Topswara.com -- RKUHP telah disahkan DPR pada Selasa (6/12/2022). Pemerintah berdalih bahwa KUHP yang baru merupakan revitalisasi KUHP produk kolonial Belanda. Namun, banyak pihak menilai bahwa substansi KUHP yang baru masih mengandung substansi yang terkesan memosisikan rakyat sebagai ‘lawan’ dari rezim penguasa. Bahkan seolah-oleh, rezim adalah penjajah versi baru (neokolonial).
Terdapat belasan pasal bermasalah yang disorot publik, seperti pidana mati, penghinaan presiden dan wakil presiden negara sahabat, hukuman pelanggaran HAM berat, penghinaan lembaga negara, hingga dalil peghinaan presiden dan kepala negara.
Bukankah hal ini amat berbahaya karena berpotensi menjadi alat kriminalisasi. Rumusan delik-delik penghinaan terhadap presiden dan lembaga-lembaga negara, kental aroma feodalisme dan kolonialisme yang sejatinya hendak direformasi dari KUHP yang lama.
Pengesahan RUU ini pun terkesan ngotot dan terburu-buru. Hal ini menunjukkan betapa otoriternya pemerintah. Pemerintah abai terhadap aspirasi publik. Sejumlah politisi menilai, tim Sosialisasi RKUHP yang kurang menyerap aspirasi publik. Sejumlah aspirasi masyarakat belum tersalurkan dalam RKUHP yang akan disahkan tersebut.
Inilah wajah buruk demokrasi. Aspirasi publik kandas di rapat paripurna anggota dewan. Publik patut bertanya, beginikah hidup di era demokrasi yang sudah 78 tahun merdeka? Dalam demokrasi, suara rakyat bisa ditelikung anggota parlemen. Dalam demokrasi, suara kritis bisa dimasukkan delik kriminal.
Dalam demokrasi kebebasan berpendapat bisa disumbat dengan undang-undang. Kalau demikian halnya, betapa buruknya jalan demokrasi itu? Pasal-pasal kontroversial, ngaret serta represif dalam RKUHP hanyalah sekelumit fakta betapa hipokritnya demokrasi tentang kebebasan berpendapat, berekspresi dan bermedia.
Realisasinya, rakyat berpotensi menjadi korban kedaulatan kekuasaan. Tanpa revisi atau pun pencabutan pasal-pasal kontroverisal di dalam KUHP yang baru, maka negeri ini dapat dikatakan bukan negara demokrasi melainkan hanya pseudo demokrasi bahkan berpotensi menjadi negara otoriter. Inikah model negara yang kita inginkan?
Bukannya insaf, pemerintah terkesan membela diri dengan berbagai dalih untuk membenarkan keputusannya mengesahkan RUU KUHP ini. “Yang tidak puas boleh upaya ke MK”, ini adalah jurus jitu pemerintah untuk tetap lanjut mengesahkan RKUHP ini.
Kalau sudah bebal begini, negeri ini harus bersiap menghadapi bom waktu, menghadapi ledakan kemarahan publik yang tidak terbayangkan lagi. Karena yang sudah-sudah, MK paling hanya mengatakan bahwa UU KUHP inkonstitusional bersyarat seperti nasib UU Omnibuslaw Cipta Kerja 2020 yang sebelumnya.
Dalam Islam, standar aturan dan hukum yang mengatur kehidupan adalah dari Allah dan bukan akal manusia yang cenderung bersatnadar ganda. Aturan Allah (syariat islam) adalah aturan yang paling adil dan tepat dan sangat layak untuk manusia.
Lebih dari itu semua, jaminan alami atas terlaksananya keadilan hukum islam terletak pada ketakwaan penguasa. Islam membutuhkan pemimpin yang legitimate dan sistem yang kompatibel. Keduanya hanya mungkin terwujud dalam khilafah sebagaimana pernah terwujud sebelumnya selama belasan abad.
Apabila penguasa hilang ketakwaannya, maka jaminan alami terhadap penerapan islam kafah serta jaminan kesempurnaan dakwah islam akan ikut hilang. Karenanya, harus ada umat (rakyat) yang menjadi media pengontrol jalannya kekuasaan dan penerapan islam di tengah-tengah mereka.
Di sinilah relevansi kritik terhadap penguasa sebagai mekanisme kontrol (muhasabah lil hukam) itu dijalankan. Dan islam menempatkan aktivitas kritik sebagai bagian dari kewajiban rakyat terhadap penguasa, bukan sekadar hak sebagaimana sistem demokrasi.
Agar mampu menjalankan fungsi muhasabah, umat harus memiliki perhiasan takwa. Ketakwaan sosial terhadap Allah inilah yang akan melahirkan sense of belonging kepada Islam dan syariatnya sehingga mendorong umat untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan dan tidakan lalim penguasa yang menyimpang dari hukum-hukum syariat.
Umat yang takwa kepada Allah tidak akan merasa takut sedikitpun melakukan koreksi terhadap penguasa zalim. Ketakutan mereka hanyalah kepada Allah semata. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW., “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Berharap terwujudnya ketakwaan kolektif pada sistem sekuler seperti sekarang ibarat pungguk merindukan bulan. Kendati mengagung-agungkan kebebasan berpendapat, nyatanya sistem politik demokrasi kerap membajak suara rakyat. Semua tersebab hilangnya nuansa takwa, baik pada level indivu maupun level kolektif masyarakat.
Sistem demokrasi hanya mementingkan jumlah suara ketimbang isi suara. Rakyat kesulitan mendebat dan mengoreksi penguasa karena umat tercerai-berai dan tidak adanya satu kepemimpinan yang mengendalikan kepemimpinan umat di hadapan penguasa.
Oleh karenanya, umat membutuhkan sebuah gerakan politik baru dengan ideologi shahih untuk mendobrak demokrasi. Menempuh jalur politik adalah jalan semata wayang dalam menyampaikan risalah Islam.
Berdirinya gerakan politik alternatif ini harus mampu memimpin umat, dan dengan kepemimpinannya, mampu mengantarkan pada jalan tegaknya sebuah institusi yang menjalankan syariat ilahi, dan mendakwahkannya ke seluruh negeri. Wallahua’lam.
Oleh: Pipit Agustin
Sahabat Topswara
0 Komentar