Topswara.com -- Tahun 2023 telah hadir. Hanya saja perayaan dan peringatan Hari Ibu 2022 masih kental terasa di negeri ini, apalagi program pemberdayaan ekonomi dari pemerintah yang tentu akan segera dilaksanakan di tahun ini.
Peringatan Hari Ibu Desember tahun lalu menampilkan sejumlah masalah ibu yang mempertegas bahwa ibu-ibu Indonesia belum sejahtera. "Perempuan Berdaya Indonesia Maju". Demikian tema besar dalam peringatan Hari Ibu 2022. Dalam sub temanya kita bisa pahami bahwa yang dimaksud berdaya adalah berdaya secara ekonomi.
Nampaknya pandangan pemerintah terhadap kesulitan ekonomi negeri ini, tak jauh dari anggapan bahwa perempuan adalah salah satu penyumbang kemiskinan. Karenanya butuh dimandirikan dengan pemberdayaan ekonomi perempuan.
Selaras dengan ide gender, pemberdayaan ekonomi perempuan adalah cara agar perempuan setara dengan laki laki. Jika perlu, perempuan ditempatkan sebagai tulang punggung keluarga dan bebas bersaing dengan pria di luar sana.
Memberdayakan ekonomi perempuan bukan solusi, justru ide itu adalah biang masalah baru yang akan mengundang pilu. Dunia kerja di alam kapitalisme demikian berat, kompetitif, dan sangat maskulin. Maka menempatkan perempuan sebagai tulang punggung keluarga sama halnya akan menghilangkan fitrah keibuannya.
Berawal dari hilangnya fitrah tersebut, kini kita saksikan serentetan masalah, dari rumah yang tak lagi sakinah, ibu depresi, hingga generasi kacau, dan masih banyak lagi.
Allah anugerahkan karakter maskulin berupa kepemimpinan, ketegasan, keberanian pada sosok laki laki. Sedang pada perempuan Allah anugerahkan karakter feminim dalam wujud kasih sayang, lemah lembut, empati, dan intuisi.
Ketika dua jenis karakter ini berpadu dalam pengasuhan maka akan kita dapati generasi yang yang berani, berjiwa pemimpin, namun memiliki kasih sayang dan lemah lembut.
Sayangnya karakter khas ini kini terkikis, berawal dari diaruskannya pemberdayaan ekonomi perempuan. Pemberdayaan yang sarat pemikiran kapitalisme ini sejengkal demi sejengkal menyeret perempuan meninggalkan rumahnya memasuki dunia kerja yang sangat maskulin, bertarung di sana hingga hilang fitrah feminitasnya.
Maka tak perlu heran jika hari ini kita saksikan banyak kaum ibu berbicara kasar, sumbu pendek, dan hilang ketelatenan merawat anak. Ibu menjadi mudah depresi karena ia memainkan peran yang tak lagi sesuai fitrahnya.
Akhirnya anaklah yang jadi korban. Di usia dini mereka harus dititipkan dalam pengasuhan orang lain, dengan alasan ibu harus bekerja. Demi ekonomi keluarga, tak jarang anak harus dibesarkan di ruang penitipan anak yang jauh dari rasa cinta. Seprofesional apa pun mereka tak kan bisa menggantikan cinta ibunda.
Ibu seharusnya menjadi bunga penebar wangi di rumahnya, hingga rumah demikian dirindukan seluruh keluarga. Namun kini makin sulit didapati. Lagi-lagi dengan alasan memenuhi kebutuhan ekonomi. Maka tak usah disalahkan jika suami, anak-anak mencari wangi di luar sana.
Perselingkuhan, penggunaan narkoba, tawuran, dan kekerasan pada dunia remaja adalah sekelumit dampaknya. Buah dari mereka tak dapatkan kasih sayang dan kelembutan seorang ibu.
Tak cukup rusaknya fitrah perempuan, karena perempuan kian berdaya laki-laki pun terkena imbasnya. Karena merasa tak perlu lagi bertanggung jawab pada perempuan, banyak laki-laki yang yang tak lagi menjalankan perannya sebagai pemimpin dan pengayom keluarga.
Hari ini kita saksikan betapa banyak laki-laki yang tidak cakap dalam masalah penafkahan, susah mengambil keputusan, tak tangguh dan tak terlibat dalam pengasuhan. Sikap laki-laki yang demikian bila berlanjut akan menjadi sebuah lingkaran setan yang terus melahirkan kerusakan.
Laki-laki tak bertanggung jawab, istri yang mengambil alih tanggung jawab atas nama pemberdayaan. Istri sibuk bekerja, anak-anak terbengkalai lalu muncul kerusakan generasi, begitu seterusnya.
Demikian besar dampak dari pemberdayaan ekonomi perempuan ala kapitalisme. Maka sudah selayaknya hal ini kita tinggalkan dan beralih pada pemberdayaan benar yang Islam ajarkan.
Pemberdayaan perempuan versi Islam adalah permberdayaan peran utuh seorang perempuan. Islam memandang peran utama perempuan adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Maka dikatakan berdaya adalah saat perempuan mampu menjalankan tugas dan kewajibannya ini.
Sekuat apa pun perempuan ia tetap butuh dukungan penuh untuk menjalankan perannya. Keluarga, masyarakat, dan negara wajib menyukseskan peran tiap perempuan.
Karenanya Islam telah menyiapkan mekanisme agar hal tersebut terlaksana, yaitu, pertama, Islam akan menempatkan laki-laki sebagai satu-satunya penanggung nafkah keluarga. Seorang suami wajib menafkahi istri dan anak-anaknya. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah SWT telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. [An-Nisâ/4: 34].
Negara harus membuat mekanisme agar para laki-laki berdaya untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Memunculkan jaminan terbukanya lapangan pekerjaan juga merupakan tanggung jawab negara.
Jika suami tak mampu, maka kerabat terdekat harusnya membantu. Konsep perwalian dalam Islam tidak hanya mengatur masalah kekerabatan tapi juga mengatur masalah penafkahan di dalamnya. Dengan mekanisme ini maka perempuan tak perlu disibukkan dalam hal mencari nafkah. Ia bisa fokus sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.
Islam memandang kemuliaan seorang perempuan adalah saat dia menerima nafkah, dan kehormatan bagi laki-laki adalah ketika dia memberi nafkah.
Kedua, Islam tidak melarang perempuan bekerja dan berkontribusi dalam pembangunan negara. Bekerja bagi perempuan dalam Islam mubah hukumnya bukan wajib.
Itu artinya perempuan bukanlah tulang punggung keluarga. Perempuan bisa bekerja manakala tugas utamanya sudah terselesaikan dengan baik. Maka memiliki profesi seperti guru, dokter, ahli teknik, atau apa pun itu dibolehkan dalam Islam. Selama yang dia kerjakan murni karena kecerdasan dan keterampilan tangannya, bukan karena ekploitasi tubuh dan kecantikannya.
Diriwayatkan dari Râfi‘ ibn Rifâ‘ah, ia menuturkan: “Nabi SAW telah melarang kami dari pekerjaan seorang pelayan wanita kecuali yang dikerjakan dengan kedua tangannya. Beliau bersabda, “Begini (dia kerjakan) dengan jari-jemarinya seperti membuat roti, memintal, atau menenun.” (HR. Ahmad)
Bagi perempuan-perempuan istimewa yang memiliki kemampuan yang dibutuhkan negara maka kontribusinya terhadap pembangunan tetap tak boleh menghilangkan perannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Maka jelaslah bahwa masuknya perempuan dalam ruang publik dengan bekerja semangatnya bukan mencari nafkah tapi lebih kepada pengabdian pada negeri.
Namun sekalipun semangatnya pengabdian bukan berarti ia diupah seenaknya. Terkait pengupahan tetap mengikuti aturan pengupahan yang juga telah diatur dalam Islam.
Ketiga, Islam mewajibkan negara menyediakan tempat kerja ramah ibu dan anak bagi perusahaan yang memperkerjakan perempuan. Agar sang ibu tetap bisa menjalankan tugas pengasuhannya.
Keempat, negara wajib menyelenggarakan program edukasi pada setiap perempuan agar paham tugas dan perannya di dalam rumah dan di ruang publik. Agar tidak terjadi gesekan atau benturan dari kedua peran tersebut.
Demikianlah Islam mengatur masalah pemberdayaan perempuan. Pemberdayaan yang akan melahirkan ketenteraman dan kebaikan bagi semua pihak.
Oleh: Titin Erliyanti
(Pengasuh Kajian Baiti Jannati, Bantul, DIY)
0 Komentar