Topswara.com -- Rasa empati sepertinya menjadi barang yang langka didapati pada para pejabat dan petinggi negeri ini. Sebab di tengah kemalangan yang menimpa sebagian besar masyarakat, seorang pejabat tertinggi negeri ini, justru menggelar pesta pernikahan anaknya dengan hajatan dan resepsi begitu mewah. Tidak hanya mewah akan tetapi juga menggunakan fasilitas negara untuk alasan keamanan. Dikutip dari media.okezone(10-12/2022)
Terdapat ribuan personil TNI Polri diterjunkan untuk mengamankan pernikahan. Anjing pelacak detasemen ke 9 juga diterjunkan untuk melaksanakkan sterilisasi dan deteksi bahan peledak selama acara tasyakuran. Ratusan CCTV juga digunakan untuk membantu pengamanan resepsi bahkan beberapa petinggi lainnya memantau acara resepsi ngunduh mantu.
Selain itu sejumlah menteri kabinet Indonesia maju juga membantu acara tersebut. Hal itu di keritik oleh ketua DPP PKS Mardani Ali Sera. Menurutnya tugas utama seorang menteri adalah membantu pemerintah dalam mengurus negara bukan mengurus hajat pribadi.
Hal senada diungkapkan oleh seorang warganet yang mengaku seorang wartawan. Dikutip dari suara.com (jumat 9 -12/2022) alasan kenapa dia tidak meliput acara pernikahan tersebut, karena menurutnya keluarga pejabat ini dinilai tidak memiliki rasa empati pada masalah rakyat yang sedang menghadapi berbagai persoalan, mulai dari banyaknya PHK, stunting, dan korban gempa.
Sepatutnya hal ini tidak terjadi. Penguasa harusnya memiliki kepekaan dan empati yang tinggi pada persoalan rakyatnya.
Namun dalam kepemimpinan sistem demokrasi sifat tersebut akan terkikis habis. Sekularisme yang menjadi asas pemerintahan ini berprinsip memisahkan agama dari kehidupan termasuk dalam aktivitas dan tanggung jawab
dalam kepemimpinan.
Padahal agama berfungsi untuk membentuk, menumbuhkan, dan menjaga sifat-sifat kebaikan sosok pemimpin terhadap rakyatnya. Jika agama dijauhkan dari kepemimpinan negara, maka tidak heran lahir pemimpin yang tidak sungkan atau tidak merasa bersalah telah menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
Demokrasi dipastikan telah membentuk kepemimpinan yang bersifat transaksional antara penguasa dan para kapitalis yang telah membiayai perjalanan dalam menggapai kursi kekuasaan. Konsekuensinya, kalaupun dalam sistem ini terdapat berbagai aturan tentang urusan rakyat, namun selalu akan ditemukan porsi keuntungan bagi para kapitalis yang jauh melebihi porsi kesejahteraan dan belas kasih (rifkun) bagi rakyat. Maka tidak heran kepedulian pemimpin yang terlihat dalam demokrasi hanya pencitraan semata.
Realita ini berbeda dengan sistem kepemimpinan Islam, yaitu khilafah. Dalam khilafah, akidah Islam sebagai asas kepemimpinan akan mewujudkan sosok pemimpin yang takut melalaikan tanggung jawab mereka pada rakyat, karena para penguasa menyadari bahwa kepemimpinan mereka di dunia akan berimplikasi pada kehidupan akhirat.
Rasulullah SAW bersabda ’’Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat’’ (H.R. Abu Daud, Ibnu Majah, Al-Hakim).
Dalam sistem khilafah, syariah Islam menjadi panduan dalam menjalankan aktivitas dan tanggung jawab kepemimpinan. Syariah Islam menetapkan bahwa penguasa harus menjadi rain yakni pengurus dan pemelihara rakyatnya, dan juga menjadi junnah atau pelindung bagi rakyatnya.
Kesadaran terhadap akidah dan syariah Islam ini, akan menghasilkan sifat wara dalam menggunakan fasilitas negara. Penguasa hanya akan menggunakannya untuk kepentingan mengurus rakyatnya dan tidak akan menggunakannya untuk kepentingan pribadinya meskipun sedikit.
Salah satu teladan penguasa adalah khalifah Umar Bin ‘Abdul ‘Azis. Diriwayatkan bahwa ketika beliau tengah menyelesaikan tugas di ruang kerjanya hingga larut malam, datanglah putranya meminta izin untuk menyampaikan suatu hal kepadanya. Khalifah Umar Bin ‘Abdul ‘Azis mempersilakan putranya masuk dan mendekat, lalu bertanya, ‘’Ada apa putraku datang ke sini? Untuk urusan keluarga kita atau negara?’’. Sang putra menjawab bahwa dia datang untuk urusan keluarganya.
Mendengar jawaban putranya kemudian khalifah langsung meniup lampu di atas meja sehingga ruangan menjadi gelap gulita. Tindakan beliau ini, membuat putranya heran,dan menanyakan mengapa ayahnya melakukan itu. Maka sang khalifah menjawab, “Anakku, lampu itu ayah pakai untuk bekerja sebagai pejabat negara. Minyak itu dibeli dari uang negara, sedangkan engkau datang kesini untuk urusan keluarga kita’’.
Kemudian khalifah memanggil pembantunya untuk mengambilkan lampu pribadinya, beliaupun berkata bahwa minyaknya dibeli dari uang pribadinya.
Meski dalam kisah khalifah Umar Bin ‘Abdul ‘Azis fasilitas negara yang dimaksud hanyalah lampu penerang.
Namun beliau tidak mau menggunakan untuk kepentingan pribadi meski hanya sebentar. Dengan sifat dan prilaku penguasa yang demikian baik dan adil, maka tidak heran selama 1300 tahun kepemimpinan dalam sistem khilafah, rakyat mendapat perhatian dan pelayanan yang luar biasa dari penguasanya.
Kondisi seperti ini tidak akan didapatkan dalam sistem demokrasi sekuler.
Maka jelas kepemimpinan seorang khalifah akan terwujud dengan sistem Islam Dan menjalankan seluruh syariah Islam.
Hal ini perlu kita perjuangkan agar segera terwujud kembali sosok penguasa yang mengurus rakyatnya penuh rasa tanggung jawab.
Wallahu alam bi ash shawab
Oleh: Inayah
Pegiat Dakwah
0 Komentar