Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sertifikasi Halal: Kewajiban vs. Kebutuhan


Topswara.com -- Sejatinya memakai  produk halal lagi baik (toyib) merupakan sebuah kebutuhan yang seharusnya terpenuhi, terlebih bagi seorang Muslim adalah kewajiban. Apa salahnya jika memakai produk halal? Bukankah tubuh kita lebih sehat dan bersih, dari pada memakai suatu produk yang haram. 

Maka jelas ‘halal’ bukan sekedar label semata, melainkan kebutuhan bahkan kewajiban yang harus dipenuhi oleh seluruh umat manusia. untuk mewujudkan terjaminnya produk halal, maka perlu peran penting dari negara. 

Seperti yang diberitakan oleh cnnindonesia.com bahwa Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) M. Aqil Irham menyatakan semua pelaku usaha makanan dan minuman, hasil sembelihan serta jasa penyembelihan wajib bersertifikat halal paling lambat 17 Oktober 2024.

Sehingga dibukalah program sertifikasi halal gratis, sebanyak 1juta kuota. program sertifikasi halal dibuka sepanjang tahun dimulai 2 Januari 2023. Sementara itu, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal Siti Aminah menyampaikan untuk mendaftar program sertfikasi halal gratis 2023, pelaku usaha dapat mengakses ptsp.halal.go.id. 

Sayangnya produk masa penahapan pertama kewajiban sertifikat halal akan berakhir 17 Oktober 2024. Setelah itu, semua produk harus sudah bersertifikasi halal. Kalau belum bersertifikat dan beredar di masyarakat, akan ada sanksinya.
 
Sertifikasi halal seharusnya merupakan layanan negara untuk melindungi rakyatnya atas kewajiban yang ditetapkan oleh syariat. Namun dalam sistem saat ini, sertifikasi halal bahkan telah menjadi komoditas yang dikapitalisasi dengan biaya yang telah ditentukan. 

Meskipun negara telah menginisiasi progrom sertifikasi halal gratis, namun hanya tersedia 1 juta kuota. Bagaimana jika ada yang tidak mendapat bagian? Tentu harus merogoh saku sedalam dalamnya, belum lagi modal yang dapat digunakan tentu terbatas. Sehingga tidak ada jaminan halal dari negara dan masyakat menjadi ragu untuk membeli produk tersebut. 

Ironis bahwa kaum muslim mayoritas suatu negeri menjadi minoritas yang jaminan produknya tidak sepenuhnya halal. Seharusnya memang negara mayoritas muslim tidak perlu adanya label ‘halal’ melainkan label ‘haram’ sehingga jelas mana yang harus dihindari, karena mayoritas yang hidup di negara tersebut adalah umat Islam.

Inilah wajah negara dengan sistem kapitalisme, yang menjadikan rakyat sasaran pemalakan melalui berbagai cara. Ini tentu berbeda dengan negara yang menerapkan sistem Islam. Dalam sistem Islam tentu negara akan menghapus produk haram secara menyeluruh, sehingga masyarakat merasa nyaman dan aman. 

Sebab apabila masyarakat memakai produk haram maka shalat dan ibadah lainya tidak akan diterima selama 40 hari, “Seseorang yang meminum khamar dari golonganku, tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari” (HR. An-Nasa'i). 

Selain itu untuk masyakat kafir yang berlindung dalam negara Islam masih boleh memakai produk haram, namun hanya sebatas produksi dan konsumsi dirumah sendiri tidak boleh disebarkan atau didistribusikan kepada masyarakat muslim. Sungguh harmoni dan aman hidup dalam naungan negara Islam yang menerapkan sistem Islam secara keseluruhan.


Oleh: Triani Agustina
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar