilakukan oleh publik figur menunjukkan barang haram ini sudah dianggap sebagai kebutuhan.
Hal ini membuktikan adanya kesalahan pemahaman dalam kehidupan. Selain itu juga menunjukkan lemahnya sistem hukum yang tidak mampu memberi efek jera. Juga bukti langkah negara tidak menyentuh akar permasalahan.
Sebelumnya tanggal 27 November 2022, Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya melakukan penangkapan atas kasus narkoba, dengan modus likuid yang berbahan methamphetamine," kata Kombes Mukti Juharsa dalam keterangannya, pada Rabu (30/11/2022).
Sabu cair ini, akan dikonsumsi dengan cara mencampurkannya dengan kopi atau cairan rokok elektronik (Vape). Adapun pengedaran narkoba itu menyasar anak-anak muda yang sering mengisap vape. Namun, upaya penyelundupan itu gagal dan pengiriman sabu-sabu cair tersebut tetap bisa terdeteksi dan langsung digagalkan oleh petugas.
Padahal, narkoba menyebabkan kerusakan fisik dan psikis yang luar biasa bagi penggunanya. Di masyarakat, pengguna narkoba bisa sampai bertindak kejahatan, kekerasan, dan perusakan.
Dengan daya rusak sedemikian besar, bisa kita bayangkan betapa hancurnya generasi muda Muslim jika mereka terkena jerat narkoba. Fisik dan akal mereka rusak, psikis mereka juga bermasalah. Padahal, para pemuda adalah pemegang estafet peradaban Islam dan kekuatan terbesar dalam perjuangan Islam.
Gencarnya barang haram ini menjangkiti pemuda Muslim adalah upaya menghancurkan generasi muda agar potensi mereka hancur lebur dan tidak bisa menjadi garda terdepan perjuangan Islam. Akibat narkoba, generasi muda Muslim menjadi lemah dan rusak. Jangankan memikirkan persoalan umat yang demikian rumit, persoalan diri sendiri saja tidak mampu untuk mereka selesaikan.
Narkoba hukumnya haram karena terkategori zat yang memabukkan dan membuat lemah.
Namun, dalam sistem kehidupan sekuler liberal yang diterapkan di Indonesia saat ini, halal/haram tidak lagi menjadi tolok ukur. Semua hal dianggap serba boleh, asalkan menyenangkan. Generasi muda pun menganut gaya hidup having fun yang menghalalkan segala hal, meski haram dan berbahaya.
Narkoba, misalnya, tidak dianggap sebagai sesuatu yang buruk, haram, dan berbahaya. Narkoba justru dianggap sebagai bagian dari modernitas, gaya hidup kekinian, dan cermin kemapanan finansial. Inilah persepsi yang salah terhadap narkoba.
Selain itu, kehidupan sekuler juga memunculkan masyarakat individualis sehingga meninggalkan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Kontrol sosial tidak berfungsi sebagaimana seharusnya. Bahkan, artis pengguna narkoba tetap saja dipuja dan mendapat panggung, seolah tidak ada sanksi sosial bagi mereka.
Selama ini, penyelesaian terhadap masalah narkoba oleh penguasa tidaklah menyentuh akar persoalan, yaitu sistem hidup sekuler liberal yang serba boleh.
Padahal, sekularisme liberal itulah yang menjadikan narkoba bebas beredar masif di tengah masyarakat. Sanksi yang diberlakukan negara juga tidak efektif membuat pelakunya jera karena adanya persepsi yang salah tentang penggunaan narkoba.
Seharusnya, pengguna narkoba diposisikan sebagai pelaku kejahatan sehingga harus dihukum berat. Ironisnya, di negeri ini, pengguna narkoba diposisikan sebagai “korban” sehingga malah “dihadiahi” rehabilitasi medis. Pengistimewaan ini akhirnya membuat pengguna narkoba tidak kapok, toh sanksinya hanya diharuskan rehabilitasi.
Pihak yang dianggap sebagai pelaku kriminal hanyalah pengedar dan produsennya. Itu pun ternyata ada mafia yang menjadikan jaringan sindikat narkoba di negeri ini “aman” tidak tersentuh hukum, meski tetap ada beberapa penangkapan oleh aparat.
Badan Narkotika Nasional (BNN) memetakan bahwa ada 98 jaringan sindikat narkoba beroperasi di Indonesia, 27 di antaranya berskala internasional. Kuatnya sindikat narkoba ini tidak lepas dari peran oknum aparat sebagai beking-nya—yang dikonfirmasi oleh kompolnas sendiri. (Merdeka, 10-11-2014).
Adanya aparat penegak hukum yang menjadi beking sindikat narkoba menunjukkan bahwa persoalan narkoba demikian sistemis. Walhasil, butuh perubahan mendasar untuk memberantas narkoba secara tuntas.
Sistem Islam menjadikan hukum syarak sebagai tolok ukur perbuatan. Sesuatu yang haram dikonsumsi, seperti narkoba, akan dilarang beredar. Untuk memastikan tidak ada peredaran narkoba di tengah masyarakat, negara memberlakukan patroli oleh polisi.
Aparat juga akan menjaga perbatasan, baik darat, laut, maupun udara agar tidak ada narkoba yang bisa masuk ke wilayah khilafah, baik berupa produk jadi maupun bahan bakunya. Aparat keamanan dipilih dari orang-orang pilihan yang tidak saja mampu, tetapi juga bertakwa. Dengan demikian, mereka tidak tergiur untuk menjadi beking sindikat narkoba.
Dalam sistem Islam akan menerapkan sanksi tegas bagi pengguna, pengedar, dan produsen narkoba. Sanksinya adalah takzir, yaitu jenis dan kadarnya ditentukan oleh kadi, misalnya dipenjara, dicambuk, dan sebagainya.
Hukuman bagi pengguna narkoba yang baru akan berbeda dengan pengguna lama. Takzir bagi pengedar dan produsen narkoba tentu lebih berat daripada pengguna, bahkan bisa sampai pada level hukuman mati. Aparat yang terbukti mem-beking jaringan narkoba jelas akan mendapat sanksi berat. Inilah gambaran solusi efektif yang bisa memberantas narkoba hingga tuntas.
Wallahu alam bishawab.
Oleh: Eva Lingga
Aktivis Muslimah
0 Komentar