Topswara.com -- Dilansir dari tirto.id - Unjuk rasa sejumlah kepala desa di depan gedung DPR RI pada 17 Januari 2023 menuai polemik. Meski mereka diterima anggota dewan dan dijanjikan tuntutannya akan diakomodir dalam revisi UU Desa, tapi tak sedikit yang justru mengkritiknya. Sebab, tuntutan penambahan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun berpotensi melanggengkan oligarki.
Sebagai gambaran, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun dan dapat dipilih kembali hingga 3 kali periode (secara berurutan atau terputus-putus). Artinya, jika seorang kepala desa terpilih tiga periode secara berturut-turut, maka ia menjabat sebagai orang nomor satu di sebuah desa selama 18 tahun.
Pro kontra terus mewarnai wajah politik di negeri ini, wacana penambahan masa jabatan kepala desa (kades) menjadi 9 tahun dikali 3 periode ditolak banyak pihak. Bahkan, ada yang menganggap rencana kebijakan itu membuat tata negara Indonesia menjadi berantakan dan merusak demokrasi itu sendiri.
Tuntutan para kades itu seperti mempertegas rumor politik selama ini, yaitu jabatan kades adalah lahan basah untuk meraup cuan. Tidak heran jika mereka begitu betah berlama-lama menjabat.
Rumor politik ini pun ternyata terbukti. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam laporan hasil pemantauan tren penindakan korupsi semester I/2022, menunjukkan 134 dari 252 kasus yang terungkap adalah kasus penyalahgunaan anggaran, 62 dari 192 kasus menyasar pada desa.
Pada tahun 2021, angka korupsi desa meningkat secara konsisten dengan total tersangka 245 orang dari tahun sebelumnya (172 orang). Kondisi ini mengingatkan kita betapa banyaknya kades yang tersandung kasus rasuah.
Jika masa jabatan diperpanjang, potensi korupsi pun akan makin besar, di samping itu juga menurut Analis Politik dan Direktur Eksekutif Indonesia Political Power Ikhwan Arif menilai wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa sangat kental dengan muatan politis terutama dalam menyambut pemilu 2024. Ia melihat ada hasrat penguasa di daerah untuk melanggengkan kekuasaannya. Republika.Co.Id.Jakarta.
Beberapa pihak menyetujui perpanjangan masa jabatan kepala desa dengan merujuk untuk lebih fokus mensejahterakan rakyat dan membenahi desa yang tertinggal dari pengalokasian dana desa. Namun ada juga yang berpendapat dengan memperpanjang masa jabatan akan semakin melanggengkan para oligarki.
Apapun itu, kalau masih peri'ayahan penerapan sistem kapitalistime yang bercokol saat ini tentu tidak akan didapati pemimpin-pemimpin yang benar-benar tulus dalam mensejahterakan rakyatnya.
Terlebih dana yang fantastis yang harus di keluarkan dalam setiap pencalonan pemimpin, baik itu presiden, menteri, gubernur, DPR , bupati dan bahkan setingkat kepala desa sekalipun.
Ditambah lagi dana kampanye yang harus di keluarkan untuk meraih suara terbanyak. Tidak heran lahirlah pemimpin yang bermental materi, semua diukur dari besarnya manfaat yang didapat sehingga berdampak korupsi yang semakin merajalela.
Sudah saatnya negeri ini kembali kepada tatanan kehidupan yang berasal dari Allah SWT yang dalam setiap aspeknya melahirkan aturan. Karena sistem demokrasi saat ini sudah benar-benar tidak layak di pertahankan, karena sudah menampakkan kegagalannya.
Diantaranya pertama, sistem demokrasi hanya akan menghasilkan para pejabat yang miskin visi. Mereka sekadar menetapkan kebijakan sesuai kepentingan diri dan partainya. Politik transaksional yang menjadi pemompa berjalannya partai, hanya akan menghadirkan para “bohir” (pemilik modal) yang harus diladeni kepentingannya.
Seluruh program kerja berjalan berdasarkan kepentingan pejabat, partai, dan penyuntik dana. Wajar jika pembangunannya tidak akan menyelesaikan permasalahan umat.
Kedua, sistem demokrasi lahir dari rahim sekularisme sehingga para politisi tidak boleh membawa-bawa agama dalam berpolitik. Gratifikasi, suap, dan jenis korupsi lainnya juga tumbuh subur dan terpelihara. Dunia menjadi satu-satunya yang mereka kejar. Inilah yang menghilangkan empati dan nurani, tega menuntut kenaikan gaji dan fasilitas fantastis saat ada rakyatnya yang mati kelaparan.
Ketiga, struktur negara demokrasi sangat “gemuk dan berlemak” sehingga birokrasi menjadi makin rumit. Misalnya, jabatan wakil pada setiap tingkatan seperti dipaksakan, mulai dari wapres, wagub, hingga wabup. Padahal, tugas mereka dianggap tidak urgen. Bukankah ini bisa menyebabkan pemborosan? Bukan mustahil pula jabatan wakil kades dipaksakan ada.
Keempat, spirit desentralisasi pada sistem demokrasi menciptakan “raja-raja daerah” dan tidak meratanya pembangunan. Daerah yang kaya SDA tentu lebih berpeluang maju daripada desa yang miskin SDA. Jadilah ketimpangan dan kemiskinan makin tinggi.
Dengan adanya wacana penambahan masa jabatan menambah daftar panjang kerakusan pemimpin di sistem kapitalis. Berbeda halnya dengan sistem penerapan Islam yang berlandaskan hukum syarak, karena keputusan tertinggi di sistem Islam dengan merujuk Al-Qur'an dan hadis, bukan undang-undang buatan manusia yang haus konspirasi.
Di sini kita bisa melihat sejarah mencatat bagaimana kepemimpinan dalam Islam dalam mensejahterakan rakyatnya. Dan dalam pengangkatan pemimpin dalam Islam tidak mengeluarkan biaya apapun, sehingga memungkinkan menutup celah pintu masuk praktik korupsi. Karena tanggung jawab seorang pemimpin sangat luar biasa, oleh karenanya apabila pemimpin menyusahkan rakyatnya dia akan di hisab dari kepemimpinannya.
Wallahu a'lam bisshawwab
Oleh: Wakini
Aktivis Muslimah
0 Komentar