Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Islam Mensejahterakan Petani


Topswara.com -- "Lir ilir, lir ilir, banyune wis sumilir" lirik lagu yang sangat familiar di telinga masyarakat Indonesia, sebagai gambaran negeri ini yang sungguh subur, negeri agraris sebagai penghasil pertanian padi terbesar di dunia dengan kualitas yang sangat baik.

Bahkan dibeberapa daerah sangat terkenal kualitas padinya, "beras Cianjur" salah satunya, dan dibeberapa daerah lainnya. Namun beras di Indonesia saat ini sangat mahal bahkan dikabarkan tidak berlabel SNI, sebagaimana dilansir. TEMPO.CO, Jakarta - Beras yang menjadi sumber makanan pokok di Indonesia memiliki banyak jenis dan beragam mutu, mulai dari premium hingga medium. Tentunya harga jenis beras satu dengan lainnya berbeda.

Laporan bank dunia menyebut, harga beras Indonesia termasuk paling tinggi di Asia Tenggara. Di sisi lain, Indonesia punya ketentuan tentang standar kualitas beras. Acuan mutu beras melalui SNI 6128:2015, kemudian diperbaharui dengan SNI 6128:2020. Dilansir dari pertanian.go.id, SNI beras bersifat sukarela atau tidak wajib.

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya beras ini menjadi mahal dan tidak berkualitas. adalah sewa tanah dan biaya buruh menjadi faktor tertinggi dalam biaya produksi pertanian di Indonesia, teknologi, regenerasi petani, gap knowledge, hingga rendahnya pendapatan petani. 

Rendahnya pendapatan petani berpengaruh pada regenerasi petani itu sendiri. Stigma masyarakat bahwa petani itu "miskin" membuat beberapa anak muda tidak berminat dalam bertani. Sehingga berpengaruh pada beralihnya para petani ke sektor usaha dan industri. Pada tahun 1976 ada 65,8 persen penduduk Indonesia yang berprofesi sebagai petani. Dan pada tahun 2019 hanya sekitar 28 persen penduduk Indonesia berprofesi sebagai petani.

Faktor yang lainnya adalah alih fungsi lahan dari pertanian ke perumahan dan infrastruktur. Diketahui luas lahan pertanian terus berkurang dalam beberapa tahun terakhir. Hanya tersisa 7,46 hektar di tahun 2019.

Krisis petani perlu di selesaikan, persoalan ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Berbagai upaya perlu dilakukan, tidak boleh lepas dari kebijakan pemerintah tentunya.

Mungkinkah pemerintahan saat ini berhasil menyelesaikannya? Berbagai usaha pasti akan dilakukan. Pertanyaannya, apakah semua cara itu akan berhasil? 

Selama sistem yang berbasis materi yang dipakai, tidak akan berhasil. Karena kapitalisme yang telah berhasil menyulap lahan pertanian menjadi gedung-gedung bertingkat dan infrastruktur yang megah, demi keuntungan para kapital, mereka tidak lagi menghiraukan kebutuhan pangan.

Berbeda dengan Islam, sebagai sistem yang sempurna memberikan pengaturan tentang pangan. Termasuk kebijakan mengenai kemakmuran petani, pertanian adalah termasuk sektor yang paling penting. Sehingga membutuhkan kebijakan yang strategis. 

Dalam masalah pertanian, negara akan memberikan kebijakan seperti luas lahan yang harus di jadikan area persawahan, penyediaan pupuk dengan harga terjangkau, penyediaan bantuan alat-alat pertanian berteknologi tinggi, pengaturan pengairan sehingga petani tak kebingungan air, pemberdayaan penelitian melalui ilmuwan-ilmuwan yang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas panen, pengaturan distribusi panen agar harga stabil. 

Kebijakan itu dilakukan oleh negara semata-mata untuk kebutuhan rakyat, sedangkan uang yang di peroleh dari Baitul Mal yang mengandalkan pemasukan dari pengelolaan SDA, jizyah, kharaj dan fa'i. Dengan demikian kebutuhan petani tercukupi, harga jual terjaga petani pun tidak ketinggalan kemajuan teknologi karena fasilitas yang di berikan negara.

Wallahu a'lam bisaawab


Oleh: Lafifah
Aktivis Dakwah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar