Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kebijakan Pajak Kian Mengikat, Rakyat Terpalak


Topswara.com -- Sederet problema yang dihadapi masyarakat belum usai, mulai dari masalah keadilan yang sulit dirasa, para buruh yang nasibnya terlunta, hingga harga kebutuhan yang terus naik di tengah kondisi ekonomi yang tengah gulita. Hal ini makin diperparah dengan diberlakukannya aturan baru pajak penghasilan karyawan atau PPh Pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) (cncbcindonesia.com 2/1/2023).

Mekanisme teknis pajak penghasilan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2022 Tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang PPh. Melalui aturan baru tersebut, pekerja yang memiliki penghasilan Rp 5 juta per bulan atau Rp 60 juta dalam setahun dikenakan pemotongan pajak 5 persen. 

Maka, pekerja dengan penghasilan Rp 5 juta per bulan, akan dikenakan pajak sebesar Rp 25.000 perbulan atau Rp. 300.000 setiap tahunnya. Adapun karyawan dengan penghasilan lebih dari Rp 60 juta - Rp 250 juta per bulan dikenakan pajak sebesar 15 persen, lebih dari Rp 250 juta sampai dengan Rp 500 juta kena pajak 25 persen, penghasilan di atas Rp 500 juta - Rp 5 miliar dikenakan pajak 30 persen dan PPh sebesar 35 persen dikenakan bagi karyawan dengan penghasilan di atas Rp 5 miliar (tempo.co 1/1/2023).

Tak heran beberapa waktu lalu tagar #StopBayarPajak ramai diperbincangkan di jagad maya. Bagaimana tidak? Segala sektor pemenuhan kebutuhan keluarga kian terancam kelayakannya, dalam tatanan yang berlandaskan sekuler kapitalisme seperti saat ini semua serba di kapitalisasi, mahalnya harga sandang pangan, beban tarif air dan listrik, serta biaya kesehatan dan pendidikan. 

Pengeluaran yang diperlukan tak sebanding dengan gaji yang di dapat. Kondisi ekonomi yang menghimpit hidup rakyat makin mencekik dengan beragam beban pajak.

Klaim yang di gaungkan pemerintah bahwa pungutan pajak demi kesejahteraan masyarakat bagai pepatah 'Jauh Panggang dari Api'. Faktanya rakyat tetap harus merogoh kocek dalam untuk bisa mendapatkan fasilitas memadai dalam memenuhi kehidupan sehari-hari. Rakyat tidak secara keseluruhan dapat merasakan kebermanfaatan dari pajak yang telah ia bayarkan.

Kebijakan yang diterapkan menunjukkan bahwa sistem sekuler kapitalisme telah melahirkan rezim dengan watak pemalak. Padahal seharusnya negara berperan sebagai pemberi riayah dan solusi bagi masyarakat. Bukan mencekik rakyat dengan kebijakan yang tidak masuk akal.

Dalam ekonomi kapitalisme sekuler, Indonesia yang sejatinya memiliki kekayaan berlimpah ruah dalam bidang maritim dan agraris namun atas nama liberalisasi kepemilikan kekayaan negeri mayoritas kepemilikannya dikuasai swasta. Negara berakhir hanya menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan utama. 

Alih-alih bisa menikmati sumber daya dengan biaya murah bahkan gratis, lepas tangan pengelolaan SDA secara mandiri oleh negara menjadikan kehidupan rakyat makin diintai oleh bencana kemiskinan dan menjepit. Wal hasil kemampuan rakyat untuk membayar pajak pun akan melemah. 

Negara dengan paradigma sekulerisme kapitalistime kemudian mengambil langkah utang luar negeri yang ribawi yang kedepannya dapat dipastikan makin menambah beban negara pun masyarakat hingga bersiap memberi ‘karpet merah' dalam membuat kebijakan sesuai kepentingan negara pendonor.

Berbeda dalam pengaturan sistem ekonomi tata kelola keuangan negara dalam Islam. Dalam kitab Mukadimah ad Dustur Syekh taqiyuddin anabani secara rinci telah menjelaskan Bagaimana pandangan islam tentang pajak. Di mana negara diperbolehkan memungut pajak hanya ketika kondisi darurat untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan hanya bersifat insidental di mana saat pembiayaan telah terpenuhi pemungutan pajak dihentikan. 

Keadaan darurat di sini ialah saat kas negara Baitul Mal telah habis atau dananya tidak mencukupi untuk memenuhi pembiayaan pengaturan urusan rakyat oleh negara dan dikhawatirkan jika negara tidak menarik pajak dapat menimbulkan kemudharatan atau terhambatnya pengaturan urusan rakyat. 

Misalnya pembiayaan untuk jihad dan semua hal yang berkaitan dengan aktivitas penunjangnya, pembiayaan sarana dan prasarana umum yang jika sarana tersebut tidak ada dapat menyebabkan bahaya bagi kehidupan di tengah masyarakat. 

Termasuk pula keadaan darurat dalam menghadapi bencana alam yang tengah terjadi, pembiayaan untuk mengusir musuh juga pembiayaan bagi fakir miskin dan Ibnu Sabil serta pembiayaan untuk gaji tentara, para pegawai, para hakim, para guru dan lain-lain yang melaksanakan pekerjaan untuk kemaslahatan kaum muslimin. 

Adapun penarikan pajak dilakukan secara selektif di mana tidak semua orang dibebani untuk membayar pajak dan ketetapan pajak hanya dibebankan untuk kaum muslimin yang kaya. MasyaAllah, betapa Islam sudah mengarahkan kita untuk bisa menjalankan kehidupan bernegara yang mampu mensejahterakan rakyat tanpa perlu dikejar pungutan pajak sana sini. Wallahua'lambissawab.


Oleh: Agustin Pratiwi
Sahabat Topswara
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar