Topswara.com -- Wacana pemberlakuan Pemilihan Umum 2024 dengan sistem pemilihan proporsional tertutup atau sistem coblos partai terus menjadi perbincangan. Hal ini mencuat setelah ada permohonan pengujian materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, tentang Pemilihan Umum Ke Mahkamah Konstitusi.
Demi membahas sistem proporsional tertutup, delapan partai mengadakan pertemuan mengenai pelaksanaan Pemilu 2024 yang akan diwacanakan sistem coblos partai. Hal ini digawangi oleh Ketua KPU (Komisi Pemilihan Umum) Hasyim Asy'ari (antaranews.com, 8/1/2023). Delapan parpol yang menghadiri pertemuan tersebut, antara lain, Golkar, PKB, Demokrat, PPP, Nasional Demokrat (NasDem) PAN, dan PKS.
Segala rekomendasi ini mengundang kontroversi. Ada 8 dari 9 fraksi di DPR RI sepakat melayangkan surat pernyataan bersama menolak pasal 168 ayat 2 UU no. 17 Tahun 2017 mengenai Pemilihan Umum. Serta menegaskan agar Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem pemilihan terbuka. Bahkan, demi menolak sistem pemilihan tertutup, DPR menggaet lembaga survey untuk mengkampanyekan bahayanya sistem pemilu proporsional tertutup.
Dalam sistem pemilihan tertutup, pemilih hanya dapat melihat logo partai tanpa mengetahui nama-nama calon legislatif yang akan menjadi wakilnya. Hal ini berkebalikan dengan sistem pemilu terbuka.
Pemilih dapat dengan jelas mengetahui siapa saja yang akan menjadi wakil-wakil rakyat. Berbagai kalangan partai, politikus, dan sejumlah anggota DPR mengkritik pernyataan Ketua KPU, yang mengungkapkan kemungkinan penyelengaraan Pemilu proporaional tertutup. Karena hal ini merupakan suatu kemunduran sistem demokrasi (kompas.com, 5/1/2023).
Pengamat politik UGM, Mada Sukmajati mengungkapkan komentar terkait sistem pemilu proporsional tertutup memiliki lebih banyak kelebihan. Meskipun demikian, sistem ini lebih cocok untuk diterapkan pada sistem pemilihan legislatif secara serentak (ugm.ac.id, 6/1/2023).
Dari segala fakta ini jelas, bahwa adanya kekompakan DPR saat memperjuangkan kepentingan partai. Jika sistem proporsional tertutup diberlakukan kembali, seperti Pemilu beberapa waktu lalu, jelaslah sistem ini akan menghalangi pihak-pihak berduit untuk menjadi calon legislatif. Dan memenangkan kompetisi.
Sementara sistem pemilu terbuka membuka peluang kompetisi tanpa batas. Namun sayang, DPR tidak memperlihatkan ketegasannya dalam pembahasan regulasi yang terkait dengan kepengurusan kebutuhan publik. Misalnya Rancangan Undang-Undang TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) yang membutuhkan waktu cukup lama hingga akhirnya disetujui menjadi Undang-Undang.
Contoh lain, Perppu Cipta Kerja, aturan yang ditetapkan karena melangkahi keputusan DPR karena ditetapkan saat masa resesi. Dan Perppu ini pun melabrak ketetapan Mahkamah Konstitusi, yang menetapkan bahwa Perppu Ciptaker inkonstitusional bersyarat. Faktanya, DPR "membisu" atas segala keputusan ini. Tak ada bentuk ketidaksetujuan DPR tentang penetapan tersebut.
Inilah wajah sistem demokrasi kapitalistik yang sekuler. Ironis. Saat rakyat membutuhkan wakil rakyat untuk menyampaikan aspirasi, namun wakil rakyat bak musuh dalam selimut. Menikam rakyat dari belakang. Jelas, tindakan ini adalah kecurangan yang luar biasa.
Hingga akhirnya mengakibatkan kezaliman yang merata dalam tubuh masyarakat. Dalam tubuh demokrasi, setiap wakil rakyat adalah pembela partai-partai mereka. Bukan pelayan kebutuhan umat. Karena lewat "tangan" partai-lah para wakil rakyat dapat berhasil mendaki panggung kekuasaan.
Pemimpin yang terpilih dalam sistem demokrasi, rela menggadai kepentingan umat demi dukungan partai dan pemilik modal. Inilah kecacatan demokrasi, yang berujung pada kerusakan kehidupan bermasyarakat. Umat menjadi krisis kepercayaan terhadap para pemimpin. Bahkan tak tahu lagi, harus kemana lagi melayangkan gugatan dan segala kekecewaan akibat berbagai fakta pilu yang terjadi saat ini.
Di sisi lain, kekuasaan dalam demokrasi memerlukan biaya luar biasa. Tak mungkin dirogoh dari kantung pribadi. Sehingga secara tak langsung, para pemimpin butuh dana besar dari parpol. Para pemimpin internal yang berhasil duduk di kursi DPR pun tak luput dari kekuatan parpol.
Sehingga mau tidak mau, hutang harus tetap dibayar. Dengan kekuasaan yang diraihnya di kursi wakil rakyat. Cerminan balas budi yang merugikan kepentingan rakyat. Zalim. Sistem demokrasi tidak dapat diharapkan untuk mengatur kepengurusan umat dengan adil.
Sungguh, umat membutuhkan wakil rakyat yang dapat menjadi penyampai aspirasi rakyat kepada para penguasa. Dan kepengurusan ini hanya dapat diwujudkan dalam sistem Islam. Yaitu sistem yang berpondasikan syariat Islam. Bukan berasas pada kepentingan para korporat atau golongan tertentu.
Berdasarkan sabda Rasulullah SAW., yang artinya,
" Setiap imam (Khalifah) adalah ra'in (pengurus rakyat) dan bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya" (HR. Bukhori).
Dalam kitab Ajhizah ad Daulah Khilafah, Syekh Taqiyuddin an Nabhani menjelaskan bahwa Daulah Khilafah memiliki Majelis Umat. Kedudukannya bukan sebagai pembuat kebijakan. Namun, sebagai wakil rakyat yang diamanahi untuk menyalurkan aspirasi rakyat dengan amanah. Anggota Majelis Umat diposisikan sebagai pemimpin komunitasnya serta perwakilan dari kaumnya.
Pemilihan anggota Majelis Umat diawali dengan pemilihan anggota majelis wilayah. Setelahnya baru dilaksanakan pemilihan Majelis Umat, sesuai kriteria yang dikehendaki rakyat, yang diwakili oleh suara majelis wilayah. Dan semuanya dilangsungkan secara langsung, terbuka dan transparan.
Khalifah memiliki wewenang penuh dalam menetapkan masa jabatan anggota Majelis Umat dan majelis wilayah, dalam Undang Undang Pemilu. Tentu saja, semua berdasarkan aturan syariat Islam. Tanpa ada yang merasa terzalimi atasnya.
Begitu sempurna pengaturan pengurusan umat dalam bingkai syariat Islam. Segala urusan dilayani dengan detil dan sempurna. Adil dan bijaksana. Mensejahterakan seluruh lapisan umat dengan sebaik-baik pengaturan demi mengharap ridha Allah SWT. semata.
Wallahu a'lam bisshawwab.
Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
0 Komentar