Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Surat Cinta Anak SD Bersyahwat, Minim Syariat


Topswara.com -- Viralnya surat cinta anak sekolah dasar (SD) dengan bahasa vulgar mengarah pada pelecehan seksual di Twitter membuat banyak pihak khawatir. Ramai tanggapan atas unggahan surat tersebut. Dari yang menyayangkan, mengkhawatirkan pergaulan bebas, hingga mempertanyakan pendidikan di keluarga dan sekolahnya. Tak sedikit juga yang menyarankan agar melaporkan keluarga atau orang tua anak tersebut kepada pihak yang berwajib. 

Bahasa dalam surat tersebut memang terlalu vulgar untuk ditulis anak usia SD, mengingat usia mereka yang masih begitu muda untuk mengucapkan kalimat kasar berbau pornografi. Tetapi nyatanya ini bukan kali pertama terjadi anak usia SD terlibat aktivitas pornografi dan pornoaksi. Beberapa tahun lalu ditemukan peristiwa dua insan anak SD melakukan hubungan seksual direkam HP (belitung.tribunnews.com, 2019/07/19). Pun anak usia SD hamil karena pacarnya (harian7.com, 09/2021).

Perilaku rusak anak usia SD ini tentu tak lepas dari faktor-faktor penyebabnya. Setidaknya ada beberapa penyebab, di antaranya:

Pertama, lemahnya pendidikan di keluarga. Orang tua adalah penanggung jawab pertama pendidikan dan pengasuhan anak. Sebagai peletak dasar pendidikan dan pengasuhan anak, orang tua bertanggung jawab untuk membangun pondasi akidah serta membentuk kepribadian Islam yang kuat dalam diri anak. 

Dengan begitu terbentuk pada diri anak tujuan kehidupan yang benar yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT dan terikat pada seluruh aturan-Nya. Sayangnya banyak keluarga yang tidak menjalankan peran tanggung jawab tersebut, baik karena tidak memahaminya, salah mengartikan pendidikan dan pengasuhan hanya berupa tugas menyekolahkan anak, bahkan karena sibuknya orang tua sehingga tak ada waktu untuk mendampingi anak-anaknya. 

Kedua, tekanan kebutuhan ekonomi atau sekadar keinginan memenuhi gaya hidup yang memaksa ayah dan ibu untuk sibuk bekerja.

Ketiga, rendahnya pengetahuan orang tua terhadap cara pengasuhan anak yang sesuai dengan Islam, serta ketidaksiapan ilmu dan mental orang tua sebelum menikah.

Padahal jelas, “Setiap manusia dilahirkan oleh ibunya di atas fitrah. Kedua orang tua nya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Imam Muslim). 

Hadis ini menjelaskan bahwa sesungguhnya anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, lalu orang tuanyalah yang akan mewarnai, mengarahkan anak-anaknya dalam ketaatan kepada Allah SWT atau sebaliknya dalam kemaksiatan. Sejak dalam kandungan hingga dewasa, orang tuanya wajib mengarahkan kepada ketakwaan dengan membangun akidah Islam yang lurus, kokoh, dan membuat anak terikat sepenuhnya dengan aturan Allah SWT. 

Orang tua harus menjadikan kedua pijakan ini sebagai tujuan dalam pendidikan anaknya, karena dengan kuatnya pondasi ketakwaan ini akan membentengi anak dari perilaku-perilaku bejat tak bermoral yang tidak sesuai dengan aturan-aturan Allah SWT. 

Kewajiban ini melekat pada orang tuanya sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At Tahrim: 6)

Tentu kewajiban ini tidak bisa diwujudkan jika orang tuanya tidak mempunyai pemahaman yang cukup terhadap akidah Islam, hukum-hukum Allah SWT, ilmu pengasuhan dan pendidikan menurut Islam, ditambah ketidaksiapan emosi dan mental sebelum menikah. 

Maka seharusnya negara melalui lembaga-lembaga pendidikan wajib membuat calon-calon orang tua siap dalam menyiapkan kewajiban pengasuhan dan pendidikan anak ini, melalui pendidikan di sekolah-sekolah, memperbanyak kajian-kajian, dan tulisan-tulisan tentang ilmu-ilmu tersebut. 

Tak berhenti di sini. Negara juga harus memastikan kondisi ekonomi warga negaranya terjamin dengan terpenuhinya kebutuhan primer setiap keluarga. Memastikan peran ayah dalam kepemimpinan keluarga dan nafkah berjalan dengan baik sehingga istripun punya banyak waktu untuk melaksanakan peran pengasuhan dan pendidikan kepada anak-anaknya. 

Sistem Pendidikan Tak Mampu Cetak Manusia Berakhlak Mulia

Akhlak mulia yang sejalan dengan pandangan Islam hanya akan terbentuk dengan proses pendidikan Islam, di mana akidah Islam dan pemikiran-pemikiran Islam menjadi pondasi utama kurikulum pendidikan. Dengan sistem pendidikan berasaskan Islam ini akan terbentuk manusia-manusia yang tidak hanya pintar dan terampil dalam ilmu pengetahuan tetapi juga akan tercetak manusia-manusia bertakwa serta berakhlak mulia. 

Hanya saja pendidikan sekuler yang diterapkan di negeri ini menempatkan agama hanya di kehidupan pribadi tanpa ada perannya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Proses pendidikan hanya berupa transfer pengetahuan minim dengan pembentukan kepribadian Islam dan berorientasi pada materi semata. 

Akibatnya tercetak generasi-generasi yang berpikiran liberal, serba bebas dalam berpikir dan berperilaku, minim akhlak mulia seperti perilaku anak-anak usia sekolah saat ini. Bahkan upaya untuk menjauhkan remaja Muslim dari pemikiran dan aturan Islam pun semakin masif dilakukan melalui upaya moderasi beragama dengan tujuan agar generasi Islam tidak mengamalkan Islam secara ekstrem. 

Padahal sebagai umat Islam seharusnya akidah dan aturan Islam menjadi pedoman pandangan, pemikiran, bertingkah laku baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bahkan negara. Dengan berakidah dan berbuat sesuai hukum Allah SWT maka manusia akan terhindar dari perbuatan yang keji dan perilaku rusak. 

Fakta yang terjadi di tengah masyarakat sudah cukup membuktikan kegagalan pendidikan yang dibangun atas dasar sekularisme. Tidak seriusnya negara melindungi masyarakat dari gempuran pornografi dan pornoaksi.

Ketidakmampuan negara dalam melindungi masyarakat dari konten-konten yang membangkitkan syahwat juga membuat perilaku rusak semakin merajalela. Situs-situs porno yang tak terselesaikan secara tuntas serta konten-konten pembangkit syahwat yang wira-wiri di sosial media membuat mudahnya syahwat bangkit, tak terkecuali pada anak-anak SD ini. 

Kemajuan teknologi yang tak diimbangi dengan keimanan dan kepribadian Islam yang kuat akan membawa dampak buruk terhadap perkembangan anak-anak. 

Berdasarkan survey yang dilaksanakan Kemenkes tahun 2017 sebanyak 94 persen siswa pernah mengakses konten porno yang diakses melalui komik sebanyak 43 persen, internet sebanyak 57 persen, game sebanyak 4 persen, film/TV sebanyak 17 persen, Media sosial sebanyak 34 persen, Majalah sebanyak 19 persen, Buku sebanyak 26 persen, dan lain-lain 4 persen. (sardjito.co.id, 30/10/2019). Angka di atas cukup memperhatinkan, berakibat kerusakan moral, penurunan prestasi, dan lainnya. 

Dalam situs website RS sardjito disebutkan kecanduan pornografi mengakibatkan kerusakan otak seperti halnya dengan narkoba. Pornografi bukan hanya merusak otak dewasa tetapi juga otak anak. 

Kerusakan otak tersebut sama dengan kerusakan otak pada orang yang mengalami kecelakaan mobil dengan kecepatan sangat tinggi. Kerusakan otak yang diserang oleh pornografi adalah Pre Frontal Korteks  (PFC), bagi manusia bagian otak ini merupakan salah satu bagian terpenting karena hanya dimiliki oleh manusia, sehingga manusia memiliki etika bila dibandingkan binatang. 

Bagian otak ini berfungsi menata emosi, memusatkan konsentrasi, memahami dan membedakan benar dan salah, mengendalikan diri, berpikir kritis, berpikir dan berencana masa depan, membentuk kepribadian, dan berperilaku sosial.  (sardjito.co.id, 30/10/2019).

Dari melihat dampak pornografi, seharusnya cukup menjadikan pemerintah serius dalam menghentikan semua konten-konten yang berbau pornografi dan pornoaksi. Baik itu berupa iklan, film, tayangan TV, game, majalah, komik, buku, termasuk pembangkit-pembangkit syahwat yang bersembunyi atas nama seni, tradisi, dan budaya. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad). 

Hadis ini memerintahkan pemerintah atau penguasa untuk melindungi masyarakatnya/orang yang berada di bawah kepemimpinannya termasuk melindunginya dari perilaku bejat yang diakibatkan dari media pembangkit syahwat. Syahwat yang tak bisa dikendalikan akan berakibat pada perilaku menyimpang seksual, pelecehan, zina, hamil di luar nikah, aborsi, rusaknya nasab, dan lainnya. 

Terapkan Sistem Pergaulan Islam

Sistem pergaulan Islam yang telah ditetapkan Allah adalah sistem terbaik untuk mencegah kerusakan moral. Islam jelas melarang tabarruj (berlebihan dalam berhias dan berpakaian, yang mengundang orang lain yang bukan mahram berdecak kagum sehingga membangkitkan syahwat), melarang khalwat (berdua-duaan lelaki dan perempuan yang bukan mahramnya), melarang ikhtilath (campur-baur pria dan wanita).

Islam pun telah memerintahkan untuk menutup aurat, menjaga pandangan, memisahkan kehidupan pria dan wanita. Islam membolehkan kerjasama serta interaksi pria dan wanita sebatas keperluan, tidak berlebihan sebagaimana yang terjadi saat ini di mana pria dan wanita bukan mahram bebas bersama-sama untuk berjalan-jalan, nongkrong, nonton bioskop, pesta, dan yang lainnya.

Solusi Islam, Campakkan Sekularisme

Jika kita jeli menilai, kita bisa menyimpulkan penyebab kerusakan moral di kalangan anak usia sekolah adalah karena penerapan sistem kapitalisme sekuler liberal. Sistem ini telah menjauhkan peran agama dalam kehidupan serta menjujung nilai-nilai kebebasan yang dipuja-puja manusia. Orientasi kehidupan mengejar kebahagian berupa terpenuhinya kenikmatan syahwat dan lahiriah saja. 

Untuk itu, tidak ada solusi lain dalam masalah ini kecuali kita terapkan sistem Islam yang berasal dari Allah SWT yaitu aturan-aturan yang telah tertuliskan di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Pun mencampakka sistem kapitalisme sekuler liberal yang membawa kerusakan agama, moral, dan lainnya.


Oleh: Rokhimah, S.Pd.
(Praktisi Homeschooling Berbasis Akidah Islam)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar