Topswara.com -- Spanish Proverb “Seseorang yang telalu sibuk untuk menjaga kesehatannya, seperti mekanik yang terlalu sibuk untuk merawat peralatannya”.
Quote yang mencerminkan kondisi masyarakat saat ini. Masyarakat lebih memilih sibuk menjaga kesehatannya sendiri serta penuh kekhawatiran akan jaminan kesehatannya. Karena pada hari ini begitu mahal harga yang harus dibayar untuk kesehatan. Masyarakat dipaksa untuk bisa “mandiri” dalam berjuang agar tetap sehat. Karena menggantungkan diri pada fasilitas yang disediakan pemerintah tidaklah gratis.
Pada momen Ulang tahunnya yang ke-70, World Health Organization (WHO) yang beranggotakan 194 negara kembali menegaskan perlunya UHC dalam rangka mewujudkan tercapainya jaminan akses kesehatan tanpa menimbulkan kesulitan finansial penggunanya.
Berikut beberapa catatan penting tentang UHC yang dilansir pada laman p2ptm.kemkes.go.id : UHC menurut WHO, adalah menjamin semua orang mempunyai akses kepada layanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dibutuhkan, dengan mutu yang memadai sehingga efektif, disamping menjamin pula bahwa layanan tersebut tidak menimbulkan kesulitan finansial penggunanya.
Berdasarkan pengertiannya, UHC begitu menjanjikan fasilitas, kualitas dan kesejahteraan di bidang Kesehatan secara menyeluruh bagi masyarakat dunia, termasuk di dalamnya Indonesia yang termasuk ke dalam keanggotaan WHO. Namun, dibalik pengertian yang melenakan, lebih lanjut WHO juga mengatakan bahwa :
Pertama, UHC bukan jaminan kesehatan tak terbatas atau pengobatan gratis. Kedua, UHC bukan semata tentang pembiayaan kesehatan, namun mencakup pengelolaan semua komponen sistem kesehatan.
Ketiga, UHC bukan hanya terbatas pada pembiayaan layanan kesehatan dasar minimal, namun harus meningkatkan cakupan pada saat sumber daya sudah makin baik.
Keempat, UHC bukan hanya mencakup kesehatan perorangan, namun mengupayakan kesehatan masyarakat termasuk promosi kesehatan. Kelima, peningkatan kesehatan, namun juga langkah menuju ekuiti, prioritasi pembangunan, serta inklusi dan kohesi sosial. (CID).
Sempat terjadi salah pengertian dari masyarakat, dalam mengartikan UHC. UHC telah diartikan sama dengan cakupan kepesertaan semesta yang mempunyai pengertian bila seluruh penduduk Indonesia telah menjadi peserta JKN maka cakupan kesehatan semesta dianggap telah tercapai.
Padahal sebenarnya cakupan kesehatan semesta dinyatakan telah tercapai bila seluruh penduduk sudah memiliki akses terhadap layanan kesehatan yang komprehensif dan bermutu, baik upaya promotif, preventif, deteksi dini, pengobatan, rehabilitatif, dan paliatif tanpa terkendala masalah biaya. Tanpa disadari, sekali lagi, program ini tidaklah gratis.
Selain itu, program UHC ini merupakan program berbatas yang ‘peng-cover-an’nya hanya pada indikator indikator pertama, KIA; Keluarga Berencana (KB), Antenatal Care (ANC), imunisasi, pneumonia. Kedua, penyakit menular; tuberculosis (TBC), Human Immunodeficiency Virus (HIV), malaria, sanitasi. Ketiga, penyakit tidak menular; tekanan darah, glukosa darah, kanker serviks, tembakau, dan keempat, kapasitas dan akses; akses RS, tenaga kesehatan, farmasi, dan International Health Regulations (IHR).
Fasilitas Kesehatan yang sejatinya merupakan tanggung jawab pemerintah. Namun, kenyataannya masyarakat tetap harus membayar iuran. Atas nama gotong royong demi kemaslahatan bersama, masyarakat seolah ‘ditipu’ dengan program JKN melalui BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.
Ironisnya, masyarakat tidak menyadari bahwa fasilitas kesehatan melalui JKN ini, sebetulnya bersumber dari jerih payah mereka sendiri yang dikelola oleh pemerintah sebagai regulator.
Kalaupun mereka menyadari, mereka hanya bisa pasrah dan terpaksa mengikuti aturan pemerintah. Sejumlah fakta menyebutkan bahwa program JKN ini kerap bermasalah yang tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi pihak-pihak terkait, termasuk rumah sakit.
Sistem Daulah Islam tidak pernah menjadikan fasilitas kesehatan sebagai komoditas bisnis yang menghitung untung rugi. Kesejahteraan dan kesehatan sudah menjadi amanah yang wajib dipenuhi secara merata, tanpa ras, kasta dan harta. Siapapun yang berada pada naungan Daulah Islam, kesehatan menjadi salah satu fasilitas gratis bagi penduduknya.
Penguasa sebagai pelaksana negara tentu akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT atas pelaksanaan pengaturan berbagai kebijakan yang diterapkan. Sehingga seorang penguasa dalam sistem Daulah islamiah akan senantiasa taat pada akan aturan yang bersumber dari Allah SWT.
Ia akan menjalankan amanahnya semata-mata karena mengharapkan ridha-Nya dan takut akan azab-Nya, sebagaimana dalil yang mengatakan “Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya" (HR. al- Bukhari dari Abdullah bin Umar ra.)
Oleh karena Kesehatan adalah tanggung jawab negara, maka pengelolaanya tidak akan pernah diserahkan pada pihak swasta dan asing. Negara akan mengoptimalkan kekayaan alam yang dimiliki untuk dikelola. Sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh rakyatnya.
Negara dapat mewujudkan hal-hal terkait kesehatan seperti; pertama, berlaku umum tanpa diskriminasi, tidak akan ada pengklasifikasian dan pembedaan dalam pemberian layanan Kesehatan kepada rakyatnya.
Kedua, rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya apapun untuk memperoleh layanan kesehatan. Ketiga, negara wajib memberikan kemudahan kepada rakyatnya untuk mendapatkan palayanan kesehatan.
Wallaahu a’lam bishshawaab
Oleh: Widya Amidyas Senja
Pendidik Generasi
0 Komentar