Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pentingnya Pendidikan bagi Wanita


Topswara.com -- Banyak Muslimah yang galau ketika telah menyelesaikan masa studinya alias lulus. Umurnya hampir setengah abad, tetapi merasa belum bisa mandiri, kenapa? Karena belum punya penghasilan sendiri, rumah sendiri, kendaraan sendiri, belanja pun belum memakai uang sendiri. Ketika kumpul dengan keluarga besar ditanya,  "Kerja di mana, gajinya berapa? Cuma bisa senyum-senyum saja.

Geser ke sana sedikit, tetangga ada yang nyeletuk, "Ya ampun kuliah jauh-jauh, bagus-bagus, tinggi-tinggi jatuhnya cuma jadi pengangguran." Hhmm nyesek banget ya. Tapi kamu tidak sendirian lo, karena hampir semua Muslimah pernah mengalaminya. 

Hal ini layaknya sudah menjadi fenomena dan stigma di lingkungan masyarakat, "Buat apa seorang Muslimah belajar tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya tidak bekerja di perusahaan besar atau malah cuma menjadi pengangguran, sayang sekali kan ijazahnya."

Nah, hal-hal itulah yang kadang membuat Muslimah galau, stres, frustasi, gelisah yang berlebihan hingga berakibat susah untuk menerima takdir Allah SWT lalu berujung kepada menyalahkan Allah SWT mengapa memberikan jalan hidup yang begitu berat, astaghfirullah.

Pemikiran tersebut wajar, mengapa? Karena pertama, banyak masyarakat Muslim sekarang yang cuma beragama Islam KTP. Islam cuma menjadi status atau pelengkap buat mengisi dokumen. 

Ketidaktahuan umat bagaimana Islam memuliakan perempuan dan ketidaktahuan mereka akan hukum bekerja bagi perempuan membuat umat berpikir bahwa mau laki-laki atau perempuan kalau sudah belajar jauh-jauh dan belajar tinggi-tinggi, maka ujung-ujungnya harus bekerja.

Kedua, selain faktor lemahnya iman dan pengetahuan Islam pandangan masyarakat dalam mendefinisikan kebahagiaan dan kesuksesan adalah menggunakan pandangan kapitalis. 

Kehidupan dalam sistem kapitalisme yang tolok ukur kebahagiaannya adalah meraih materi sebanyak-banyaknya. Akhirnya melahirkan masyarakat yang materialistik atau bahasa gaulnya matre.

Dalam sistem kapitalisme, pangkat, jabatan, kedudukan, pujian, harta kekayaan dan ketenaran merupakan puncak tertinggi suatu kebahagiaan. Ini terjadi karena kapitalisme bersumber dari akal manusia yang serba terbatas, dipenuhi dengan hawa nafsu, dan kepentingan.

Sistem kapitalisme sebenarnya telah merusak kodrat perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Bagaimana tidak, perempuan yang seharusnya berada di rumah, mendidik, dan mengurus anaknya justru tersibukkan di luar rumah untuk mengejar kebahagiaan ala kapitalisme. Mereka mengejar karir, mengabaikan tanggung jawabnya sebagai ibu.

Perusahaan kapitalis pun tidak tinggal diam, mereka menjemput mangsanya, yaitu kaum perempuan dengan cara membuka lowongan dan kesempatan kerja yang besar buat perempuan. Mereka juga menjadikan jabatan-jabatan strategis untuk perempuan. Dalam sistem ini, posisi perempuan yang seharusnya menjadi tulang rusuk yang wajib dinafkahi justru digeser orientasinya menjadi tulang punggung nafkah keluarga.

Kalau para ibu atau calon ibu sibuk mengejar karir, lantas siapa nantinya yang akan menjaga anaknya? Siapa yang akan memberikan kasih sayang anaknya? Siapa yang akan mencetak generasi bangsa? Kakek neneknya? Pembantunya? Atau tempat penitipan anak?

Maka tidak mengherankan kalau banyak anak sekarang yang stres, broken home dan kurang kasih sayang walaupun mereka dikelilingi harta. Sejatinya mereka menjadi seperti itu karena mereka kehilangan sosok Ibu sejati.

Cara Islam Memperlakukan Perempuan

Islam menghukumi aktivitas bekerja antara laki-laki dan perempuan berbeda. Islam memandang sangat penting bagi perempuan Muslimah untuk memiliki pendidikan islami setinggi mungkin. Karena merekalah yang nantinya bakal menjadi pendidik pertama bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, perlu peran negara untuk mendukung peran besar perempuan ini.

Negara Islam yakni khilafah wajib menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan terbaik dengan biaya yang sangat terjangkau bagi warga negaranya serta memberikan kesempatan untuk perempuan melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya.

Bagi laki-laki, bekerja mencari nafkah adalah suatu kewajiban saat dia sudah baligh. Karena dia akan menanggung penafkahan dan menjadi wali atas mahramnya.

Allah Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 233 yang artinya,

"Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf."

Dan juga didalam Al-Qur'an surah Ath-Thalaq ayat 6

اَسْÙƒِÙ†ُÙˆْÙ‡ُÙ†َّ Ù…ِÙ†ْ Ø­َÙŠْØ«ُ سَÙƒَÙ†ْتُÙ…ْ Ù…ِّÙ†ْ ÙˆُّجْدِÙƒُÙ…ْ ÙˆَÙ„َا تُضَاۤرُّÙˆْÙ‡ُÙ†َّ Ù„ِتُضَÙŠِّÙ‚ُÙˆْا عَÙ„َÙŠْÙ‡ِÙ†َّۗ

"Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka."

Karena tidak diwajibkan bekerja, maka Islam juga mengatur terkait penjaminan nafkah perempuan melalui para walinya. Kalau dia sudah tidak mempunyai wali, maka negara khilafah wajib memenuhi penafkahannya. Kesempurnaan jaminan dan pengaturan untuk perempuan hanya akan terwujud di bawah naungan khilafah.

Jadi sebenarnya saat perempuan mengenyam pendidikan tinggi-tinggi lalu memilih tidak menjadi wanita karir, bukan berarti dia tidak berguna atau sia-sia, tetapi dia lebih mengutamakan kewajiban yang bernilai pahala daripada hal yang mubah.

Nah, daripada galau memikirkan pekerjaan, alangkah lebih penting memikirkan bagaimana kita mempersiapkan diri dengan menambah pengetahuan, kemampuan dan mental kita, ketika menjadi Ibu dan tentunya berjuang untuk memperbaiki  generasi kita, demi merubah peradaban dunia mendatang.


Oleh: Nabila Zidane
(Analis Mutiara Umat Institute)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar