Topswara.com -- Maraknya kasus perceraian mengawali tahun 2023 ini. Rata-rata perceraian dilakukan oleh pihak istri sebagai penggugat karena alasan perselingkuhan dari pihak suami. Kasus ini menjulang angka yang cukup membuat kita mengelus dada. Pasalnya, angka kasus perceraian terus meningkat tiap tahun. Termasuk juga di wilayah Bekasi, yang warganya berbondong-bondong menggugat cerai dengan alasan yang sama.
Menurut Humas Pengadilan Agama kota Bekasi, Usman mengatakan bahwa kasus meningkatnya perceraian ini dipicu adanya orang ketiga atau wanita idaman lain dari pihak sang suami. Hal ini disampaikan senin (9/1) lalu. “(Perceraian) Ini karena adanya perselisihan,” terang Usman, mengutip kanal YouTube Fokus Indosiar, Selasa, 10/1, (merdeka.com) selain pihak istri, ada pula pihak suami yang menggugat cerai karena adanya konflik perselingkuhan istrinya.
Jumlah angka perceraian di kota Bekasi ini tidak main-main. Berdasarkan kumulasi gugatan cerai tahun 2022 bekasi sudah menembus 5921 kasus (merdeka.com). Perselingkuhan, menjadi sebab rumah tangga berakhir dengan perceraian.
Dan di wilayah Bekasi banyak yang memiliki kasus serupa dengan pemicunya tidak hanya perselingkuhan tetapi juga sebab ekonomi, ketidakjujuran, dan yang lainnya.
Seperti yang dikutip dari media infobekasi.co.id, ratusan orang menggugat cerai suami maupun istri di wilayah Pasirtanjung, Cikarang Utara dalam waktu 9 hari di tahun 2023. Hal ini menunjukkan bahwa sistem ketatakeluargaan saat ini telah menjadi bumerang bagi kehidupan berkeluarga.
Tidak hanya perselingkuhan, tetapi sistem tata pergaulan yang terjadi di tengah masyarakat yang tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah juga telah menggoyahkan bangunan keluarga. Sehingga berujung pada perceraian yang dan berakhir tanpa solusi.
Kapitalisme Cacat Tata Keluarga
Perceraian dalam sistem saat ini yang mengadopsi kapitalisme sebagai ideologi negeri adalah suatu kewajaran. Bahkan jumlahnya yang yang cukup signifikan telah dianggap biasa oleh penguasa negeri. Karena kapitalisme dengan asas sekulerismenya tidak mampu mencetak generasi yang paham akidah agamanya.
Pemisahan aturan agama dari kehidupan memvuat generasi bebas berbuat dan berkehendak. Pengetahuan bahtera keluarga dari sisi agama tidak menjadi perhatian penting bagi pemerintah. Padahal minimnya pengetahuan agama adalah dasar dari keretakan keluarga.
Dari media pun, tidak adanya filter agama telah mengalirkan tayangan unfaedah secara deras. Adegan percintaan yang membangkitkan syahwat telah mengekang akal pikiran manusia dari pemahaman agama. Sehingga para generasi muda melakukan pernikahan tanpa bekal agama yang cukup.
Pernikahan hanya dianggap tren dalam masyarakat, bukan penyempurna sebagian agama. Sehingga tidaklah heran tujuan pernikahan hanya demi materi (harta, paras dan bodi yang bagus) dan mengikuti tren kerap mewarnai pernikahan saat ini.
Mereka seolah tidak menghiraukan esensi pernikahan sebagai ibadah terpanjang. Bahkan pemikiran yang dilahirkan dari sistem kapitalisme ini, telah mengkaburkan makna zina di tengah masyarakat.
Pacaran sebagai aktivitas yang mendekati zina, mereka anggap halal untuk saling mengenal. Sehingga hal ini menjadi racun bagi generasi dan bebas berpacaran karena pandangan hidup ini. Termasuk juga dalam hal pernikahan. Pernikahan yang ternodai dengan banyak nilai materi.
Pernikahan dilakukan karena latar belakang strata sosial yang sama, kondisi yang sama, hingga merasa saling cocok dan saling mencintai, dan secara langsung telah memunculkan nafsu sesaat dalam benak untuk saling berdekatan dan merasa saling memiliki dengan mengabaikan nilai-nilai agaman.
Kapitalisme telah melahirkan banyak pasangan menikah yang tidak paham tugas masing-masing. Bahkan hak dan kewajiban antara suami dan istri menjadi abu-abu. Tuntutan kesetaraan gender dalam rumah tangga telah meretakkan dinding tanggung jawab keluarga. Hak dan kewajiban suami tercoreng, peran ibu terabaikan, dan anak-anak menjadi korban pengabaian. Sehingga perceraian dalam rumah tangga tak lagi dapat dihindarkan.
Zina Yang di Normalisasikan
Perselingkuhan melakukan aktivitas percintaan lain dalam rumah tangga merupakan satu sebab perceraian. Perselingkuhan ini merupakan bagian dari aktivitas zina. Dalam sistem penganut paham liberal, Indonesia menganggap bahwa pergaulan bebas suka sama suka adalah aktivitas yang telah menghilangkan kesan tabu dalam masyarakat. Tidak ada lagi batasan moral agama yang dipegang demi menjaga kehormatan. Perbuatan zina seolah normal dilakukan.
Padahal, zina adalah permasalahan yang serius. Karena zina menjadi sebab terbukanya pintu-pintu keburukan lain. Pemerkosaan, perselingkuhan, hamil diluar nikah, sampai hilangnya kehormatan seseorang dan ketidakjelasan nasab anak yang dihasilkan dari hubungan gelap akan semakin merambah pula. Selama Negara menjadikan zina sebagai sesuatu yang biasa, maka jumlah kasus perselingkuhan hingga hamil di luar nikah senantiasa tampil mencuatkan konflik keretakkan rumah tangga.
Undang-undang dan kebijakan yang diharapkan dapat mengatasi konflik rumah tangga juga tidak mampu meredam angka penceraian. Konsep negara dengan pembuatan hukum di tangan manusia, menjadikan solusi perceraian tidak menyentuh kepada akar permasalahan. Justru kebijakan undang-undang seolah menormalisasikan perzinahan.
Sebut saja KUHP yang baru saja diluncurkan. Aktivitas perzinaan yang dilakukan suka sama suka bukanlah bagian dari delik hukum, dan dianggap boleh dilakukan. Belum lagi kasus perceraian karena marital rape. Hak hubungan suami yang dianggap memaksa istri dalam rumah tangga telah dianggap sebagai bentuk pemerkosaan dan tercatat dalam undang-undang sebagai kekerasan seksual. Padahal hubungan suami istri yang dalam ranah rumah tangga bukanlah bentuk pemerkosaan tetapi pelaksanaan saling melengkapi hak dan kewajiban pasangan suami isteri.
Faktor Ekonomi Penyebab Perceraian
Sistem kapitalisme yang telah terang-terangan bersikap apatis terhadal kondisi perekonomian rakyat, telah menimbulkan banyak kemiskinan di mana mana. Tidak ada batasan kepemilikan yang harta jelas. Sumber Daya Alam yang seharusnya milik rakyat, malah dieksploitasi oleh asing dan korporat untuk kepentingan sendiri. Sehingga rakyat hanya bisa gigit jari, bahkan tak jarang banyak para suami yang sulit mendapat pekerjaan menjadi satu sebab perceraian terjadi.
Selain itu, ramainya gaya hidup hedon telah mengarahkan umat kepada gaya hidup yang tidak lagi berdasarkan kebutuhan tetapi mengarah kepada penampilan dan pengakuan. Hal ini telah merasuki banyak istri di Indonesia. Gaya hidup hedonis istri yang akhirnya banyak menuntut kepada suami demi pemenuhan, akan menjadikan kehidupan rumah tangga kian jauh dari kata bahagia yang sesungguhnya. Pernikahan tidak lagi soal ibadah dan ketenangan, tetapi pernikahan dipandang hanya dari materi, harta dan kemewahan.
Begitulah fenomena pernikahan saat ini. Umat hanya diarahkan untuk mengumpulkan dana resepsi, bukan kesakralan yang menjadikan pernikahan tersebut diridai. Seremonial seperti engagement seolah telah menjadi tren, padahal islam telah mensyariatkan umat untuk menyembunyikan khitbah dan syiar hanya untuk pernikahan. Fenomena itu tentu saja merogoh dana yang tidak sedikit, apalagi acara pertunangan bukanlah syiar Islam seperti halnya pernikahan. Pasangan belum dianggap sah, dan campur baurnya pasangan dalam pertunangan masih menyirat dosa untuk keduanya.
Sehingga ketika dilanjutkan dengan resepsi pernikahan, tak jarang banyak yang akhirnya meninggalkan hutang setelah prosesi acara. Sehingga kehidupan rumah tangga sesudah menikahpun makin pelik. Tak jarang banyak perselisihan antara suami maupun istri karena ekonomi setelah menikah. Semua itu adalah kesalahan sistemik yang tengah mengakar pada pemikiran umat. Kapitalismelah yang menjadi dalang atas permasalahan ini. Pengaturan negara atas ekonomi umat, menjadikan kehidupan umat semakin pahit.
Islam Solusi Peliknya Pernikahan
Berbeda dengan Islam yang memiliki cara pandang yang khas. Dia bukan hanya agama namun sebagai ideologi yang mempunyai aturan yang lengkap. Islam tidak hanya mengatur ibadah saja, tetapi juga mengatur segala bidang seperti pendidikan, muamalah, kesehatan bahkan pernikahan. Islam juga punya solusi yang menyeluruh.
Islam membatasi kehidupan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram sehingga kasus perselingkuhan tidak akan terjadi. Negara Islam juga tidak akan membiarkan zina terjadi. Islam telah memiliki seperangkat aturan dan sanksi bagi para pelaku zina dengan hukuman cambuk, dan diasingkan dari masyarakat, serta dirajam atau dilempar batu sampai mati bagi pelaku zina yang telah menikah. Hukuman ini akan memberikan efek jera bagi pelaku zina untuk tidak melakukan kembali perbuatan yang sama dan jaminan tidak ada penularan dalam perbuatan maksiat ini.
Allah Swt. berfirman :
"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. " (QS. Al-Isra: 32).
Dalama hal media, Islam mempunyai sekat terhadap media yang merusak keimanan umat. Dalam sistem Islam, media hanya akan menyuguhkan tayangan yang mengedukasi umatnya agar menjadi insan yang tetap taat pada aturan Allah. Pernikahan dalam Islam itu tidak sekedar mencari baju yang anggun, dekorasi yang mewah, pasangan yang mapan, tetapi Islam mempunyai standar bahwa pernikahan adalah ibadah terpanjang sehingga harus dipersiapkan dengan bekal yang matang.
Negara juga bertanggungjawab penuh atas rakyatnya. Ketika permasalahan dalam tatanan keluarga terjadi konflik sampai perceraian, maka sang pemimpin negara akan segera mengkaji terkait hal tersebut. Setelah semuanya terkaji, maka solusi yang ditawarkan adalah solusi yang berasal dari Islam. Itu menjadi penyebab Islam adalah peradaban yang minim akan konflik dalam rumah tangga.
Baik itu konflik eksternal maupun dari internal keluarga. Pemimpin negara yang juga seorang mujtahid mutlak, akan mampu menggali hukum-hukum Islam bahkan akan menjadi hakim bagi setiap masalah apapun yang diadukan rakyat kepadanya. Sesuai dengan Firman Allah Subhanahuwata'ala :
وَاِ نْ خِفْتُمْ شِقَا قَ بَيْنِهِمَا فَا بْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ اَهْلِهٖ وَحَكَمًا مِّنْ اَهْلِهَا ۚ اِنْ يُّرِيْدَاۤ اِصْلَا حًا يُّوَفِّـقِ اللّٰهُ بَيْنَهُمَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَا نَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا
"Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 35)
Kemudian, Islam juga menjamin SDA dengan pengelolaan yang tepat sasaran. Sehingga tidak ada rakyat yang bersusah payah mencari pekerjaan. Negara telah mengatur sistem perekonomian lewat pos-pos kepemilikan yang mana pos Baitul maal dan kepemilikan SDA adalah milik rakyat, sehingga mereka dengan mudah mengelola lahan yang sudah disediakan oleh negara. Dan tidak ada konflik rumah tangga yang berakhir hanya karena masalah ekonomi. Islam menjamin kesejahteraan setiap keluarga agar tidak terjadi perceraian yang disebabkan oleh faktor ekonomi.
Khalifah dapat menjadi hakim yang adil dalam menghadapi konflik apapun. Termasuk dalam menerima setiap permasalahan gugatan cerai. Seperti ketika salah seorang yang hendak menceraikan istrinya dan meminta pendapat kepada Amirul mukminin Umar bin Khattab, namun niatnya diurungkan karena ia mendapati sang khalifah yang diam ketika dimarahi oleh sang istri. Kemudian bertanyalah shahabat kepada sang Amirul mukminin mengapa ia diam ketika sang istri marah kepadanya. Padahal Umar adalah panglima perang yang paling ditakuti oleh musuh. Bahkan syaithan pun lari ketika melihat Amirul mukminin. Tapi mengapa saat istrinya marah, ia lantas diam tanpa melawan.
Khalifah Umar berkata : "Aku cukup tentram tidak melakukan perkara haram lantaran pelayanan istriku. Aku bersabar kepadanya karena memang dia memiliki hak-hak yang harus saya penuhi." Kemudian beliau meminta shahabat yang ingin menceraikan istrinya itu untuk mengingat semua kebaikan istrinya tersebut.
Begitu indahnya sebuah keluarga yang dibangun karena Islam. Maka tidak ada lagi istilah tingginya jumlah perceraian yang terjadì. Kasus keretakan rumah tangga dapat diminimalisir karena pernikahan dilandaskan pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Maka dari itu, sudah sepantasnya kita lepaskan cengkraman Kapitalisme menuju Sistem Islam agar rahmatan lil'aalamin yang dijanjikan Allah dapat kita rasakan. Allahu a'lam bishshowab.
Oleh: Antika Rahmawati
Aktivis Dakwah
0 Komentar