Topswara.com -- Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia dikabarkan mengalami penurunan pada Oktober 2022, yakni tercatat sebesar USD 390,2 miliar. Artinya ULN turun dibandingkan posisi pada bulan September 2022 yakni USD 395,2 miliar.
Perkembangan tersebut dikarenakan adanya penurunan ULN di sektor publik yakni pemerintah dan Bank Sentral dan juga sektor swasta. Selain itu, secara tahunan posisi ULN pada Oktober 2022 mengalami kontraksi sebesar 7,6 persen (yoy), lebih dalam dibandingkan dengan kontraksi pada bulan sebelumnya yang sebesar 6,8 persen (yoy). (bi.go.id, 15/12/2022)
Masih dari sumber yang sama, ULN pemerintah pada Oktober 2022 masih melanjutkan tren penurunan. Posisi pada Oktober 2022 sebesar USD 179,7 miliar, lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar USD 182,3 miliar. ULN swasta juga sama, masih melanjutkan tren penurunan, dengan posisi pada Oktober 2022 sebesar USD 202,2 miliar menurun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu sebesar USD 204,7 miliar.
Kondisi di atas dapat dikatakan sebagai hal yang positif, mengingat ULN yang terus mengalami penurunan tiap tahunnya. Terlebih posisi ULN pemerintah yang dikatakan relatif aman dan terkendali, karena hampir seluruhnya merupakan ULN jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9 persen total ULN pemerintah. Namun benarkah demikian? Atau ada masalah lain di balik itu?
Sebagaimana kita ketahui, dalam sistem Kapitalisme Demokrasi, utang pemerintah dianggap sebagai suatu hal yang wajar karena digunakan untuk pembangunan. Biasanya rezim yang terpilih akan mendapatkan bantuan utang dari kapitalis asing maupun aseng.
Namun semua itu sejatinya adalah penjajahan gaya baru yang mengharapkan timbal balik. Mereka tidak akan memberikan utang secara cuma-cuma. "No free lunch", (tidak ada makan siang gratis) yang semua itu jelas terlihat pada berbagai kebijakan pemerintah yang demikian condong pada upaya memuluskan agenda kapitalis negeri ini dari pada kepentingan rakyatnya.
ULN yang digadang-gadang untuk kemaslahatan rakyat, nyatanya tidak dapat dinikmati rakyat kecuali sedikit. Pembangunan jalan tol misalnya, siapa yang diuntungkan dan menikmati kalau bukan mereka para kapitalis dan orang kaya saja.
Sebaliknya, rakyat hanya menikmati remahnya saja. Bahkan yang ada negeri ini semakin terjajah dan kian bergantung kepada utang. Akibat ketergantungan utang, negeri ini makin dikuasai dan dikendalikan oleh asing. IMF dan Bank Dunia misalnya, yang bisa mendikte berbagai kebijakan negara pengutang untuk mengeluarkan UU yang membuat para kapitalis legal menjarah SDA negaranya.
Sementara negara kapitalis pemberi utang mendapatkan keuntungan berlipat. Selain dari untung, juga dari bunga yang tinggi. Utang dengan bunga, baik itu sedikit maupun banyak tentu sangat merugikan bagi negara peminjam. Yang mana negara tersebut harus membayar utang pokok plus bunga yang tidak sedikit.
Semua itu dikarenakan paradigma yang salah terhadap sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan utang sebagai satu-satunya solusi ekonomi sebuah negara. Padahal dengan adanya utang, negara kian tunduk dan semakin terjerat pada kepentingan negara kapitalis pemberi utang.
Di sisi lain, adanya kesalahan pengelolaan terhadap SDA yang melimpah. Padahal SDA tersebut jika dikelola dengan baik, tentu dapat menjadi sumber dana atau pemasukan yang sangat melimpah di suatu negeri sehingga tentu tak akan dibutuhkan lagi mengais utang pada pihak asing.
Namun nyatanya SDA pun dijarah dan semakin dikuasai asing maupun aseng. Rakyat tinggal gigit jari meratapi kondisi negeri yang kian bangkrut. Mirisnya lagi SDA tersebut diserahkan secara legal oleh penguasa negeri ini yang tunduk kepada paradigma kapitalisme. Bahkan membuat negeri ini makin terjebak dan tidak berdaya menghadapi negara kapitalis.
Utang luar negeri dan ketergantungannya dengan negara kapitalis menunjukkan betapa lemahnya peran negara sebagai pengurus rakyat. Negara harusnya mampu mempertahankan SDA yang melimpah untuk kepentingan rakyatnya. Sehingga negara akan kuat dari sisi ekonomi dan tidak mudah terjajah oleh kepentingan kapitalis.
Akan tetapi semua itu seolah hanya mimpi di siang bolong. Faktanya kondisi negara makin pelik dan rakyat kian tercekik. Akan berbeda jika Islam dengan seperangkat aturannya dijadikan satu-satunya solusi bagi setiap permasalahan rakyat. Karena Islam mencakup segala hal termasuk sistem keuangan.
APBN negara Islam begitu jelas mengatur pemasukan maupun pengeluaran. Pemasukannya berasal dari berbagai pos. Misalnya, jizyah, kharaj, fa'i, ghanimah, harta tidak bertuan hingga pengelolaan SDA. Semuanya akan masuk ke Baitulmal dan pengalokasiannya untuk memenuhi biaya administrasi dan kebutuhan rakyat.
Sementara untuk urusan utang, ketika pendapatan negara cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, seperti sandang, pangan, dan papan, negara tidak perlu berutang.
Apalagi utang dengan bunga ribawinya, itu haram untuk dilakukan dalam kondisi bagaimanapun. Kendatipun negara dalam kondisi pailit, negara hanya boleh menarik pajak (dharibah) dari orang kaya saja, itupun setelah terpotong oleh segala pengeluaran pokoknya. Kebijakan pajak ini hanya berlaku pada kondisi tertentu. Jika kebutuhan sudah terpenuhi, penarikan pajak pun dihentikan.
Dengan demikian negara tidak mudah didikte oleh negara lain dan punya power di mata dunia internasional. Tidak dipandang sebagai negara lemah yang selalu mengandalkan ULN. Sehingga jelaslah satu-satunya yang dapat mengatasi masalah utang hanyalah sistem keuangan Islam.
Namun penerapan sistem tersebut tidak akan bisa tanpa ada institusi yang menaunginya, yakni institusi Islam yang akan menerapkan Islam secara kafah (menyeluruh). Serta adanya keinginan para pemangku kebijakan dan dukungan dari rakyat agar negara ini bebas dari bayang-bayang dominasi asing dan ULN.
Wallahu a'lam bi ash-shawab.
Oleh: Ummu Kholda
Komunitas Rindu Surga dan Pegiat Dakwah
0 Komentar