Topswara.com -- Menjadi generasi pemimpin sudah selayaknya memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam. Terbiasa berpikir dan peduli lingkungan sekitar. Untuk bisa memiliki pengetahuan mumpuni, bahkan mampu memberi solusi terhadap masalah keumatan tentu diperlukan bekal ilmu. Dan ilmu tak akan diperoleh kecuali dengan membaca. Maka kesadaran akan literasi harus terbangun pada diri generasi muda.
Namun sayang, kesadaran akan budaya literasi pada generasi Muslim masih sangat rendah. Hal ini bisa dilihat di antaranya dari indikasi minat baca generasi muda di Indonesia sangat memprihatikan.
Menurut data UNESCO, minat baca siswa di Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001 persen (artinya dari 1000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca). Tak jauh beda dengan data dari survei tiga tahunan BPS yang mencatat bahwa tingkat minat baca anak-anak Indonesia hanya 17,66 persen, sedangkan minat menonton mencapai 91,67 persen.
Menurut penelitian Perpustakaan Nasional tahun 2017, durasi waktu membaca orang Indonesia per hari rata-rata hanya 30-59 menit. Sementara masyarakat di negara maju rata-rata menghabiskan waktu membaca 6-8 jam per hari. Itulah salah satu bukti budaya literasi di Indonesia masih sangat rendah.
Literasi dan Islam
Jika UNESCO mendorong agar meningkatkan budaya literasi, jauh sebelum itu, sejak Islam diturunkan di muka bumi, Allah menitahkan Rasul-Nya untuk membaca. Sebagaimana yang dialami Rasulullah SAW saat pertama kali menerima wahyu melalui malaikat Jibril (QS. Al Alaq: 1-5).
Dari sini menunjukkan ajaran Islam telah menekankan pentingnya literasi. Hal ini tercermin dari kewajiban menuntut ilmu yang tidak terpisahkan dari kegiatan membaca dan menulis. Ajaran Islam mendorong umatnya agar menjadi manusia-manusia yang berilmu.
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadillah: 11)
Untuk menjadi orang berilmu tentu dibutuhkan membaca sehingga bisa menjadi bekal dalam beramal.
Pada sebuah kisah diceritakan, setelah terjadinya perang Badar, ada 70 orang Quraisy Mekkah menjadi tawanan, mereka akan dibebaskan jika bersedia menjadi guru bagi sepuluh orang anak dan orang dewasa Madinah. Akhirnya, 700 orang terbebas dari buta huruf.
Semangat untuk membaca terus dilanjutkan oleh para generasi berikutnya. Seperti di Masa Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid yang begitu mencintai ilmu pengetahuan, hingga dibangunlah sebuah perpustakaan besar yang bernama Baitul Hikmah, tempat penyimpanan koleksi berbagai karya para ulama.
Perpustakaan Baitul Hikmah Baghdad adalah muara literasi yang mengumpulkan buku atau naskah seputar sains dan pengetahuan agama dari berbagai negara dan zaman. Sederhananya, ia menyimpan buku-buku yang ditulis selama 6 abad.
Dr Raghib Sirjani menulis, "Di sana ada Tafsir Qur'an, Hadits, Fiqih, sampai Kimia, Fisika, Geografi dan Kedokteran serta jutaan bait syair legendaris. Bukan hanya yang berbahasa Arab, melainkan juga ada literatur India, Persia dan Yunani.
Tak hanya koleksi buku dan naskah, di perpustakaan Baitul Hikmah juga memiliki banyak ruang-ruang untuk menyimpan dokumen penting internasional. Ada juga ruang untuk majelis ilmu, ada pula yang dibangun untuk pusat penerjemahan dan penulisan buku. (Sumber : Ibnul Haitsam 'Alim Al Handasah Ar Riyadhiyah hal. 26).
Inilah bukti bahwa Islam sangat dekat dengan budaya literasi.
Mendekatkan Budaya Literasi pada Generasi Muda Muslim
Jika kalangan terdahulu saja lekat dengan budaya literasi, bahkan karya-karyanya menjadi inspirasi bagi bangsa lain di masanya, tentu sebuah keniscayaan bagi generasi muda Muslim saat ini untuk mengulang sejarah para pendahulunya, yakni dekat dengan budaya literasi dan mampu berkarya melalui tulisan.
Lantas, bagaimana caranya agar budaya literasi di kalangan generasi muda Muslim kembali gemilang?
Pertama, menggiatkan kembali budaya membaca. Bangun sebuah kesan bahwa membaca adalah aktivitas menyenangkan. Sesering mungkin mendekatkan remaja pada buku dan kegiatan membaca. Baik di sekolah, rumah hingga lingkungan pergaulan. Keberadaan taman bacaan atau perpustakaan yang dilengkapi bacaan remaja bermutu,sarat ilmu, bermanfaat dengan kemasan kekinian bisa jadi pilihan.
Kedua, mengajak generasi muda Muslim untuk menjadi bagian dari generasi yang mencintai menulis. Hal ini akan membuat mereka terbiasa mengikat makna-makna bacaan yang mereka baca dengan tulisan-tulisan penuh manfaat. Seperti diingatkan oleh Imam Syafii, “Ilmu itu bagaikan hasil panen/buruan di dalam karung, menulis adalah ikatannya.”
Ketiga, menjaga semangat baca tulis pada generasi muda Muslim dengan kegiatan mengkaji Islam. Ketika generasi muda istiqamah mengenal Islam lebih dalam, aktivitas baca tulis yang digelutinya semata-mata untuk mendapatkan ridha Allah.
Berlomba-lomba menabung pahala untuk kebaikannya di akhirat dengan menimba ilmu dari bacaan buku agama atau tulisan opini Islam yang singkat, tetapi sarat manfaat.
Semoga dengan upaya ini, generasi muda Muslim bisa menjadi inspirasi dalam meningkatkan kemampuan berliterasi, karena memang dengan literasi peradaban akan dimulai.
Membacalah maka kamu akan mengenal dunia, menulislah maka kamu akan dikenalkan dunia.
Oleh: Sari Diah Hastuti
(Aktivis Muslimah Sleman, DIY)
0 Komentar