Topswara.com -- Pakai seragam orange tangan di borgol, di sorot kamera bak artis ternama. Silih berganti cekrek-cekrek kamera. Adalah pemandangan yang biasa kita lihat di televisi bagi pejabat yang tengah tertangkap tangan karena mencuri uang negara. Tidak bikin jera, eh justru seakan-akan pada berlomba-lomba mengeruk uang rakyat. Na'udzubillah.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) tahun ini layak disikapi dengan rasa berkabung atas runtuhnya komitmen negara dan robohnya harapan masyarakat.
ICW kemudian menyoroti sejumlah aspek yang dinilai turut berkontribusi dalam meruntuhkan komitmen negara terkait pemberantasan korupsi. Salah satu aspek yang turut disorot ICW adalah tingginya angka korupsi di kalangan politisi.
"Berdasarkan data penindakan KPK, sepertiga pelaku korupsi yang diungkap selama 18 tahun terakhir berasal dari lingkup politik, baik legislatif (DPRD maupun DPR RI) dan kepala daerah dengan jumlah 496 orang," ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dikutip dari keterangan tertulisnya di laman resmi ICW, Minggu, 11 Desember 2022.
Akankah korupsi bisa hilang dengan peringatan seremonial tahunan? Saya rasa masyarakat bisa menilai, bahwa tingginya tingkat korupsi di Indonesia bukan hanya masalah human eror, tetapi sistem eror pemerintah yang diterapkan saat ini.
Berdasarkan data KPK, dari segi penindakan sudah ada 22 gubernur, 161 bupati/wali kota dan wakil, serta 297 pejabat eselon I hingga eselon III tersandung korupsi sejak 2004 hingga 2022. Khusus 2022 saja, KPK sudah menangkap 18 bupati/wali kota dan wakil serta 31 pejabat eselon I hingga eselon III.
Jika berdasarkan tindak pidana, total perkara penyuapan berada pada angka tertinggi 867 kasus selama 2004-2022. Sementara itu, KPK hanya mengungkap 27 kasus pungutan dan pemerasan. Khusus di 2022, angka kasus penyuapan tembus 63 kasus. Angka ini lebih dari 50 persen kasus yang ditangani KPK yang memegang 79 kasus. Sedangkan kasus pemerasan hanya 1 kasus yang dipegang KPK di 2022.
Sistem buatan manusia yang belum ada satu abad ini telah membuat kerusakan di bumi Allah. Manusia makin rakus dengan materi, terlebih para pejabat yang digaji tinggi tak cukup untuk mereka memuaskan hawa nafsunya. Selalu kurang, walaupun telah mendapat gaji dan tunjangan.
Sehingga kepercayaan rakyat kepada instansi pemerintah makin lemah. Apalagi RKUHP yang mengurangi hukuman bagi para koruptor telah disahkan, angin segar bagi mereka yang mendekam di penjara.
Akhirnya, hukuman tersebut tidak bikin jera bagi pelaku koruptor. KPK institusi pemerintah pun tak luput dari pelemahan wewenang dan operasi tangkap tangan.
Inilah fakta dan realita pejabat korup era kapitalisme. Hidup hedonis serba mewah tapi banyak yang melupakan amanah rakyat. Sungguh berbeda dengan Islam yang menutup pintu korupsi. Mengantisipasi peluang terjadinya korupsi dan memberikan hukum yang bikin jera.
Betapa takutnya saat itu ketika Umar bin Khattab melihat anaknya makan daging. Umar bin Abdul Aziz di marahi sang Khalifah alias bapak kandungnya sendiri. Sejak saat itu Umar bin Abdul Aziz lebih memilih makan-makanan yang lebih sederhana lagi dengan tanpa daging.
Karena didikan sang ayahnya kesederhanaan itulah melahirkan karakter yang benar-benar memikirkan umat. Tidak sekadar fisik semata seperti rambut putih dan dahi berkerut.
Akan tetapi dari kebijakan yang dilahirkan dari sistem Islam yang diterapkan kala itu benar-benar menjaga para pejabat dari sifat tamak dan rakus.
Oleh karenanya sudah sepatutnya umat Islam hari ini meneladani sistem pemerintahan yang nyata memberikan maslahat pada umat manusia seluruhnya dunia. Sehingga Islam rahmatan lil'alamin bisa kita rasakan, korupsi bisa dicegah bukan sekedar acara seremonial saja.
Oleh: Munamah
Analisis Mutiara Umat Institute
0 Komentar