Topswara.com -- Pembentangan bendera parpol di sebuah masjid menuai polemik. Parpol yang bersangkutan menyatakan bahwa tindakan itu hanya spontanitas dan tidak terkait kampanye. Meski demikian, Badan Pengawas Pemilu tetap menyelidiki peristiwa tersebut (kompas.id, 6/1/2023)
Respons juga datang dari Wapres Ma’ruf Amin yang meminta agar parpol menaati UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Yakni larangan penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat Pendidikan untuk kampanye. Amin menyatakan tindakan pembentangan bendera parpol di tempat ibadah berpotensi menimbulkan konflik antarjamaah (sindonews.com, 8/1/2023).
Mencermati peristiwa yang terjadi memunculkan sebuah pertanyaan bagaimana sebenarnya fungsi masjid di dalam Islam, benarkah harus steril dari aktivitas politik?
Kedudukan Agama dalam Sistem Sekuler
Sekularisme adalah sebuah ideologi yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama hanya menjadi ranah privat, sementara urusan publik diatur dengan aturan-aturan di luar agama. Jika pun ada aturan agama yang dijadikan sebagai hukum positif semua berdasarkan kesepakatan bukan perkara halal dan haram.
Dalam sekularisme fungsi agama dikebiri hanya menyangkut urusan ibadah ritual. Maka tak heran jika rumah-rumah ibadah difungsikan hanya sebagai tempat beribadah secara ritual seperti shalat, ceramah agama (nonpolitis), do’a dan semacamnya.
Kekhawatiran terjadinya perpecahan umat dan konflik antarjamaah terjadi karena partai Islam bukan lagi partai ideologis Islam namun hanya bertujuan mengejar kekuasaan, kepentingan pribadi dan golongan, bukan demi kemaslahatan umat. Aktivitasnya hanya ramai menjelang pemilu, menarik simpati untuk mendulang suara.
Sebenarnya sesuatu yang wajar jika parpol termasuk parpol Islam mendamba kekuasaan. Tanpa kekuasaan semua konsep kenegaraan hanyalah wacana yang tak banyak memberikan faedah. Hanya bedanya ketika kekuasaan telah diraih mestilah menerapkan hukum Islam, jika tidak maka apa bedanya dengan partai sekular.
Politik di dalam Islam adalah pengaturan urusan umat (baca rakyat) baik di dalam maupun luar negeri. Di sinilah peran parpol Islam untuk memastikan pemerintah telah menjalankan tugasnya dengan benar sesuai syariat. Aktivitasnya berjalan sepanjang waktu tanpa mengenal siklus kampanye karena urusan umat ada di sepanjang kehidupan.
Tugas parpol Islam adalah mengedukasi umat bahwa segala urusan harus diatur oleh syariat. Pada hakikatnya ini adalah perkara dakwah, dan dimana lagi dakwah dilakukan jika bukan di masjid.
Fungsi Masjid di Masa Rasulullah SAW
Masjid Nabawi sebagaimana ditulis dalam Ensiklopedi Umum (1973), difungsikan oleh Nabi sebagai pusat kegiatan Islam. Mulai dari sentra kegiatan keagamaan hingga urusan politik pemerintahan.
Masjidun Nabawiyyah melambangkan “markas besar” pemerintahan Islam pertama di bawah pimpinan ‘kepala negara’ Muhammad SAW.
Cendekiawan Muslim Quraish Shihab merinci 10 peran dan fungsi masjid di zaman Nabi, yaitu tempat ibadah, tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi, sosial dan budaya) dan tempat Pendidikan. Lalu sebagai tempat santunan sosial, dan tempat latihan militer serta persiapan alat-alatnya.
Selanjutnya sebagai tempat pengobatan korban perang, tempat perdamaian dan pengadilan sengketa, serta sebagai aula dan tempat menerima tamu. Ditambah lagi sebagai tempat menawan tahanan perang, serta pusat penerangan dan pembelaan agama (ihram.co.id, 3/9/2020).
Dari berbagai fungsi ini masjid akan menjadi dekat sekali dengan keseharian masyarakat bukan di waktu-waktu shalat semata. Diskusi-diskusi politik dapat dilakukan di masjid karena Islam sangat menjaga agar kehidupan masyarakat dapat berjalan dengan baik, semua itu tentu tak bisa dilepaskan dari aktivitas politik.
Khatimah
Islam adalah agama dan juga ideologi, semua urusan diatur di dalam Islam baik ranah privat maupun publik. Tidak ada dikotomi antara urusan dunia dan akhirat, karena pada hakikatnya semua urusan dunia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Masjid adalah “rumah besar” bagi umat Islam tak selayaknya dipersempit fungsinya hanya sebagai tempat ibadah. Para tokoh umat termasuk penguasa Muslim berkewajiban mengedukasi umat agar memahami dan menjalankan Islam secara sempurna bukan justru mereduksinya.
Ketika masjid dijauhkan dari aktivitas politik pada hakikatnya menjauhkan umat dari politik Islam, seakan berpolitik tidak boleh membawa-bawa simbol agama seperti saat ini yang dikenal dengan sebutan politik identitas.
Padahal sejatinya sebagai seorang Muslim kita harus bangga dengan identitas kita dan menampilkannya dalam setiap kesempatan. Mengembalikan kembali fungsi masjid adalah keniscayaan sebagaimana kembalinya Islam yang mewujud secara sempurna di masyarakat.
Wallahu’alam
Oleh: Ersa Rachmawati
(Pegiat Literasi)
0 Komentar