Topswara.com -- Ayah bunda, disadari atau tidak kita sering terpengaruh oleh ‘hukum opini’. Apa yang sedang ramai dibicarakan dan dikerjakan orang seolah menjadi hal yang boleh untuk dikerjakan. Apalagi bila itu adalah hal yang sering kita lihat, tonton, atau baca. Saat kita tidak mengerjakannya kita pun menjadi seperti orang yang bersalah. Salah satunya adalah mengizinkan anak berpacaran.
Ayah bunda bisa melihat, mendengar, dan membaca bahwa dimana-mana banyak remaja yang melakukannya. Entah dengan izin orang tua mereka, atau melakukannya backstreet, alias tanpa seizin orang tua mereka. Remaja yang kuliah hingga yang jelang baligh sampai anak SD kelas 4 pun melakukannya.
Lewat film, sinetron, bacaan, anak-anak kita pun ditanamkan pemahaman bahwa pacaran itu bagian dari ‘hak asasi’ manusia. Tak ada yang berhak melarang seorang remaja untuk berpacaran. Sehingga tidak heran anak kita yang beranjak remaja mungkin pernah bertanya, “Ayah bunda, kapan aku boleh mulai berpacaran?”
Orang tua pun dibawa untuk memahami bahwa pacaran itu adalah fase dari perkembangan kepribadian seorang remaja. Sehingga kemudian dibuatlah berbagai artikel tentang ‘rules of pacaran’ yang harus ditanamkan orang tua kepada remaja mereka.
Sebagian orang tua ada yang begitu cuek menyaksikan anaknya berpacaran. Ini karena mereka sudah terbawa opini umum seperti yang saya ungkap di atas. Jadi mereka seperti tidak peduli anak gadis atau jejakanya pacaran dengan siapa dan melakukan apa saja selama berduaan dengan kekasih mereka.
Sebagian lagi ada yang mengizinkan anaknya berpacaran dengan aturan-aturan tertentu; tidak boleh pulang malam, jangan melakukan tindakan tak senonoh (seperti berpelukan, berciuman, dan sebagainya), dan lain-lain. Tentu setelah sebelumnya ayah bunda menyeleksi siapa yang boleh menjadi pacarnya. Bukan begitu?
Ayah bunda, saya belum akan memulai pembicaraan soal ini dari sudut pandang agama. Saya belum akan memulai mengeluarkan satu atau dua ayat maupun hadis tentu yang saya hafal saja untuk membahasnya. Mengapa? Terkadang di antara kita ada yang merasa begitu berat untuk menerima nasihat dari agama. Kita takut dianggap sok fanatik, kaku, ekstrim, dan lain-lain.
Kita lebih senang membicarakannya dari sudut pandang kemanusiaan. Bahwa pacaran itu adalah fase dimana anak kita yang remaja sedang ingin menunjukkan eksistensinya sebagai pria atau gadis yang dewasa, yang bisa berkasih sayang pada orang lain, dan tentu saja juga senang untuk diperhatikan orang lain yang mereka sukai.
Jika begitu, mari kita bahas dari sudut pandang ini. Pertama, apakah ayah bunda tahu apa saja aktifitas remaja sekarang saat berpacaran? Saya ingin katakan kita, orang tua, seringkali memandang pacaran dari sudut pandang kita sebagai orang dewasa. Kita lebih berhati-hati dan sudah belajar makna tanggung jawab. Kita melihat segala sesuatu nyaris seperti gelas yang mudah pecah. Akan kita perlakukan dengan hati-hati.
Tetapi bukan itu yang banyak dilakukan remaja kita hari ini. Bagi sebagian dari mereka mencium pipi lawan jenis adalah hal yang jamak. Tidak mesti dengan pacar, dengan kawan pun bisa demikian. Begitu pula berboncengan naik motor dengan posisi tubuh perempuan yang menempel pada punggung lelaki, juga sudah dipandang biasa.
Remaja kita dengan kenaifannya tidak sadar bahwa setiap sentuhan kulit dengan lawan jenis apalagi dengan orang yang mereka cintai akan menimbulkan rangsangan pada sensor kelamin mereka. Akan muncul keinginan untuk lebih dekat dan intim lagi bersama pacar mereka.
Sampai di sini saya ingin bertanya kepada ayah bunda; apakah Anda berdua siap jika suatu ketika memergoki buah hati Anda berciuman dengan pacar mereka? Atau pacar mereka sedang meremas tubuh anak gadis Anda? Ayahbunda rela melihat semua itu?
Ya, mungkin ada remaja lelaki atau perempuan baik-baik yang juga berpacaran. Mereka mungkin hanya sekedar ngobrol saat berduaan, tetapi bukankah juga selalu ada remaja lelaki yang suka memanfaatkan kepolosan anak gadis Anda? Atau ada remaja perempuan yang nakal dan menggoda anak lelaki Anda yang baik-baik?
Ketika saya SMP, ada kawan saya yang merasa girang ketika bisa menyentuh buah dada teman perempuannya. Dan itu ia ceritakan di hadapan kami, kawan-kawannya. Bayangkan jika ayah bunda yang mendengar cerita itu, apa tanggapan ayah bunda?
Apakah perlu saya ceritakan bahwa pada hari ini pornografi begitu deras mencuci otak sebagian remaja-remaja kita? Lalu mereka berpikir bahwa melakukan ciuman, cumbuan bahkan hubungan intim untuk kesenangan dan suka sama suka itu adalah boleh, dan tidak akan berdampak apa-apa bagi mereka.
Hamil? Hmm, seringkali lelaki yang telah menikah lebih cemas bila istri mereka hamil lagi, karena mereka belum siap untuk menambah anak. Tetapi tidak dengan remaja yang dengan segala kenaifannya lupa pelajaran biologi; bahwa sel telur yang dibuahi sel sperma berpeluang untuk membuat seorang perempuan hamil.
Tidak mudah mengingatkan sepasang remaja yang sedang dimabuk asmara agar tidak melakukan tindakan senonoh seperti itu. Kala diri sudah berduaan, posisi tubuh demikian dekat dalam jarak intim, suasana sepi yang mendukung, maka apa yang bisa menahan mereka untuk tidak berbuat seperti itu?
Atau ayah bunda ingin seperti orang tua di Amrik sana yang selalu membekali kondom untuk anak perempuan mereka saat dijemput pacar mereka untuk berkencan. “Don’t forget to use this, my Dear!” begitu pesan ibu mereka kepada anak gadisnya yang akan berpacaran. Anda tega melakukan itu pada anak-anak gadis Anda?
Itu yang pertama. Kedua, saya tidak yakin Anda, siap ketika mengetahui anak gadis Anda dihamili pacarnya. Atau anak lelaki Anda menghamili anak gadis orang. Saya teringat ketika sekolah dulu, di warung nasi dekat sekolah, seorang ibu marah-marah tidak terima anak lelakinya dikeluarkan dari sekolah karena menghamili pacarnya yang juga masih satu sekolah.
Padahal yang menghamili adalah anak lelakinya, tetapi pihak keluarga lelaki juga yang marah-marah. Begitulah buntut dari sebuah hubungan di luar pernikahan, tak ada orang tua yang terima anak mereka mengalami kejadian seperti itu. Semua orang tua merasa jadi korban; orang tua si perempuan, juga orang tua si lelaki.
Ketiga, sebelum ayah bunda melepas anak remaja berpacaran, pernahkah berhitung bahwa sebenarnya Anda berdua tengah mengirim anak remaja Anda dalam perjudian nasib yang besar? Bila sampai hamil atau menghamili bukankah itu berarti aib bagi keluarga dan juga mereka?
Saya jadi teringat kisah seorang mahasiswi yang kuliah di kampus negeri ternama di Jakarta, manis, pintar dan berkerudung. Baru kuliah tingkat awal tetapi harus mengakhiri perkuliahannya karena hubungan dengan kekasihnya. Padahal ia sudah disukai dosen-dosennya, dan dipercaya untuk memberi privat pelajaran pada beberapa siswa sekolah. Singkat kata, masa depannya cerah sampai badai kehidupan itu datang.
Ketika keluarganya mengetahui kehamilannya, ibunya langsung terkena serangan jantung dan masuk rumah sakit. Dengan emosi meluap dan banjir air mata (biasanya akan begitu), sang mahasiswi mengumpat pacarnya yang hanya buruh kasar, “Puas kamu merusak keluarga dan masa depan saya?!!”
No. Bukan hanya sang lelaki yang merusak masa depan gadis berprestasi itu, tetapi ia sendiri dan ya tentu saja kedua orang tuanya. Semua pihak harus sadar bahwa pacaran adalah perjudian besar masa depan seorang pemuda dan sebuah keluarga. Masih untung bila mereka mau menikah. Kadangkala ada saja yang menolak untuk menikah dan dinikahkan.
Please, janganlah menjadi orang tua yang sok polos melihat pergaulan remaja hari ini. Tahun 80-an di zaman saya remaja saja, cerita-cerita porno dan film porno sudah mudah didapatkan. Novel stensilan yang isinya bisa membuat birahi mendidih bisa didapat dari tangan ke tangan anak sekolah. Itu sudah ampuh membuat remaja 80-an melakukan hubungan intim semasa berpacaran.
Ketika saya SMP, ada kawan berbisik-bisik kalau si fulan pernah ‘begituan’ dengan fulanah. Mereka semua teman-teman sekolah saya. Atau saya juga melihat di depan mata kepala sendiri kawan-kawan saya yang berpacaran tidak sungkan memperlihatkan keintiman mereka seperti cowok memangku cewek. Bohong kalau dikatakan tidak berpengaruh apa-apa pada libido seksual mereka.
Maka tolong ceritakan garansi ayah bunda pada saya kalau anak Anda ketika berpacaran akan baik-baik saja. Apakah ayah bunda tahu kegiatan mereka setelah pulang malam dari jalan-jalan saat berpacaran?
Pacaran adalah perjudian besar. Siapkah ayah bunda mendapati anak gadis kesayangan merintih menangis karena dilecehkan kehormatannya oleh sang pacar? Atau menanggung kehamilan akibat hubungan intim saat berpacaran?
Anak lelaki yang dibiarkan berpacaran sebenarnya sedang dilatih oleh kedua orang tuanya untuk merendahkan kedudukan perempuan di hadapannya. Karena dalam berpacaran seorang lelaki bisa kapan saja memutuskan pacarnya, toh tak ada komitmen apapun. Ketika seorang anak lelaki meraba-raba tubuh pacarnya, apakah kedua orang tuanya peduli? Kalau pun peduli toh mereka tidak tahu.
Saya ingin sekali mengeluarkan satu dua ayat Al-Qur'an atau hadis yang saya tahu tentang hal ini. Tetapi saya rasa sementara cukup. Semoga fakta dan cerita yang saya sampaikan di sini bisa menggugah ayah bunda sekalian untuk tidak gegabah mengizinkan anak-anak remajanya berpacaran.
Yakinlah jodoh itu di tangan Allah. Tugas manusia adalah berikhtiar dengan cara yang baik, bukan dengan cara merendakah diri sendiri dan orang lain. Nabi kita Muhammad SAW. juga menikah tanpa berpacaran terlebih dahulu. Rumah tangganya pun langgeng. Sedangkan banyak orang pacaran berbulan-bulan bahkan menahun tetapi kemudian bubar begitu saja. Masih untung tidak menimbulkan prahara.
Pikirkanlah baik-baik bila ingin mengizinkan putra-putri Anda berpacaran. Sungguh, itu bukan langkah yang bijak bagi orang tua. Bila Anda masih juga tak percaya, kali lain akan saya sampaikan ayat Al-Quran dan hadis yang membahasnya. Sementara cukup sekian.
Oleh: Ustaz Iwan Januar
Pakar Parenting Islam
0 Komentar