Topswara.com -- Dakwah sejatinya bukan hanya tugas dan kewajiban para ulama, kiai, atau ustaz saja. Dakwah adalah kewajiban setiap muslim. Oleh karena itu, dakwah seharusnya menjadi pilihan hidup setiap orang yang mengaku beragama Islam.
Sayangnya, realitas tidak menunjukkan demikian. Di tengah pemahaman kebanyakan kaum Muslim yang minim, ditambah dengan dunia yang makin materialistis dan pragmatis, dakwah bukanlah pilihan populer.
Tidak sedikit dai, mubalig, atau aktivis dakwah yang mulai kehilangan orientasi hidup. Dakwah yang mereka lakukan tidak lagi bernilai ukhrawi, tetapi sudah sarat dengan kepentingan duniawi. Tidak kalah menyedihkan, karena begitu beratnya tekanan hidup, kadang dakwah pun dinomorduakan, bahkan ditinggalkan.
Dakwah dan Kita
Dakwah adalah perintah yang diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepada kita, baik sebagai pribadi, jemaah, ataupun negara. Allah SWT. berfirman, “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk seluruh umat manusia, maka kalian harus memerintahkan kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, serta beriman kepada Allah SWT.” (QS Ali ‘Imran: 110)
Ayat ini berisi madh (pujian) kepada umat Rasulullah. Al-‘Allamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz II, menyatakan, jika pujian (madh) tersebut berdampak pada tegak dan tidaknya hukum syariat, maka pujian (madh) ini mempunyai konotasi wajib.
Pujian yang dialamatkan oleh Allah kepada umat ini, yang dipuji sebagai umat terbaik (khayra ummah) terkait dengan aktivitas mereka, yaitu amar makruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah. Kita tahu, ketiganya merupakan pilar tegak dan tidaknya hukum Allah. Karena itu, ayat ini bukan hanya berisi pujian (madh), tetapi juga perintah tentang kewajiban dakwah.
Ini diperkuat oleh sabda Nabi SAW. yang menyatakan, “Siapa saja di antara kalian yang menyaksikan kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Itu merupakan selemah-lemah iman.” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibn Majah dari Abu Said al-Khudri)
Selain tuntutan keimanan dan syariat, sebagaimana yang dinyatakan di atas, Allah mengingatkan, “Takutlah kalian terhadap fitnah yang tidak hanya akan menimpa orang zalim di antara kalian saja, tetapi juga orang yang tidak zalim.” (QS al-Anfal [8]: 25)
Fitnah ditimbulkan oleh orang zalim karena kemaksiatan yang mereka lakukan. Pada saat seperti itu, kewajiban dakwah amar makruf nahi mungkar memanggil kita. Panggilan ini berlaku untuk pribadi, jemaah, dan negara karena seruan (khithab)-nya umum. Bahkan, di sana disertai ancaman, bahwa jika kita tidak melakukan apa pun untuk mengubah kemaksiatan tersebut, maka kita pun akan terkena dampaknya meski kita tidak ikut melakukannya.
Inilah kondisi yang dialami oleh umat Islam saat ini. Di negeri yang penduduknya mayoritas Muslim dan kekayaan alam negerinya luar biasa ini, ternyata rakyatnya hidup miskin. Mereka semua menjadi korban dari kejahatan yang dilakukan oleh para penguasa boneka antek negara-negara penjajah.
Kesalahan mereka mungkin hanya satu, karena diam dan tidak berjuang untuk menghentikan kejahatan ini. Akibatnya, kondisi ini terus-menerus mendera mereka. Realitas ini menjadi bukti yang sahih, bahwa dakwah ini bukan hanya tuntutan keimanan dan kewajiban syariat, tetapi juga tanggung jawab kemanusiaan yang harus dipikul setiap orang.
Dakwah Adalah Prioritas dan Pilihan Hidup
Dakwah seharusnya menjadi mainstream (arus utama) hidup kita. Adapun yang lain mengikuti arus utama ini. Itulah mengapa, ketika Nabi saw. mendapatkan wahyu pertama, surat al-‘Alaq, beliau langsung menyatakan kepada Khadijah, “La rahata ba’da al-yawma, ya Khadijah. (Tidak ada lagi waktu berleha-leha setelah hari ini, wahai Khadijah).” Dalam riwayat lain dinyatakan, “Qad dha’a waqtu an-nawm, ya Khadijah (Waktu tidur telah hilang, wahai Khadijah).” Ini menunjukkan, bahwa dakwah telah menjadi prioritas hidup Nabi SAW. hingga menyita seluruh waktu beliau.
Begitu pun, orientasi hidup seorang muslim seharusnya adalah akhirat. Allah telah memerintahkan, “Carilah apa yang Allah berikan kepada dirimu untuk negeri akhirat.” (QS al-Qashash: 77)
Juga firman Allah, “Akhirat itu lebih baik bagi dirimu ketimbang dunia.” (QS ad-Dhuha: 4)
Pada saat yang sama, karena kita hidup di dunia, maka kehidupan ini juga tidak boleh diabaikan, meski itu hanya alat atau sarana (al-wasail) menuju ke akhirat yang abadi dan lebih baik.
Dari sini bisa disimpulkan, bahwa ada arus utama (mainstream) dan bukan. Arus utama hidup kita adalah akhirat dan semuanya harus diarahkan ke sana. Yang lain harus mengikuti arus utama ini. Inilah yang menentukan ke mana arah hidup kita.
Artinya, semua urusan kehidupan kita yang lain, seperti bisnis, materi maupun yang lain menyesuaikan dengan kehidupan kita sebagai pengemban dakwah. Bukan sebaliknya. Seorang pengemban dakwah boleh saja mempunyai bisnis atau kehidupan pribadi, tetapi itu semua tidak menghalangi apalagi memalingkan dirinya dari orientasi utama hidupnya, akhirat.
Dakwah dan Persoalan Hidup
Semua orang mempunyai masalah dengan kadar dan tingkatan yang berbeda. Masalahnya justru terletak pada bagaimana sikap kita dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah. Ketika kita menentukan pilihan hidup untuk berdakwah dan akhirat menjadi orientasi hidup kita, maka setiap konsekuensi yang menghampiri kehidupan kita harus bisa kita sikapi dengan benar.
Misalnya, kadang kita mengalami persoalan ekonomi. Sebenarnya tidak akan jadi masalah, jika kita bisa menyikapinya dengan benar; tidak mengeluh, tidak meminjam kepada orang lain tetapi tidak jelas kapan bayarnya, tidak meminta-minta atau iri dengan nikmat yang Allah berikan kepada orang lain.
Pada saat yang sama, kita terus berusaha untuk bisa hidup dengan kedua tangan dan kaki kita. Dengan cara seperti itu, Allah pasti akan memuliakan kita, meski secara materi kita kekurangan. Rasulullah SAW. bersabda, “Siapa saja yang berusaha menjaga kehormatan dirinya, dengan tidak meminta-minta, maka Allah akan memuliakannya.”
Selain itu, kita harus yakin, bahwa rezeki di tangan Allah. Kita harus yakin, bahwa kita tidak mati, sebelum rezeki kita sempurna. Kita harus yakin, bahwa setiap dari kita, semuanya sudah dijamin rezekinya oleh Allah Taala. Kita juga harus yakin, bahwa Allah memberikan anugerah-Nya yang berbeda-beda kepada kita, sesuai dengan kehendak-Nya. Kita harus yakin, bahwa dengan menolong Allah, pasti Allah akan menolong kita. Inilah faktor keyakinan. Keyakinan inilah yang membentuk sikap kita dan membuat kita bisa bertahan. Selain itu, kita tetap harus bersabar dengan qada Allah.
Memantapkan Diri Menjadi Pengemban Dakwah
Sesungguhnya menjadi pengemban dakwah adalah pilihan terbaik. Oleh karena itu, perteballah keyakinan, tetap fokus pada akhirat sebagai orientasi hidup, dan senantiasa memupuk nafsiah dengan menghadirkan kehidupan Nabi SAW. dan para Sahabat dalam kehidupanya.
Di sinilah perlunya kita membaca shirah, bukan hanya produk jadinya. Kita membutuhkan shirah seolah kita terlibat dalam kehidupan mereka, menyelami dialog mereka, mempelajari bagaimana pergolakan batin mereka, suka dan duka mereka ketika berdakwah, hidup berkeluarga, dan sebagainya.
Ini penting, agar kita tetap mempunyai pegangan dan tidak seolah-olah kita hidup sendiri, kemudian merasa seolah-olah hanya kita yang mempunyai problem seperti itu. Dengan begitu, kita akan merasa lebih tenang dan bijak dalam menyikapi dan memenej masalah yang kita hadapi.
Teruslah belajar dan memperbaiki diri, termasuk terus-menerus membaca; mendengar dan merenungkan Al-Qur’an, hadis Nabi SAW., serta perjalanan hidup Nabi SAW. dan para sahabat, serta orang-orang shalih.
Sebagai contoh, bacalah kitab Musnad Fatimah yang ditulis oleh Imam al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi. Melalui kitab ini, kita akan merasakan bagaimana onak dan duri kehidupan Nabi SAW., Fatimah dan ‘Ali bin Abi Thalib; seolah kita hidup di tengah-tengah mereka. Tanpa terasa, kita akan berderai air mata, pada saat yang sama kita bisa menginsyafi sikap kita. Betapa manusia terbaik seperti mereka hidup begitu sederhana, bersahaja, tetapi jangan ditanya bagaimana kedudukan mereka di mata Allah Taala.
Kisah-kisah mereka selalu menginspirasi kita. Selain kisah-kisah hidup mereka, kita bisa menghapal ungkapan-ungkapan pendek yang penuh hikmah. Misalnya, ungkapan al-Bushiri dalam Qasidah Burdah-nya, mengatakan, “Kam hasanat ladzdzatan li al-mar’i qatilatan (Betapa banyak kebaikan itu memang menyenangkan, tetapi justru bisa menjadi pembunuh bagi seseorang).” Istri yang cantik, harta yang melimpah, jabatan yang tinggi, termasuk nama beken adalah kebaikan yang menyenangkan, tetapi ini bisa menjadi “pembunuh” bagi kita jika kita kehilangan orientasi. Semuanya itu bisa membuat kita terlena dan meninggalkan dakwah.
Demikian juga, ketika kita tengah ditimpa musibah, kita sering merasa lemah. Kita pun sering meratapi nasib kita. Di saat seperti itu, ungkapan Wazir ‘Ali bin Musa al-Jarrah, tepat untuk kita renungkan, “Musibatun qad wajaba ajruha khayrun min ni’matin la yu’adda syukruha (Musibah yang pahalanya sudah pasti lebih baik, ketimbang nikmat yang tidak disyukuri).”
Kita pun tersadarkan, bahwa nasib buruk yang kita alami justru lebih baik, karena pahalanya mengalir kepada kita. Kita pun tidak akan ditanya tentang musibah itu. Sebaliknya, nikmat yang kita terima, justru belum tentu menyelamatkan kita, karena itu akan dipersoalkan oleh Allah Taala. Wallahualam.
Oleh: K.H. Hafidz Abdurrahman, MA
Khadim Ma'had Syaraful Haramain
0 Komentar