Topswara.com -- Rasanya Korupsi tidak akan pernah mati di negeri ini. Sebaliknya semakin tumbuh subur bak kuncup bunga yang selalu mekar. Begitulah yang kini terjadi, lagi dan lagi pejabat politisi tega melakukan perbuatan yang menyakiti hati rakyat.
Seperti belum lama ini KPK (Komisi antirasuah) telah menangkap Bupati Bangkalan, R Abdul Latif Amin beserta kawan-kawannya yang terjerat kasus pemberian dan penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara yang mewakili lelang jabatan. (tirto.id, 9/12/2022)
Ironisnya, kejadian itu berdekatan dengan Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) yang belum lama diperingati, yakni setiap 9 Desember. Tentu saja kejadian ini mencoreng semboyan anti korupsi dan menjadi catatan tersendiri bagi KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) yang pamornya mulai redup. Sehingga wajar bila peringatan HAKORDIA hanya sebagai seremonial belaka.
Sepertinya rasuah (dalam bahasa Arab disebut risywah, yaitu pemberian sesuatu dengan tujuan membatalkan suatu yang haq atau untuk membenarkan sesuatu yang batil) sudah menjadi penyakit akut yang menjangkiti para politisi. Bagaimana tidak, saat ini di mana setiap orang yang hendak mencalonkan diri untuk meraih sebuah jabatan, pasti akan membutuhkan modal yang tidak sedikit.
Sedangkan hal itu hanya bisa dilakukan oleh para konglomerat atau pemilik modal saja. Maka tidak heran, bila nantinya mereka terpilih, yang semestinya mendedikasikan jabatannya untuk kepentingan rakyat, namun yang terjadi justru sebaliknya, mereka sibuk mengumpulkan pundi-pundi uang untuk mengembalikan modal, beserta bunga-bunganya. Bukankah tidak ada makan siang gratis?
Begitulah dalam alam demokrasi. Korupsi sudah mengakar kuat di kalangan politisi bahkan sudah menjadi budaya. Adanya KPK bukannya mampu meredam kejahatan tersebut, sebaliknya korupsi semakin merajalela menjangkiti para pejabat berdasi. Mirisnya kepercayaan publik terhadap komisi anti korupsi pun semakin menurun. Hal itu disebabkan oleh insan dalam lembaganya.
Menurunnya kepercayaan publik ini berdasarkan hasil survei wawancara yang dilakukan Litbang Kompas pada 19-21 Juli lalu pada 502 koresponden, bahwa kepercayaan rakyat terhadap KPK berada di urutan terendah, yakni 57 persen dalam Lima tahun terakhir. Padahal pada Januari 2022 ada di posisi 76,9 persen.
Namun dalam perjalanannya lembaga antirasuah ini cenderung menurun terutama setelah revisi Undang-Undang KPK yang berakibat lemahnya kadar independensi dan integritas KPK. Hingga KPK dinilai makin sedikit dalam memberantas kasus strategis. (kompas.com, 9/12/2022)
Ditambah saat ini, pengesahan RKUHP yang justru mengurangi hukuman bagi koruptor. Hal ini disebutkan dalam pasal 603 yang berbunyi, "Bagi orang yang melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, maupun korporasi yang merugikan negara atau perekonomian negara, pelaku dihukum penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun. Pelaku juga dihukum denda minimal 10 juta dan maksimal kategori VI atau Rp.2 miliar." (kompas.com, 7/12/2022)
Inilah fakta buruk keseriusan pemberantasan korupsi di tengah sistem demokrasi. Bukannya mampu menyelesaikan masalah korupsi secara tuntas, sebaliknya rasuah ini semakin menjamur di kalangan politisi. Sanksinya tidak membuat efek jera bagi pelakunya.
Sebaliknya semakin kecanduan dan dilakukan secara berjamaah. Apalagi para pelakunya sudah tidak mempedulikan apakah perbuatan yang dilakukan itu berdosa, atau tidak. Mereka melupakan bahwa kelak segala perbuatan yang dilakukan di dunia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Demikianlah sistem demokrasi buatan manusia ternyata tidak mampu menyelesaikan masalah korupsi yang terjadi di kalangan politisi. Adanya peringatan HAKORDIA pun hanyalah sebagai hiasan pemanis saja dalam memberantas rasuah ini.
Berantas Korupsi Dengan Islam
Islam bukan hanya agama yang melingkup ibadah ritual saja, tetapi Islam juga aturan yang paripurna, yakni mengatur segala aspek kehidupan, termasuk korupsi. Dalam Islam, ada beberapa upaya untuk memberantas korupsi. Di antaranya: Pertama, penanaman iman dan takwa, khususnya para pejabat dan pegawai.
Kedua, sistem penggajian yang layak sehingga tidak ada alasan untuk korupsi. Ketiga, ketentuan dan batasan sederhana dan jelas tentang harta ghulul serta penerapan pembuktian terbalik.
Rasulullah SAW. bersabda: "Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia, maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul," (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan Al hakim)
Ketiga, bila ada yang melakukan korupsi akan dikenai hukuman sanksi ta'zir, yakni berupa tasyhir (pewartaan/ekspos), denda, penjara yang lama bahkan sampai hukuman mati, sesuai dengan tingkat dan dampak korupsinya.
Begitulah Islam dalam memberantas korupsi. Ketegasan sanksi ini tidak lepas dari persanksian sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Maksudnya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum akan tercegah untuk tidak melakukan tindak kriminal yang sama dan apabila sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, maka sanksi tersebut dapat menebus dosa.
Maka untuk terbebas dari penyakit rasuah yang semakin menggeliat di negeri ini, hanya ada satu cara, cabut sistem rusak buatan manusia Kapitalisme-sekuler diganti dengan sistem sahih, yaitu Islam kaffah.
Dengan jalan menerapkan syariatNya dalam seluruh aspek kehidupan. Hal itu pernah terbukti, selama 13 abad lamanya Islam memimpin dunia, hanya ada kurang lebih 200 kejahatan kriminal yang terjadi. Nah apakah kita umat Islam tidak merindukan akan kembalinya Islam kaffah?
Wallahu a'lam bish shawab.
Oleh: Ummu Abdillah
Pegiat Literasi dan Member AMK
0 Komentar