Topswara.com -- Belum genap sebulan, KUHP yang baru disahkan terus menuai kontroversi. Bahkan sejak proses pengesahannya yang terkesan terburu-buru. Apalagi anggota DPR yang hadir hanya 18 orang secara langsung, serta 108 secara virtual dan 164 tidak hadir. Belum lagi isinya, ternyata ada beberapa pasal yang mengandung konroversi, termasuk pasal tentang perzinaan dan kumpul kebo.
Padahal telah dipahami bersama, bahwa seharusnya UU ditetapkan adalah sebagai aturan main bagi rakyat, yakni untuk mengatur kehidupan bersama dalam sebuah negara. Sehingga seharusnya rakyat menjadi senang dan tenteram dengan adanya UU.
RKUHP untuk Siapa?
Tak akan ada asap jika tak ada api. Demikian pula kasus KUHP kontroversi ini. Meski menurut Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto “Pacul” adalah hasil akomodir dari masyarakat (dpr.go.id, 6/12/2022), namun ternyata digugat oleh berbagai kalangan, dari luar negeri bahkan oleh rakyatnya sendiri.
Khususnya pada pasal 411 ayat 1 tentang perzinaan yang menyatakan, “Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.”
Juga larangan kumpul kebo dicantumkan pada pasal 412. “Pelaku kumpul kebo diancam hukuman penjara paling lama enam bulan.” Alasan mereka yang menolak, hal tersebut akan berpengaruh pada bisnis pariwisata.
Tentu hal ini sangat mengherankan. Karena mayoritas rakyat Indonesia adalah Muslim. Sementara dalam Islam sendiri zina, baik zina sesaat atau zina dalam bentuk kumpul kebo adalah dosa besar.
Lalu, mengapa ada masyarakat yang merasa kebakaran jenggot dengan munculnya pasal ini? Ke mana keimanan yang seharusnya dipegang teguh mayoritas Muslim ini?
Apakah sebagian besar umat Islam di negeri ini tidak lagi menjadikan Islam sebagai rujukan dalam mengatur kehidupannya? Faktanya mereka memang justru menerapkan sistem sekularisme kapitalis. Terbukti mereka lebih takut asap dapurnya tidak mengepul (bisnis pariwisata) dibandingkan dengan azab Allah yang pedih di akhirat nanti.
Hal tersebut juga dikuatkan dengan pernyataanJubir RKUHP Albert Aries, bahwa masyarakat umum yang tidak ada hubungan kekeluargaan tidak dapat melaporkan pelaku meski mereka mendapatkan kerugian secara langsung.
Akan tetapi, harus ada delik aduan dalam tindak pidana perzinaan, yang hanya bisa dilakukan oleh suami atau istri, bagi pelaku yang sudah menikah. Sementara pelaku yang belum menikah, aduan hanya bisa dilakukan oleh orang tua atau anaknya. Albert pun menambahkan bahwa semua ini justru melindungi ruang privat masyarakat sehingga pihak ketiga atau masyarakat tidak main hakim sendiri (CNNIndonesia, 6/12/2022).
Dari sini nampak jelas, telah terbuka topeng penguasa, mereka bukan berada di pihak agama, meski seolah KUHP baru tersebut mengakomodir dari golongan agama. Faktanya justru mentolerir pelaku perzinaan.
Muliakan Manusia
Sudah diketahui bersama bahwa Islam melarang zina. Hukum terhadap pelaku zina tetap, baik ada atau tidak ada keuntungan ekonomi.
Allah berfirman,
“Janganlah engkau dekati zina. Sesungguhnya ia adalah perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.“ (QS. Al-lsra: 32)
Dari ayat tersebut di atas, Ibnu Katsir menafsirkan bahwa mendekati zina saja haram hukumnya, apalagi zinanya itu sendiri.
Dan dosa zina oleh Allah SWT dikaitkan dengan dosa besar lainnya. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan lain beserta Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertobat.” (QS. al-Furqan: 68-70)
Dalam Islam, hukuman bagi pezina ghairu mukhsan/belum menikah adalah dijilid/cambuk 100 kali (QS an-Nur : 2), juga diasingkan selama setahun (HR al-Bukhari). Sementara bagi pelaku zina mukhsan/sudah menikah adalah dirajam sampai mati.
Sebagaimana hadis berikut, ”Saat Rasulullah SAW berada di masjid, datanglah seorang pria menghadap beliau dan melapor, “Ya Rasulullah, aku telah berzina.” Mendengar pengakuan itu Rasulullah SAW berpaling dari dia sehingga pria itu mengulangi pengakuannya sampai empat kali. Kemudian Rasulullah bertanya, “Apakah engkau gila?” Pria itu menjawab, “Tidak.” Rasulullah bertanya lagi, “Apakah kamu orang muhshan?” Pria itu menjawab, “Ya.” Lalu Rasulullah SAW memerintahkan kepada para sahabat, “Bawalah dia pergi dan rajamlah.” (HR. al-Bukhari)
Kemudian untuk pengajuan delik aduan bagi pezina dalam syariat Islam boleh dilakukan oleh semua pihak. Dengan syarat bisa menghadirkan saksi (QS an-Nur: 4) atau jika suami atau istri bisa dengan jalan li’an (QS. an-Nur: 6-9).
Demikianlah, sesungguhnya Islam melarang zina untuk kemuliaan manusia itu sendiri. Sebab manusia adalah makhluk mulia dan memang lebih mulia daripada hewan.
Pun, Islam sangat menjaga kejelasan/ kesucian nasab. Sebab hal ini berkaitan erat dengan syariat Islam lainnya. Misalnya hukum perwalian, nafkah, pengasuhan, waris, bahkan sampai amal jariyah.
Sementara tentang bisnis pariwisata, sesungguhnya Islam tidak melarangnya. Allah berfirman dalam Al-Qur'an Surat Yusuf: 109, ”Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan Rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?”
Makna bepergian dalam ayat di atas menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya adalah melakukan perjalanan. Dan hukumnya dibolehkan untuk mendapatkan ibrah dari orang-orang terdahulu.
Atau bisa juga berwisata disamakan dengan melakukan safar dalam rangka ibadah.
Seperti dalam hadis Rasulullah berikut, “Abu Hurairah mengabarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tempat yang layak dijadikan tujuan safar hanyalah tiga masjid, yaitu Masjid Ka'bah (Masjidil Haram), Masjidku (Masjid Nabawi), dan Masjid Iliya (Masjid Al Aqsa)." (HR. Muslim)
Oleh karena itu, kaum Muslim ketika melakukan bisnis pariwisata tidak seharusnya menghalalkan aktivitas zina, dengan menolak RKUHP baru hanya demi meraih keuntungan ekonomi semata.
Bahkan seharusnya berusaha mengganti seluruh hukum sekuler yang diberlakukan di tengah mereka, dengan penerapan hukum Islam secara kaffah. Tentu saja, semata-mata untuk kepentingan seluruh manusia yakni menjaga kemuliaannya.
Wallahu a’lam.
Oleh: Sitha Soehaimi
(Aktivis Muslimah Bogor)
0 Komentar