Topswara.com -- Menjelang akhir tahun seperti biasa umat Kristiani merayakan hari rayanya diikuti dengan tahun baru dan liburan sekolah. Saat seperti ini dimanfaatkan masyarakat untuk kumpul keluarga dan bersilaturahmi. Momen ini pula yang biasanya membuat kebutuhan pangan meningkat karena kegiatan konsumsi turut bertambah.
Kondisi seperti ini membuat pemerintah harus menambah stok pangan berupa bahan pokok seperti beras, daging, telur dan sembako lainnya. Tujuannya agar saat perayaan Natal dan tahun baru nanti masyarakat dapat menjalaninya dengan aman tanpa khawatir tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan pada momen tersebut.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyebutkan, berdasarkan data dari neraca pangan strategis Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan (DKPP), bahwa Jawa Barat mengalami surplus untuk sebelas komoditas strategis di 27 kabupaten/kota. Kesebelas komoditas tersebut adalah beras, jagung, bawang merah, daging ayam, daging sapi, telur, gula pasir, cabai besar, cabai rawit, minyak goreng dan bawang putih. (Pojokbandung, 8 Desember 2022)
Sayangnya, stok pangan yang berlimpah itu tidak dibarengi dengan harga yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Daging sapi misalnya mencapai harga diatas 130 ribu rupiah/kg. Demikian pula harga daging ayam, telur, cabai, tomat, beras dan bahan pangan lainnya yang terus merangkak naik.
Belum lagi distribusi pangan yang tidak merata seperti beras, sehingga ada beberapa kabupaten/kota yang mengalami defisit stok beras, di antaranya; Kabupaten Bandung, Sukabumi, Cianjur dan Kota Cimahi. Distribusi yang tidak merata ini dapat mengakibatkan ketidakstabilan harga dan memungkinkan terjadinya penumpukan barang dan monopoli harga bagi saluran distribusi.
Jika ditelisik lebih mendalam stok pangan (terutama beras) yang melimpah sebagian besar berasal dari impor. Pertanyaannya mengapa harus mengimpor bahan pangan? Padahal negeri ini sangat luas dan subur. Sumber daya manusianya juga sangat melimpah yang bisa mengelola lahan pertanian hingga menghasilkan produksi pangan yang berkualitas.
Semua itu, tidak lain dampak dari sistem tata kelola pertanian yang buruk akibat diterapkannya ideologi kapitalisme. Sistem ini meniscayakan minimnya peran penguasa dalam mengurus hajat hidup rakyatnya di semua lini termasuk sektor pengadaan bahan pangan. Padahal pangan adalah kebutuhan pokok sehari-hari yang harusnya dijamin ketersediaannya sepanjang tahun dengan harga yang terjangkau oleh rakyat.
Namun sistem kapitalisme menjadikan penguasa hanya berperan sebagai regulator yang mengeluarkan berbagai kebijakan untuk memuluskan jalan bagi para kapital yang bertindak sebagai operator. Sistem ini menjadikan para kapital inilah yang sejatinya menguasai dan mengatur jalur distribusi pangan mulai dari hulu ke hilir berbekal izin dari penguasa. Sementara pemerintah hanya mengurus faktor produksi saja.
Dalam rantai produksi para petani dihadapkan pada penguasaan lahan oleh para kapital, belum lagi harga bibit dan pupuk yang tinggi menyebabkan para petani kesulitan dalam menghasilkan produk pangan yang berkualitas. Sementara dalam rantai distribusi tengkulak dan kartel menguasai, memonopoli serta mengendalikan harga pasar.
Disinilah letak kegagalan penguasa dalam mengatur tata kelola pertanian mulai dari rantai produksi hingga distribusi yang berimbas pada pengendalian harga pangan oleh korporasi.
Jika para pemilik modal besar yang diberi wewenang untuk mendistribusikan bahan pangan maka yang akan mereka lakukan adalah berjual beli dengan rakyat. Karena prinsip dasar kapitalisme adalah mencari keuntungan berupa materi yang setinggi tingginya, akan tetapi minim memikirkan kondisi dan kepentingan rakyat.
Rakyat pun terpaksa berjuang sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri dengan harga yang sudah mereka tentukan. Alhasil, rakyat pun kian tercekik dengan harga kebutuhan yang terus naik.
Inilah bentuk nyata politik ekonomi neoliberalisme yang sangat meminimalisasi peran penguasa dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan termasuk pengadaan bahan-bahan kebutuhan pokok rakyat.
Semua sektor dikuasai oleh swasta melalui mekanisme pasar bebas. Maka siapapun yang memiliki modal maka dia bebas menentukan harga dan memonopoli pasar. Termasuk membuka kran impor sekalipun stok pangan lokal berlimpah.
Berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam memenuhi kebutuhan pokok rakyat dengan harga yang terjangkau adalah kewajiban penguasa dan tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta.
Negara akan memanfaatkan seluruh lahan pertanian yang ada dengan maksimal, baik milik negara ataupun individu. Tanah-tanah mati akan dihidupkan. Para petani dapat memperoleh bibit yang berkualitas serta pupuk dengan harga murah. Alat-alat pertanian diproduksi oleh negara dan dapat dibeli dengan harga terjangkau. Irigasi juga dibangun untuk mendukung produksi pangan yang baik.
Di samping itu rantai distribusi pun diurus sendiri oleh negara. Pasokan bahan makanan akan didistribusikan ke seluruh negeri sesuai dengan kebutuhannya secara merata. Pemerintah pun tidak akan mematok harga suatu barang. Harga diserahkan kepada pasar agar tidak menzalimi penjual maupun pembeli.
Di pasar-pasar akan ditempatkan beberapa orang Qadhi Hisbah yang bertugas memantau harga, tindak kecurangan dari takaran/timbangan ataupun penimbunan barang serta memastikan produk pangan yang dijual halal dan thayib. Jika terdapat hal-hal yang dilarang tersebut maka Qadhi Hisbah akan memberikan sanksi tegas kepada pedagang tersebut.
Pemerintah (khalifah) akan memastikan semua rantai produksi, distribusi dan perdagangan berjalan sesuai dengan syariat. Maka khalifah akan melarang apapun aktivitas perdagangan yang melanggar syariat. Itu karena rakyat adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan sampai ke akhirat. Seperti sabda Rasulullah saw. "Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat), dan dia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya." (HR. Muslim dan Ahmad).
Oleh karena itu dalam sistem pemerintahan Islam tidak akan ada gejolak harga pasar karena tingginya permintaan disebabkan momen-momen tertentu setiap tahunnya. Khalifah akan memastikan kestabilan harga dan menjamin ketersediaan bahan pangan dapat dijangkau seluruh rakyat tanpa kecuali.
Demikianlah jika sistem Islam diterapkan dalam kehidupan akan membawa kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Namun sistem ini akan hadir bila umat mau mengubah paradigma berpikirnya menjadi pola pikir Islam yang menyeluruh (kaffah). Wallahu a'lam bi ash shawab.
Oleh: Ummu Farizahrie
Sahabat Topswara
0 Komentar