Topswara.com -- Baru-baru ini jagat sosial media digemparkan oleh aksi sekelompok anak SMA yang menendang seorang nenek. Peristiwa biadab itu terjadi di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Kapolres Tapsel, AKBP Imam Zamroni, menyatakan bahwa sementara ini motif para pelaku ialah hanya iseng atau tidak sengaja. Mereka mengaku tidak ada niatan untuk melukai sang nenek (detik.com, 21/11/2022).
Tak berhenti disitu, aksi bullying di kalangan pelajar masih terus terjadi. Di Malang, seorang anak SD berusia 8 tahun dianiaya tujuh kakak kelasnya hingga koma. Ayah korban menyampaikan bahwa anaknya ditendang di bagian kepala dan dada hingga sesak napas. Kondisi sang anak semakin memburuk, kejang-kejang hingga tak sadarkan diri alias koma (detik.com, 24/11/2022).
Dua kasus ini hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus bullying yang makin marak terjadi di Indonesia. Para pelajar yang seharusnya menjadi pemimpin peradaban di masa depan dan tauladan bagi generasi setelahnya, justru semakin rusak.
Sebenarnya ada apa dengan generasi muda kita? Apakah sistem pendidikan kita saat ini telah salah arah hingga tak mampu mencetak generasi yang tak hanya cerdas dalam bidang akademik namun juga baik akhlaknya? Indonesia, negeri mayoritas Muslim. Mengapa kepribadian Islam tak lagi melekat dalam diri para pemudanya?
Menguak Borok Sistem Pendidikan Sekular Indonesia
Kasus bullying yang banyak terjadi seharusnya menyadarkan kita bahwa generasi muda Indonesia tengah mengalami krisis identitas. Mereka tak punya standar yang benar dan baku dalam menjalani kehidupan. Mereka latah. Kebebasan berperilaku yang saat ini memang seolah menjadi ‘tuntunan’ hidup pun mereka ikuti.
Parahnya lagi mereka digempur oleh sistem pendidikan yang berbasis sekular. Pendidikan negeri ini justru membentuk para pemudanya untuk mebebek pada peradaban rusak Barat dan apa-apa yang diarahkan oleh Barat melalui kaki tangannya.
Sekularisme bermakna memisahkan agama dari kehidupan. Agama tak boleh ikut campur dalam aktivitas publik. Ia hanya boleh dilakukan dalam ranah privasi saja. Seperti shalat, puasa, haji, dan zakat. We believe in God but He is not allowed to rule our life. Begitu kira-kira. Paradigma sekular inilah yang sedang diterapkan dalam sistem pendidikan kita.
Lihat saja, ketika mata pelajaran ilmu agama Islam hanya mendapatkan tempat 1 persen sekolah-sekolah negeri. Jangankan begitu, pemisahan antara sekolah negeri dan sekolah Islam (madrasah) pun sejatinya adalah program sekularisasi pendidikan. Bagaimana bisa dibedakan? Menuntut ilmu agama hukumnya wajib bagi setiap individu.
Seharusnya pendidikan agama Islam mendapatkan porsi yang sangat besar dalam penyelenggaraan pendidikan Indonesia serta menjadi perhatian utama negara.
Kemudian yang lebih parah, kurikulum madrasah pun ‘diobok-obok’. Pada akhir 2019 lalu, Kementerian Agama RI resmi memindahkan materi khilafah dan jihad, yang awalnya termasuk dalam pelajaran fikih, menjadi pelajaran sejarah (kumparan.com, 9/12/2019).
Fikih, seperti yang kita tahu, ia memuat ilmu tentang hukum-hukum syariat. Dari ilmu inilah kita mengetahui apa saja kewajiban yang harus kita lakukan sebagai seorang Muslim. Apabila ia direduksi atau bahkan dihilangkan dari kehidupan umat Islam, maka hancurlah umat ini sebab mereka tak paham Islam dan tak menjadikan Islam sebagai standar hidup.
Khilafah, yang dalam fikih hukumnya wajib untuk ditegakkan, kini hanya menjadi romantisme sejarah saja yang tak perlu diperjuangkan kembali. Pun dengan jihad, ia hanya menjadi cerita dongeng.
Inilah potret madrasah yang semakin hari semakin tergerus identitas Islamnya. Apa kabar dengan sekolah umum yang pendidikan agama hanya diajarkan sepekan sekali? Itupun hanya berkutat pada bab thaharah, akhlak, kisah Nabi dan sahabat tanpa ada penguatan akidah di dalamnya.
Maka tak heran pendidikan saat ini melahirkan intelektual yang memang cerdas dalam ilmu dunia, namun rusak akhlak dan kepribadiannya. Bullying, yang kian hari kian marak terjadi, semakin membuka borok sistem pendidikan sekular Indonesia.
Seseorang akan berperilaku sesuai dengan apa yang ia ‘konsumsi’. Apa yang ia baca, dan tonton, itulah yang akan membentuk pemikirannya. Para pemuda digempur dengan tsaqafah Barat yang memuja kebebasan berperilaku demi meraih apa yang diinginkan.
Hal ini dengan mudahnya diterima pemuda sebab akidah dan pemikiran mereka pun berada dalam tataran terendah sepanjang sejarah umat Islam. Standar syariat telah ditinggalkan. Pengawasan Allah tak dijadikan sebagai alasan untuk tidak bermaksiat dan untuk berbuat taat.
Bullying, free sex, dan sebagainya seolah menjadi biasa di kalangan pelajar. Kondisi ini diperparah dengan adanya agenda deradikalisasi yang memonsterisasi ajaran Islam dan menjadikan umat semakin moderat. Ujung dari agenda ini memang menjadikan sekularisme tertanam sempurna dalam tubuh umat.
Sedih untuk disampaikan tetapi inilah fakta bahwa kini umat Islam jatuh pada jurang kehinaan yang amat dalam dan Barat serta musuh-musuh Islam lainnya sedang mentertawakannya.
Islam, Mencetak Generasi Emas
Tinta emas sejarah dengan indahnya membuktikan bahwa umat Islam pada masa kejayaannya, yakni dimana umat Islam masih bersatu dan menggunakan sistem Islam sebagai aturan hidup dalam naungan khilafah islamiah, telah mencetak para ilmuwan. Ilmuwan-ilmuwan itu tak hanya cerdas dalam ilmu dunia namun mereka juga ahli dalam ilmu agama.
Dalam pandangan Islam, tujuan pendidikan ialah membentuk syakhsiyyah islamiah, yakni kepribadian Islam. Para pemuda dicetak memiliki pola pikir dan pola sikap Islam. Visi mulia pendidikan ini sungguh terwujud pada masa kejayaan Islam. Sebenarnya apa yang menjadikan umat Islam dahulu dan kini berbeda? Padahal Al-Qur’an dari zaman Rasulullah hingga sekarang tidak sedikitpun berubah. Begitu juga dengan hadis.
Teknologi yang semakin berkembang pesat pun justru menghantarkan umat ini pada keterpurukan? Apa yang telah hilang dalam tubuh umat ini? Pertanyaan ini dapat terjawab apabila kita menilik kembali sejarah perjalanan umat Islam dengan saksama. Bahwasannya ada tiga pilar yang selalu menemani umat ini, yang dengannya peradaban Islam menjadi merkusuar dunia kala itu. Ketiga pilar itu ialah individu yang bertakwa, masyarakat yang beramar makruf nahi mungkar, dan negara yang menerapkan sistem Islam secara menyeluruh.
Individu yang bertakwa. Pada masa keemasan Islam, para pemuda dan orang tuanya sungguh berinvestasi untuk akhirat dan masa depan peradaban Islam. Katakanlah para shalafusshalih seperti Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal. Ibunda para imam itu sungguh mempersiapkan lingkungan dan memilih guru-guru terbaik untuk mereka.
Sehingga terwujudlah pribadi yang cinta ibadah, ilmu, dan perjuangan dalam diri mereka. Hal ini tidak akan mereka usahakan jika bukan akhirat yang menjadi visi hidup. Konsekuensi keimanan telah tertancap kuat dalam diri setiap Muslim kala itu. Mereka menimbang aktivitas dengan timbangan syariat. Baik buruknya, salah benarnya sesuai syariat. Maka takkan terpikirkan oleh para pemudanya untuk mem-bully temannya bahkan berlaku biadab pada orang tua.
Masyarakat yang beramar makruf nahi mungkar. Kita tentu tahu bahwa ketakwaan individu itu berbeda-beda. Ada yang takwanya to the max, ada yang takwanya tipis sebab baru belajar. Maka untuk menjaga semangat takwa inilah dibutuhkan sinergi masyarakat saling menasehati dalam ketaatan, yang saling berdakwah.
Allah pun memerintahkan masyarakat untuk menyeru pada kebaikan dan mencegah yang munkar. Untuk kasus bullying seperti ini, orang-orang sekitar takkan tinggal diam. Keluarga, guru, teman akan senantiasa saling menjaga, mencegah segala peluang yang mengarah pada tindakan bullying.
Peran negara pun tak kalah penting. Negara yang menerapkan sistem Islam secara menyeluruh. Akan sia-sia saja jika hanya individu dan masyarakat yang berusaha taat, saling mengingatkan dan menjaga, namun negara tak hadir sebagai pelindung.
Gempuran pemikiran asing semakin dahsyat merobohkan dinding akidah umat. Negara yang memiliki kuasa untuk mengatur masyarakatnya. Bagaimana pendidikan akan diarahkan, bagaimana kehidupan sosial diatur, itu semua ranah negara yang individu dan masyarkat takkan mampu mengaturnya sendirian. Jika peran negara ini dihilangkan apalagi tak menggunakan sistem yang benar, yakni sistem Islam, maka kehancuran negara itu tinggal menunggu waktu. Sebab takkan ada kemuliaan kecuali dengan Islam. Bullying, tak hanya butuh tindakan kuratif, yang paling utama justru tindakan preventif dari negara.
Khatimah
Generasi muda kian terpuruk. Ini adalah satu dari sekian imbas akibat bercokolnya sistem sekular di Indonesia. Problem ini takkan pernah terselesaikan hingga umat Islam mengambil Islam sebagai solusi dan meninggalkan sekularisme.
Aturan Islam tak hanya di dalam masjid saja, namun juga kehidupan publik, yakni pendidikan, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Islam, agama yang sempurna dan paripurna, hadir sebagai pemecah problematika hidup. Allah pun telah menyampaikan dengan jelas dalam surat Al-Qur’an,
ٱلْÙŠَÙˆْÙ…َ Ø£َÙƒْÙ…َÙ„ْتُ Ù„َÙƒُÙ…ْ دِينَÙƒُÙ…ْ ÙˆَØ£َتْÙ…َÙ…ْتُ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ Ù†ِعْÙ…َتِÙ‰ Ùˆَرَضِيتُ Ù„َÙƒُÙ…ُ ٱلْØ¥ِسْÙ„َٰÙ…َ دِينًا
“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. …” (Q.S. al-Maidah: 3)
Dan hendaklah kita senantiasa mengingat sabda Rasulullah tentang sebuah negara yang menerapkan syariat Islam, “Madinah itu seperti tungku api (tukang besi) yang bisa membersihkan debu-debu yang kotor dan membuat cemerlang kebaikan-kebaikannya.” (HR. Bukhari).
Kenyataan bahwa generasi emas dan peradaban gemilang hanya terwujud ketika diterapkannya syariat dan khilafah tak bisa dinafikkan, maka jangan sekadar kita jadikan romantisme sejarah belaka. Mari kita perjuangkan!
Oleh: Aisya B. Setiawan
Mahasiswi Surabaya
0 Komentar