Topswara.com -- Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2022 jatuh pada tanggal 9 Desember dan mengangkat tema "Indonesia Pulih Bersatu Lawan Korupsi". Tema tersebut menggambarkan semangat bangsa ini memerangi korupsi dengan memperkuat peran serta seluruh elemen masyarakat.
Peringatan Hakordia 2022 menjadi catatan penting tersendiri bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan negara ini. Pasalnya, kepercayaan publik terhadap institusi KPK dan penguasa anjlok. Hal tersebut diduga tidak terlepas dari perilaku insan di dalamnya. Di mana saat ini jumlah kasus tindak pidana korupsi (tipikor) kian tinggi dan tak sedikit berasal dari lembaga-lembaga pemerintahan.
Dilansir dari laman Badan Pusat Statistik (BPU) tercatat Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia 2022 sebesar 3,93 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih tinggi dibandingkan capaian 2021 (3,88). Menurut laporan KPK, sejak awal tahun sampai 20 Oktober 2022 ada 31 pelaku tindak pidana korupsi yang berpangkat eselon I/II/III. Sedangkan yang berstatus sebagai walikota/bupati/wakilnya dengan jumlah 18 orang dan pihak swasta 17 orang.
Kemudian koruptor dari anggota DPR/DPRD ada empat orang, kepala kementerian/lembaga (K/L) 2 orang, hakim, jaksa, dan pengacara masing-masing 1 orang, dan 4 orang dari latar belakang lainnya. Disisi lain, sejak awal tahun sampai 20 Oktober 2022 ada 79 kasus tindak pidana korupsi yang telah ditangani KPK. Mayoritasnya adalah penyuapan 63 kasus, diikuti korupsi pengadaan barang/jasa 11 kasus, tindak pidana pencucian uang 4 kasus, dan pungutan/pemerasan 1 kasus.
Apabila kita menelisik faktor yang menjadi pemicu mengguritanya kasus tipikor di negeri ini salah satunya adalah akibat dari persoalan pengawasan dan penegakan hukum yang tidak tegas. Ketidaktegasan penguasa dalam memberantas korupsi tampak pada pengesahan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Di mana salah satu pasal yang dianggap bermasalah adalah hukuman pidana koruptor. Terdapat pemangkasan minimal hukuman sebagaimana tercantum Pada Pasal 603 misalnya, pelaku tindak pidana korupsi dipidana paling singkat dua tahun. Padahal, di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), pelaku kejahatan yang sama dihukum minimal empat tahun penjara.
Dalam pasal lain, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap hanya diancam pidana minimal satu tahun dan maksimal enam tahun penjara, serta ancaman denda minimal Rp 50 juta dan maksimal Rp 500 juta.
Adapun di dalam dalam UU Tipikor, pegawai negeri atau pejabat negara yang menyalahgunakan wewenang, seperti menerima suap, diganjar hukum pidana minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun, serta diancam denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.
Hakikatnya persoalan tersebut tidak terlepas dari pengaruh penerapan sistem kehidupan di negara ini. Dimana memberikan peluang untuk mengguritanya berbagai kejatan termasuk tindak korupsi.
Sistem kehidupan kita di-backup sistem demokrasi sekuler yang memisahkan nilai ruhani dengan kehidupan bernegara. Terkait dengan perspektif, orang-orang di negara ini memiliki gaya hidup yang hedonis, mengejar kesenangan duniawi tanpa memperhatikan nilai-nilai apakah melanggar hak orang lain, tanpa memperhatikan halal-haram.
Di negara ini korupsi sudah menjadi bagian dari kejahatan politik dan dalam konteks kejahatan politik pasti dilakukan secara terstruktur, sistematis, masif, dan pada titik tertentu juga brutal. Seperti diketahui, sistem politik saat ini yaitu demokrasi liberal, merupakan sistem politik yang sangat high-cost. Bahkan untuk menjadi penguasa di sistem demokrasi ini dibutuhkan biaya atau anggaran hingga miliaran rupiah.
Karena ongkos politik yang mahal tersebut, maka pada akhirnya membuka jalan bagi para pemodal untuk masuk dalam kontestasi politik. Masing-masing menanamkan modalnya kepada para calon penguasa, dan tentunya mengharapkan ‘kembalian’ berupa keuntungan lainnya.
Itulah yang menjadi pintu masuknya tindak kejahatan korupsi dengan mencari sumber-sumber yang memungkinkan bisa digunakan membalas budi atas investasi yang dikeluarkan para investor.
Demi memperlancar usaha balas budi tersebut juga dapat dilakukan dengan mengotak-atik legalisasi hukum yang memberi celah bagi melangengnya budaya korupsi termasuk melalui otak-atik KUHP tindak korupsi.
Maka itu, tidak akan bisa terbebas dari penyakit akut ataupun mengakhiri gurita korupsi, kecuali dengan jalan meninggalkan sistem politik tersebut dan menggantinya dengan sistem alternatif lain. Sebuah sistem yang bisa dipastikan pelaksanaan hukum dan perundangan akan bebas dari intervensi kapital yang cenderung memperjualbelikan hukum.
Sebuah kekuasaan yang dijalankan terikat dengan adanya ikatan kesadaran hubungan dengan Tuhan Semesta Alam. Sehingga menjadikan kepemimpinan dan kekuasaan sebagai sebuah amanah. Yang tanggung jawab itu tidak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Pencipta Alam ini.
Oleh: Dwi Sri Utami, S.Pd
Guru dan Aktivis Politik Islam
0 Komentar