Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Nasib Buruh dalam Kacamata Kapitalisme

Topswara.com -- Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri manufaktur tengah terjadi dan dikhawatirkan semakin besar di awal tahun 2023. Selain itu, kasus karyawan putus kontrak juga ternyata tidak sedikit. Serikat buruh memperkirakan jumlahnya lebih besar dari karyawan yang terkena PHK.

"Mungkin bisa seratus ribu lebih, ratusan ribu, karena mereka cenderung lebih mudah dilepas dibanding karyawan tetap yang harus diberi pesangon dan lainnya," kata Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek), Mirah Sumirat kepada CNBC Indonesia, dikutip Sabtu (21/1/2023).

Berbeda dengan karyawan tetap yang cenderung lebih sulit dilepas karena ada sejumlah kewajiban, maka karyawan kontrak sangat mudah tidak dilanjutkan masa kerjanya. Ketika kontraknya habis, maka tinggal tidak diperpanjang. Kondisi ini juga terjadi di banyak anggotanya.

Adanya prinsip produksi yang dipengaruhi oleh permintaan mengakibatkan jika permintaan tinggi, industri akan memproduksi barang banyak dan untuk itu akan menambah jam kerja atau pekerja. 

Namun jika sebaliknya, pabrik akan mengurangi produksi. Padahal, pengeluaran lain masih tetap. Jadi, mereka mengurangi pekerja untuk menghemat biaya. Ketergantungan ini memperlihatkan bahwa prinsip ini rapuh melindungi para pekerja. Manusia hanya dipekerjakan sesuai kepentingan industri.

Kondisi di atas mengindikasikan bahwa kedudukan buruh di mata kapitalisme sebagai bagian biaya produksi. Sedangkan, prinsip produksi adalah mengambil pijakan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya.

Artinya, industri harus mengecilkan biaya produksi agar mendapatkan laba yang besar. Jadi, kalau produksi menurun, jalan satu-satunya adalah memberhentikan pekerja untuk meminimalisir biaya.

Sayangnya, nasib PHK hanya membayangi rakyat jelata. Bagi Tenaga Kerja Asing (TKA), masih bebas melenggang di Indonesia. Kondisi ini dilegalkan dengan ketuk palunya UU Omnibus Law. 

Dalam aturan itu, perusahaan diberikan kemudahan untuk memakai TKA. Mereka tidak perlu mengurus surat izin terbatas dan surat izin memakai TKA. Hal ini tentu menjadi angin segar bagi TKA.

Sayangnya, perlindungan yang sama tidak diberikan ke rakyat jelata. Justru perusahaan dengan prinsip ekonomi kapitalisme bebas menggunakan atau tidak para pekerja. Dari sini terlihat jelas bahwa pemerintah terkesan abai dengan nasib rakyat.

Setelah badai PHK, pekerja yang kehilangan pekerjaan tidak lagi memiliki pemasukan yang pasti. Mereka akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi ditambah kondisi saat ini, harga-harga kebutuhan pokok naik, kesehatan dan pendidikan juga harus mengeluarkan uang sehingga dapat dipastikan masyarakat akan kelimpungan.

Inilah efek jika penguasa yang ada mendukung oligarki. Setiap kebijakan diambil untuk memuluskan kepentingan mereka. Pemegang kebijakan tidak lagi memperhatikan kebutuhan rakyat. Mereka juga tidak mampu melindungi pekerja dari PHK karena ketentuan sistem kapitalisme.

Jadi, tidak heran jika banyak pihak menganggap pemegang kebijakan terlihat tunduk pada oligarki. Dari kebijakan yang diambil saja, terlihat bahwa mereka hanya sebagai fasilitator (penghubung antara pekerja dan pemberi kerja).

Dalam Islam masalah pekerjaan diatur secara rinci. Pekerja dan pemberi kerja diikat dalam akad ijarah. Perjanjian keduanya harus saling menguntungkan. Tidak boleh ada yang melakukan kezaliman. Pengusaha akan mendapatkan keuntungan dari kerja yang dilakukan pekerja dan sebaliknya, buruh akan mendapatkan imbalan dari hasil kerjanya.

Dalam penentuan imbalan, Islam memiliki ketentuan khusus. Dalam kitab Nidham Al Iqtishadi tulisan Syekh Taqiyudin an-Nabani, dijelaskan bahwa upah pekerja adalah kompensasi dari jasa pekerjaan yang sesuai dengan nilai gunanya. Penentuan upah ini tidak boleh diserahkan pada pengusaha, penguasa, pekerja atau keumuman masyarakat, tetapi kepada ahlinya, yaitu orang yang punya keahlian menentukan upah.

Besarnya upah ini tidak boleh dibuat berdasarkan kemampuan produksi seorang pekerja, memperkirakan sesuai batas taraf kehidupan yang paling rendah atau dikaitkan dengan harga barang. Semua hal itu tidak boleh dilakukan karena dapat menyebabkan pekerja diberhentikan ketika berkurangnya produksi barang.

Jadi, pekerja dengan akad ijarah bukanlah bagian dari biaya produksi. Banyak atau sedikit barang produksi tidak akan mempengaruhi gaji pekerja. Dengan demikian pekerja tidak akan terkena PHK massal hanya karena terjadi penurunan permintaan barang atau ekonomi lemah.

Selain masalah akad ijarah, Islam membagi kekayaan menjadi tiga bagian, kekayaan negara, kekayaan pribadi dan kekayaan umum. Negara akan memberi kebebasan rakyat mengelola hartanya asalkan dengan cara yang halal. 

Untuk kekayaan negara berasal dari jizyah, fa’i, kharaj, ghanimah, harta tidak bertuan, dan lainnya yang akan dipakai untuk memenuhi kebutuhan negara. Sedangkan, kekayaan umum yang bersumber dari pengelolaan sumber daya alam (SDA) akan digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan rakyat (kesehatan, pendidikan, dan sarana umum lainnya).

Dengan pemenuhan di atas, maka rakyat tidak lagi perlu memikirkan bagaimana membiayai pendidikan dan kesehatan. Mereka bisa berkonsentrasi pada pemenuhan sandang, pangan, dan papan. Walau demikian, jika masih ada yang hidup kekurangan, Islam menetapkan zakat bagi yang mampu. 

Zakat itu dikelola negara untuk diberikan kepada delapan orang yang membutuhkan. Dengan begitu masyarakat akan terpenuhi kebutuhannya, di samping itu mereka juga mendapat jaminan kerja dari negara.

Apabila hal di atas dapat dilaksanakan secara sempurna, maka kemiskinan secara berangsur akan hilang. Masyarakat pun akan aman dari PHK massal. Bahkan bisa jadi, mereka yang awalnya menerima zakat, lama kelamaan tidak akan menerima karena sudah merasa cukup. Kondisi ini pernah terjadi di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Sayangnya, konsep seperti di atas tidak bisa dijalankan dalam sistem kapitalisme. Konsep pekerja dan pengusaha ini hanya akan berjalan jika ada sistem Islam. Pemerintah dengan sistem pemerintahan Islam akan menerapkan konsep ijarah. Selain itu, ia pun tidak akan mengeluarkan UU yang merugikan pekerja seperti UU Omnibus Law.

Satu-satunya cara agar rakyat tidak lagi menjadi tumbal hanya dengan memakai konsep ijarah dalam Islam. Selain itu juga konsep ekonomi Islam. Namun, konsep ini hanya didukung oleh sistem pemerintahan Islam. Wallahu alam bishawab. 


Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar