Topswara.com -- Migrasi siaran televisi (TV) analog ke digital telah bergulir sejak tanggal 2 November 2022 pas bertepatan pukul 00.00 wib tengah malam dalam hitungan mundur yang disaksikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md.
Pemadaman TV analog baru mencakup wilayah Jabodetabek, Riau (Kota Dumai, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Miranti), NTT (Kabupaten Timur Tengah Utara, Kabupaten Belu, Kabupaten Malaka), dan Papua Barat (Kota dan Kabupaten Sorong).
Setelah resmi pemerintah mematikan siaran TV analog dan bermigrasi ke TV digital, pro kontra tetap bergulir. Pasalnya rakyat kecil lah yang terdampak imbasnya, terlebih di tengah tsunami kemiskinan yang masih menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah.
Walaupun di beberapa titik wilayah sudah di bagikan STB gratis. Agar berhak mendapatkan bantuan ini, mereka harus termasuk ke dalam kelompok keluarga miskin ekstrem dan masih menggunakan TV analog di rumahnya.
Mengutip keterangan resmi Kominfo, Jumat (4/11/2022), per 3 November 2022 set top box yang dibagikan mencapai 476.088 unit (99,3 persen). Adapun target STB yang dibagikan kepada penerima bantuan di wilayah Jabodetabek ada di angka 479.307 unit STB. Sementara itu, target jumlah STB yang dibagikan secara gratis secara nasional di angka 4,3 juta unit dari stasiun TV yang juga penyelenggara multipleksing (MUX).
Sejak 2019 lalu, pemerintah memang telah mendorong ketentuan perihal migrasi analog ke digital. Salah satunya melalui legislasi Omnibus Law RUU Cipta Kerja, yang kini telah diundangkan jadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
UU ini mendukung percepatan program transformasi digital nasional, yaitu migrasi penyiaran, penyehatan industri telekomunikasi, hingga optimalisasi spektrum digital dividen frekuensi radio.
Tentunya dalam kebijakan ini ada pihak-pihak yang meraup keuntungan di dalamnya. Pihak pertama yang diuntungkan tentunya pemerintah.
Pemerintah berpotensi mendapatkan kenaikan pendapatan sebesar Rp 77 triliun per tahun jika migrasi ke TV digital terealisasikan. Karena pendapatan dari frekuensi TV analog saat ini hanya mendapatkan Rp100 miliar-an. Pendapatan ini berasal dari biaya penggunaan frekuensi atau disebut digital dividend yang disetorkan pelaku usaha digital yang memakainya.
Pihak kedua yang diuntungkan adalah pelaku bisnis digital yang mendapatkan saluran frekuensi 700 MHz untuk broadband. Pemanfaatan saluran frekuensi ini akan mengembangkan ekosistem bisnis kreatif, sehingga ekonominya akan membesar.
Hasil riset Boston Consulting, juga mengungkakan bahwa kontribusi migrasi ke digital terhadap PDB bisa mencapai Rp 443,8 triliun per tahun. Maka, semakin lama menunda, maka negara semakin merugi, karena potensi pendapatan dari sektor TV digital tidak terpenuhi.
Segala kebaikan dalam kehidupan yang diperoleh melalui teknologi bisa diraih jika teknologi menjadi instrumen untuk mengurusi urusan masyarakat dengan sebaik-baiknya dan sepenuh hati. Teknologi, terlebih di era digital seperti sekarang, semestinya dijadikan instrumen untuk mencapai visi tertinggi alias kebahagiaan hidup manusia.
Akan tetapi, dalam kacamata kapitalisme sebagai sebuah ideologi yang didasarkan pada manfaat, visi tertinggi itu sebatas kebahagiaan fisik yang dibuktikan dengan profit bernominal tinggi pula. Disamping itu, tanpa memperhatikan lagi kehidupan rakyat miskin.
Ini sungguh berbeda dengan Islam, ketika teknologi digital dipandang sebagai instrumen untuk meraih ridha Sang Pencipta. Teknologi digital akan direalisasikan untuk mengajak manusia makin erat keterikatannya kepada aturan Allah SWT. Karena teknologi tanpa agama itu akan buta, dan agama tanpa teknologi itu akan pincang.
Wallahu a'lam Bishshawab
Oleh: Wakini
Aktivis Muslimah
0 Komentar