Topswara.com -- Aksi kejam dan biadab dilakukan seorang suami kepada istri dan anaknya di sebuah rumah di Kelurahan Jatijajar, Kecamatan Tapos, Kota Depok, Jawa Barat. Pelaku berinisial RN (31) tega menganiaya istrinya berinisial NI (31) dan membunuh anak perempuannya berinisial KPC (13) menggunakan parang.
Kasat Reskrim Polres Metro Depok, AKBP Yogen Heroes Baruno mengatakan, pihaknya menerima laporan masyarakat terkait adanya korban meninggal dunia dan kritis. Kedua korban diduga mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh kepala keluarga. "Diduga pelaku adalah ayah kandung atau suami korban, awalnya diamankan di Polsek Cimanggis lalu kita bawa ke Polres Metro Depok,” ujar Yogen (Liputan6.com, 01/11/2022).
Sungguh, maraknya suami atau ayah menganiaya istri dan anaknya semakin menunjukkan bahwa kasus KDRT semakin meningkat setiap tahunnya, sebagaimana dilansir dari fakta berikut. " Pada tahun 2021, Komnas Perempuan menerima pengaduan langsung 771 kasus kekerasan terhadap istri (KTI), atau 31 persen dari laporan 2.527 kasus kekerasan di ranah rumah tangga atau personal. Berdasarkan pengaduan dan pemantauan Komnas Perempuan, dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap korban beragam dan berlapis. (Tribunnews.com, 17/10/2022)
Fenomena KDRT yang marak saat ini disebabkan oleh jauhnya masyarakat dari pemahaman Islam yang benar. Syariat Islam mampu mengatur hubungan suami istri selayaknya sahabat, dengan aturan yang konkret tanpa mengesampingkan sisi manusiawinya sebagai perempuan dan laki-laki.
Namun, karena sistem sekularis dan kapitalisme. Imbasnya, hubungan suami dan istri tidak diatur sesuai syariat-Nya. Sehingga terciptalah hubungan suami terhadap istri ataupun istri terhadap suami dengn minimnya pemahaman mengenai hak dan kewajiban suami dan istri di dalam kehidupan rumah tangga.
Meningkatnya kasus-kasus KDRT diatas semakin menunjukkan hilangnya fungsi seorang suami atau ayah sebagai qawwamah (kepemimpinan) laki-laki. Padahal, saat mistaqan ghalidza (ijab kabul). Saat itu terucap dari lisan sang suami, ia telah diserahkan tanggung jawab besar oleh Allah Subhanhu wa Ta'ala, yaitu menjadi pemimpin keluarganya.
Namun demikian, KDRT bukan hanya dipicu oleh hilangnya peran qawwamah pada laki-laki, melainkan juga dipicu oleh fungsi ummun wa rabbatul bait pada sang istri. Peran menjalankan fungsi sebagai ummun (ibu) yang mendampingi penuh anak-anaknya tentu menjadi makin berat apabila turut menjadi “tulang punggung”. Begitu pun fungsinya sebagai rabbatul bait (manajer rumah tangga), tenaga dan pikirannya sudah habis di luar rumah sehingga ia absen dalam pengaturan rumah.
Padahal, seorang ibu seharusnya menjadi sandaran semua anggota keluarganya. Para ayah yang lelah bekerja akan merasa nyaman saat bertemu istrinya. Begitu pun anak-anaknya, senantiasa mendapatkan kasih sayang yang kelak menjadi bekal dalam mengarungi kehidupan mereka.
Namun, lagi-lagi fungsi ini hilang.
Sebagaimana kasus kekerasan yang terjadi merupakan buah dari kebebasan. Yang akhirnya tergambar adanya ketimpangan dari banyak sisi. Adanya potret kegagalan dalam sistem pendidikan, terbukti dari belum adanya kemampuan untuk mencetak generasi terbaik dan berkarakter mulia, tetapi justru jauh dari agama. Kita bisa melihat adanya fakta kerusakan generasi semisal: tawuran, miras, pergaulan bebas.
Adanya potret kehancuran dalam bangunan rumah tangga akibat kasus perceraian yang dianggap biasa karena agama tidak diberi peran untuk mengatur kehidupan. Gambaran keberadaan orang tua yang belum bisa memberikan pendidikan/edukasi yang tepat terhadap anak, mengakibatkan anak beralih kepada game atau gawai. Bahkan tak sedikit juga anak-anak telah kecanduan game online hingga melakukan aktivitas kriminal.
Sistem Islam akan menjamin kokohnya bangunan keluarga tidak hanya dari aspek terpenuhinya kebutuhan dasar rumah tangga. Secara filosofis, bangunan keluarga dilandasi oleh keimanan (akidah Islam) yang akan memperkokoh relasi suami istri. Pun orang tua dan anak dalam menjalankan setiap perannya. Dalam tatanan individu, sistem Islam menjadikan pondasi ketakwaan sebagai pilar penjaga masyarakat agar bisa melewati ujian dengan berserah kepada qadha Allah.
Di sisi lain, semangat untuk menjemput rezeki halal akan mendorong para kepala keluarga tak kenal lelah berikhtiar agar tugas utamanya memberi nafkah pada keluarga terpenuhi. Kontrol masyarakat menjadi pilar tumbuhnya kepekaan antar anggota masyarakat.
Budaya saling tolong menolong (ta'awun) dan amar maruf nahi mungkar. Sinergisitas peran kepala keluarga dalam menjaga ketahanan keluarga tidak terlepas dari peran utama negara yang menjamin pelaksanaan syariat Islam dalam seluruh tatanan kehidupan masyarakat. Baik sistem ekonomi, politik, pendidikan, keamanan dan sebagainya. Negara akan menyediakan lapangan pekerjaan luas, sehingga para kepala keluarga bisa melaksanakan kewajibannya mencari nafkah.
Seorang ibu pun bisa fokus menjalankan perannya sebagai ummu warobatulbait (ibu dan pengatur rumah tangga) tanpa terkuras energinya menopang ekonomi keluarga. Tidak ada lagi ketakutan seorang ibu karena anaknya tak bisa membayar SPP, tidak bisa sekolah, bahkan tidak bisa makan, tidak ada tempat tinggal dan sebagainya. Dalam Islam, negara berperan sebagai perisai hakiki bagi kaum perempuan. Nabi SAW bersabda,
“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai di mana orang akan berperang di belakangnya dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan adil, maka dengannya dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Demikianlah, Islam menjamin perlindungan terhadap kekerasan pada anak dan perempuan, tak hanya dengan tindakan kuratif, tapi juga preventif.
Adanya payung hukum dan struktur aparat penegak hukum atau masyarakat sipil yang secara khusus dibentuk untuk menangani kasus KDRT tak akan mampu memberi solusi tuntas jika tidak ada upaya pencegahan terhadap sumber terjadinya KDRT.
Oleh: Tri Setiawati, S.Si
Aktivis Muslimah
0 Komentar