Topswara.com -- Pada Selasa (6/12) DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) telah mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kebijakan itu akan berlaku dalam 3 tahun setelah disahkan bagi warga negara Indonesia, juga warga asing yang menetap di tanah air serta turis asing.
Namun, bagi pengkritiknya UU tersebut sangat kontroversial karena salah satu isinya memidanakan pelaku yang berhubungan seks di luar nikah. Mereka berpikir itu merusak hak asasi manusia, karena melarang pasangan yang belum menikah untuk hidup bersama dan juga membatasi kebebasan politik dan agama. (bbcnews.indonesia).
Selain itu, pengesahan KUHP menjadi sorotan di beberapa media asing, salah satunya Australia. Hal itu diberitakan secara luas di negera kangguru tersebut, dimana di sejumlah surat kabar menjulukinya “bali bonk ban” atau “larangan seks di Bali.”
Pasal yang berisi larangan seks di luar nikah ini dikhawatirkan pula oleh pelaku usaha dan wisata. Mereka menganggap pasal ini mengancam keberlangsungan pariwisata dan investasi di Indonesia saat ini. Hal itu karena perekonomian indonesia bergantung pada Australia seperti diketahui bahwa mereka penyumbang terbanyak wisatawan di tanah air.
Sangat jelas, undang-undang baru hasil karya akal manusia ini sarat kontroversi, bukan hanya datang dari pelaku liberal tetapi juga pelaku usaha, bahkan memunculkan narasi menyesatkan.
Di sisi lain, sistem ini juga menunjukkan begitu sekulernya cara berpikir para penguasa, karena mereka memasukkan perilaku zina dalam delik aduan dan membatasi pelapor hanya untuk keluarga dekat. Secara tidak langsung, negara berarti memperbolehkan dan mentolerir adanya perzinaan.
Terciptanya masyarakat bersih tanpa zina tampaknya masih jauh dari harapan. Alih-alih memberantas, para penguasa malah mengesahkan undang-undang sekuler liberal. Jika pasal larangan seks di luar nikah tidak direvisi, itu hanya akan memunculkan praktik zina semakin legal bahkan dari sebelum adanya KUHP ini.
Jika dicermati, pengesahan KUHP sama sekali tak pernah mengarah pada perubahan hak asasi. Pasalnya, semua rancangan ini masih tegak di atas paradigma yang sama, yakni sekularisme. Sementara dari sisi substansi, undang-undang ini tak memiliki arah yang jelas hingga terus mengalami distorsi dan bahkan cenderung setuju pada prinsip-prinsip kebebasan.
Tampak jelas bahwa masyarakat liberal yang mengadopsi budaya Barat merasa keberatan dengan larangan hubungan di luar nikah, sedangkan masyarakat Muslim yang menganut aturan agamanya menolak praktik ini termasuk isi KUHP dengan pasal karetnya.
Akan tetapi, praktik ini sulit diberantas. Banyaknya benturan kepentingan yang lahir dari persepsi berbeda tentang manfaat-madarat sehingga membuat masyarakat larut dalam polemik berkepanjangan mengenai batasan persoalan tersebut.
Selain itu, tak dipungkiri saat ini Indonesia tengah berada di bawah cengkraman asing. Hutang yang menumpuk dan jeratan berbagai perjanjian internasional telah membuat posisi Indonesia seperti makan buah simalakama. Bahkan bangsa ini seolah tak punya pilihan untuk menentukan arah kebijakan berbagai aspek kehidupannya sendiri.
Alhasil, saat ini budaya asing dengan mudahnya masuk dengan segala macam bentuknya, salah satunya seks di luar nikah ini. Gempuran mereka tampak jelas semakin menuai hasil. Perilaku, pemikiran, gaya hidup dan budaya sekuler semakin kuat ditunjukkan oleh sebagian umat Muslim. Semua sikap itu juga dipertontonkan di media sosial. Itu sebabnya, asing sangat paham cara untuk menyebarluaskan secara baik dan seefektif mungkin.
Terlihat jelas bahwa meluasnya budaya asing saat ini adalah akibat dari penerapan sistem sekuler. Mereka meniscayakan kebebasan tanpa batas. Ideologi ini telah mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan yang rusak dan membawa kemadaratan. Wajar jika akhirnya banyak kasus perzinaan menjadi hal yang biasa. Itulah gambaran kehidupan sekuler yang telah benar-benar memenuhi kehidupan umat Muslim.
Berbeda halnya dengan sistem Islam yang tegak di atas landasan akidah yang shahih. Sistem ini memiliki seperangkat aturan yang lengkap dan solutif serta mampu mencegah segala kerusakan dan ketidakadilan. Semua itu karena sistem ini terlahir dari Sang Khalik yakni Allah SWT. Aturan-aturan yang Allah buat senantiasa sesuai dengan fitrah, memuaskan akal dan menentramkan jiwa manusia, tanpa kecuali.
Karenanya untuk mencegah meluasnya perilaku kemaksiatan seperti aktivitas mengumbar aurat, pornografi, dan seks bebas, maka tak ada solusi lain selain kembali pada sistem Islam. Sistem ini telah mengatur sedemikian rinci hubungan pergaulan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, yang dengannya kebersihan dan tujuan-tujuan mulia yang bisa dibangun melalui keduanya bisa terjaga.
Adapun aturan tersebut yaitu pertama, mengatur mengenai batasan aurat dan kewajiban menundukkan pandangan. Kedua, Islam melarang eksploitasi seksual, tabarujj, larangan ekspos masalah seksual. Ketiga, larangan berkhalwat. Khalwat adalah aktivitas berdua-duaan anatara laki-laki dan wanita ditempat yang tidak memungkinkan bagi oranglain untuk bergabung kecuali dengan izinnya.
Keempat, melarang berzina dan mendekati zina. Dalam hal ini, Islam secara tegas melarang dan memberikan sanksi yang sangat berat kepada pelakunya. Allah SWT. berfirman: “Janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (TQS. Al-Isra' : 32)
Demikianlah sebagian aturan Allah SWT. terkait dengan sistem pergaulan pria wanita, yang jika diterapkan akan meminimalisir munculnya berbagai kemaksiatan di masyarakat, termasuk seks bebas.
Hanya saja, penerapan aturan sosial ini tidak mungkin efektif kecuali bersamaan dengan penerapan aturan-aturan Islam lainnya (politik, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan) secara utuh oleh negara yang tegak diatas asas Islam. Itu karena sistem ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Negara pelaksana syariatlah yang akan mampu menerapkan sistem sanksi Islam sebagai metode untuk menjaga tegaknya hukum sekaligus mencegah terjadinya pelanggaran terhadap syariah.
Oleh karena itu, mewujudkan masyarakat yang ideal dan bersih harus dimulai dengan proses penyadaran umat akan ideologi Islam. Dalam situasi ini, aktivitas dakwah dan budaya amar makruf nahi mungkar harus terus dihidupkan agar akidah masyarakat senantisa terjaga. Dari sinilah perjuangn hadirnya institusi Islam itu di mulai sebagaimana fikrah dan thariqah Rasulullah. Wallahu a’lam bii ash-Shawab.
Oleh: Nurul Aini Najibah
Aktivis Dakwah
0 Komentar