Topswara.com -- Media sosial adalah media yang setiap saat selalu memberikan infornasi-informasi yang bermacam-macam, baik tentang ekonomi, budaya, pendidikan, kesehatan, kriminal dan termsuk tentang politik.
Informasi terkait politik sangat menarik perhatian publik karena tidak lama lagi akan ada pesta rakyat yakni pemilu 2024. Mayarakat akan dibuat bingung dengan bayaknya partai politik dengan visi misi yang bervariasi.
Dilansir dari katadadata.co.id Tren pola narasi di media sosial terkait Pemilu 2024 dinilai menunjukkan peta yang mirip dengan Pemilu 2019. Hal ini diungkapkan Yayasan Tifa, berdasarkan pantauan Drone Emprit dalam tiga bulan terakhir. Drone Emprit merupakan sebuah sistem untuk memantau dan menganalisa percakapan di media sosial, terutama Twitter dan Facebook.
Direktur Eksekutif Yayasan Tifa, Shita Laksmi, khawatir jika Pemilu 2024 akan kembali diisi dengan berbagai praktik buruk politik yang menciptakan polarisasi di masyarakat. Terutama dengan meningkatnya pengaruh informasi melalui media sosial, yang di dalamnya juga terdapat berita bohong, disinformasi, atau misinformasi.
Selain itu, didukung juga dengan adanya pelemahan terhadap ruang publik dan kebebasan bersuara, serta semakin terbukanya celah praktik oligarki.Tifa melihat pentingnya merawat keberagaman dalam Pemilu 2024 karena keberagaman adalah esensi Indonesia yang sudah mulai sulit dipertahankan,” tambahnya.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan polarisasi adalah politik identitas. Hal ini karena banyak elite politik yang menggunakannya sebagai cara untuk meraih dukungan politik.
Menurut survei Litbang Kompas tentang situasi politik nasional, mayoritas responden menilai buzzer/influencer yang provokatif bisa menciptakan polarisasi politik di masyarakat memanas.
Sebanyak 21,6 persen responden lain menilai polarisasi politik bisa meruncing, karena penyebaran informasi yang tidak lengkap atau hoaks, 13,4 persen karena kurangnya peran tokoh bangsa dalam meredakan perselisihan, dan 5,8 persen karena media sosial.
Verifikasi Parpol menghasilkan banyak partai yang lolos yaitu Ada 17 patai politik. Makin banyak partai dinilai makin demokratis, dan makin bermanfaat untuk rakyat. Faktanya beban biaya makin besar, yang berarti pemborosan negara.
Ini memicu utang negara bertambah beban rakyat semakin berat Di sisi lain, makin menguatkan polarisasi di tengah masyarakat, yang berarti rawan konflik, umat terpecah belah.
Sementara itu banyaknyan partai memungkinkan adanya tahapan pemilu, yang akan berujung koalisi antar partai. Koalisi jelas akan meleburkan partai sehingga kehilangan jati diri partai. Legitimasi pemimpin yang terpilih justru akan lemah.
Jadi hanya kesia-siaan semua yang mereka upayakan secara maksimal, karena semua itu hanya menghasilkan kemudaratan semata. Sesuatu yang bertentangan atau bertolak belakang dengan sistem yang sahih sistem yang sangat memperhatikan umat manusia diseluruh dunia, dari berbagai aspek kehidupan baik di dunia maupun akhirat.
Saat ini umat Isam tak memiliki tempat bernaung karena saat ini parpol Islam tak ada bedanya dengan parpol sekuler. Untuk itu sudah menjadi kewajiban seluruh umat Islam untuk memperjuangkan Islam kaffah untuk diterapkan yang mampu menjaga umat dengan amanah. Wallahu 'alam bisshawwab.
Oleh: Maryatiningsih
Aktivis Dakwah
0 Komentar