Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bingung, Pilih Produk MK atau Presiden?


Topswara.com -- Tepat tanggal 30 Desember 2022, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Ciptaker. Artinya, gugurlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 25 November 2021 yang menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Inkonstitusional.  

Ada apa? Mengapa terkesan buru-buru? Pertanyaan dan juga kritik dari berbagai pihak segera mengalir kepada pemerintah. Namun, presiden beralasan Perppu harus segera diterbitkan, karena negera kita dalam kegentingan yang memaksa. Yakni disebabkan kondisi global yang tidak menentu. Benarkah? 

Kedudukan UU dan Perppu

Undang-Undang (UU) merupakan perundang-undangan yang dibuat oleh DPR atau Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini, dilakukan DPR melalui kesepakatan dengan presiden. Sesuai fungsi DPR RI menurut UUD 1945 adalah menyusun UU. 

Sementara konten UU adalah aturan lebih lanjut tentang ketentuan yang ada di dalam UUD 1945. Pun, UU mengatur semua ketentuan yang diamanatkan oleh UUD 1945.

Sedangkan Perppu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang adalah sebuah peraturan yang ditetapkan oleh Presiden. Hal ini terjadi, jika negara dalam kegentingan yang sifatnya memaksa. Dan konten yang diatur didalam Perppu sama seperti UU.

Perlu diketahui, ada beberapa mekanisme Perppu menjadi UU yang harus dipenuhi, yakni: pertama, Perppu akan diajukan oleh presiden kepada DPR dalam persidangan berikutnya.

Kedua, DPR bisa menerima ataupun menolak Perppu tanpa perlu melakukan perubahan konten,

Ketiga, jika disetujui oleh DPR, Perppu akan ditetapkan menjadi UU,

Keempat, jika ditolak oleh DPR, maka Perppu harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Dari penjelasan di atas, maka ketika Presiden Joko Widodo membuat Perppu, sudah seharusnya mengajukan terlebih dahulu kepada DPR sebelum diterbitkan.  Dan menjadi aneh, ketika Perppu Cipta Kerja dikeluarkan ketika DPR dalam masa reses (16 Desember 2022 sampai 9 Januari 2023). Sehingga berbagai pihak mempertanyakan keabsahannya.

Di antaranya Muhtar Said, Pengamat Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia). Ia menilai penerbitan Perppu Cipta Kerja oleh Presiden Joko Widodo tidak memenuhi syarat formil yang dirumuskan oleh  MK. Yakni pertama, tidak terpenuhinya syarat  kondisi kegentingan yang mendesak. Kedua, sudah ada UU Cipta Kerja yang diputuskan oleh MK. Padahal, Perppu dibuat jika ada kekosongan UU atau UU-nya tidak memadai. 

Ia pun menambahkan, jika yang dimaksud  kegentingan yang memaksa adalah kondisi ekonomi global, maka perlu kajian lebih lanjut yang mendalam dan dapat dijadikan sebagai bukti (NU Online, 2/1/2023). 

Sementara Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Achmad Baidowi mengatakan bahwa sejak ditandatangani oleh Presiden Jokowi, seluruh hal yang termuat dalam Perppu berlaku di Indonesia. Dan akan terus berlaku sampai nantinya ada keputusan dari DPR untuk menolak atau tidak (CBNC Indonesia, 30/12/2022).  

Tentu perbedaan pendapat ini membingungkan masyarakat. Terutama pihak-pihak yang terkait langsung dengan peraturan tersebut. Kebijakan manakah yang harus dijadikan rujukan?

Siapa yang Lebih Berwenang?

Mahkamah Konstitusi (MK) adalah salah satu lembaga lembaga tinggi negara. Kedudukannya sejajar dengan MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK dan Mahkamah Agung (MA). Namun, MK merupakan lembaga peradilan tata negara (Constitutional Court). 

Kewenangannya diatur dalam Pasal 24C UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di antaranya, MK berhak melakukan pengujian terhadap UU (judicial review) yang sudah diputuskan lembaga lain yakni DPR atau presiden.

Dari sini, semakin nampak bahwa seharusnya Perppu melewati beberapa proses sebelum diterbitkan.

Bahkan, karena terkesan mendadak, ada pihak yang menduga Perpu diterbitkan karena tekanan dari pihak pengusaha, bukan karena kegentingan yang memaksa. 

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto membantahnya. Akan tetapi, ia tidak memungkiri bahwa Perppu Cipta Kerja diterbitkan karena UU Cipta Kerja putusan MK Inkonstitusional Bersyarat.  Menurutnya hal ini membuat ragu investor. Padahal pemerintah butuh investor untuk berinvestasi dan menyediakan lapangan kerja (CNBC Indonesia, 30/12/2022).  

Artinya meski disangkal, nyatanya Perppu tersebut memang untuk kepentingan investor alias pengusaha. Hal ini diperkuat pernyataan ketua KADIN, bahwa ia setuju dengan Perppu Cipta Kerja tersebut  (CNN, 2/1/2023).

Dari sini, terbukti bahwa kekuasaan dalam sistem demokrasi kapitalis ada dalam genggaman para pengusaha/ pemilik modal. Merekalah penguasa yang sesungguhnya. 
 
Sementara itu, kewenangan penguasa dibagi-bagi dalam beberapa lembaga negara.  Mereka bersekutu dalam  kekuasaan. Setiap lembaga negara punya hak untuk menetapkan peraturan, dengan syarat disetujui oleh pihak lain.  

Tentu hal ini berpengaruh pada waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan sebuah kebijakan. Padahal dalam kehidupan bernegara, ada beberapa kondisi yang membutuhkan dikeluarkannya kebijakan dengan cepat. 

Di sisi lain, tidak adanya standar baku konten UU. Salah satunya, fakta Perpu dari masa ke masa periode presiden, selama ini tidak memiliki parameter yang jelas tentang kriteria “kegentingan yang memaksa”. Akibatnya, penafsirannya tergantung pada penguasa saat itu (ditjenpp.kemenkumham.go.id).  

Hal ini menyebabkan kebijakan yang dibuat seringkali menguntungkan kelompok tertentu saja. Dan dalam sistem kapitalis demokrasi, sudah pasti itu adalah pihak pengusaha /pemilik modal. 

Karena, sudah menjadi rahasia umum, kekuasaan dalam sistem kapitalis membutuhkan ongkos yang mahal.  Disinilah, para kapitalis / pemilik modal berperan untuk mendanai para penguasa. Dan, dana tersebut tidak gratis. Mereka akan meminta imbalan dalam bentuk UU yang menguntungkan bisnisnya. 

Jadi, meskipun  MK memiliki wewenang judicial review terhadap UU, sehingga berhak menguji UU Cipta Kerja, sementara proses Perpu Cipta Kerja presiden Joko Widodo ternyata tidak sesuai prosedur, akan tetapi baik kebijakan produk MK maupun Perpu presiden, sama-sama tidak bisa dipilih rakyat untuk dijadikan rujukan.  Karena dua-duanya sejatinya diterbitkan bukan untuk kepentingan rakyat, tapi untuk kepentingan segelintir pengusaha. 

Peraturan dalam Islam

Sistem demokrasi kapitalisme sangat berbeda dengan sistem Islam. Jika kedaulatan dalam sistem demokrasi ada di tangan para wakil rakyat, dan lembaga-lembaga lainnya, maka dalam Islam hak dan otoritas membuat hukum hanya ada pada Allah SWT. 

Sebagaimana dalam surat al-An’am: 57, “Hak menetapkan hukum hanyalah milik Allah.” Sementara penguasa hanyalah pelaksana. 

Sehingga dalam Islam, kedaulatan di tangan syariah Allah, sementara kekuasaan di tangan manusia, yakni khalifah. Oleh karenanya, kekuasaan khalifah dibatasi oleh syariat Allah. 

Allah berfirman dalam surat al-Maidah: 49, “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.”

Ayat di atas merupakan seruan kepada Rasulullah SAW, namun maknanya adalah seruan kepada umatnya. Sebab tidak ada dalil yang mengkhususkan bagi Rasul. Sehingga setiap muslim harus menegakkan hukum Allah termasuk khalifah dengan kekuasaannya. 
 
Oleh sebab itu, persoalan apa pun harus dihukumi dengan bersandar pada Al-Qur'an dan Sunnah (TQS al-Nahl: 89). 

Sementara itu proses keluarnya sebuah kebijakan dalam sistem Islam, dilakukan penguasa dengan mengadopsi hukum langsung dari kedua sumber tersebut, yakni Al-Qur'an dan sunnah. Atau penguasa mengadopsi pendapat ulama, yang merupakan hasil proses penggalian hukum/ijtihad untuk persoalan-persoalan yang baru.

Sehingga, tidak akan terjadi kediktatoran meskipun pemberi keputusan hanya satu orang yakni khalifah.  Pun, tidak akan terjadi perselisihan meski ada banyak qadhi/hakim yang memutuskan perkara di antara rakyatnya. 

Dan, yang pasti proses penerbitan kebijakan menjadi sangat efisien, cepat dan tepat. Karena dalam Islam, konten kebijakan memiliki standar baku, yakni syariat Allah. Pun, tidak ada persekutuan kekuasaan sebagaimana di sistem demokrasi, yang membutuhkan persetujuan lembaga pemerintah lainnya yang berwenang membuat kebijakan. 

Demikianlah, solusi satu-satunya agar tidak ada lagi kebingungan rakyat karena tumpang tindihnya peraturan yang diterbitkan lembaga pemerintah, adalah dengan meninggalkan sistem demokrasi kapitalis ini. Dan, menggantinya dengan sistem Islam, yang aturannya bersumber hanya dari Allah SWT saja. Tuhan pencipta dan pemilik langit, bumi, serta isinya.


Oleh: Sitha Soehaimi 
(Aktivis Muslimah Bogor)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar