Topswara.com -- Negeri yang terkenal dengan sebutan "gemah ripah loh jinawi" (sumber daya alam yang melimpah) ternyata mempunyai segudang problem gizi buruk dan kemiskinan. Bank Dunia (World Bank) mengeluarkan ketentuan baru mengenai kondisi garis kemiskinan internasional.
Garis kemiskinan ekstrem secara internasional menjadi USD 2,15 atau Rp 32.752 per orang per hari (asumsi kurs rupiah 15.200 per dolar AS). Dengan hitungan ini, angka kemiskinan di Indonesia naik menjadi 13 juta orang. Sekretaris Utama Badan Pusat Statistik (BPS), Atqo Mardiyanto mengakui angka kemiskinan di Indonesia naik pada 2022.
Menurut Muhadjir, untuk mengejar target penghapusan kemiskinan ekstrem di Indonesia pada 2024, pemerintah telah menyediakan data Penyasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE). Data tersebut berbasis nama (by name), alamat (by address), dan datanya per desa.
Kemiskinan di Indonesia bersifat struktural, yakni akibat kebijakan pemerintah yang kurang berpihak terhadap kepentingan rakyat banyak.Tak ayal seruan untuk memenuhi gizi di tengah kondisi tersebut disebut sebagai narasi tanpa empati.
Sebab, masyarakat tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan gizinya di tengah kesulitan hidup yang melanda. Di sisi lain, ini menunjukkan ketidakpahaman pemerintah akan realita yang sedang dihadapi rakyat, apalagi angka stunting masih sangat tinggi. Negara seharusnya peduli dan memberi solusi atas persoalan ini.
Tidak terpenuhinya gizi keluarga dan anak yang dipicu oleh kemiskinan masyarakat sejatinya adalah efek dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini gagal menjamin kesejahteraan masyarakat individu per individu. Sistem ini telah menyerahkan pengelolaan distribusi kebutuhan rakyat pada swasta/korporasi, sehingga pelayanan diberikan sesuai dengan harga yang dibayarkan. Sementara negara hanya bertindak sebagai regulator yang memuluskan bisnis korporasi.
Gaya hidup penguasa kaum Muslim saat ini yang menampilkan kemewahan, dari mulai gaji yang tinggi hingga mobil dinas yang mahal, tidak bisa dilepaskan dari cara pandang mereka terhadap jabatan. Bagi mereka, jabatan identik dengan prestise, martabat, kehormatan, bahkan ladang penghasilan yang subur. Wajar jika mereka berebut untuk mendapatkan jabatan/kekuasaan.
Kenyataan kebijakan yang lahir dari sistem kapitalis sekuler tidak pernah berpihak kepada rakyat, sebaliknya cenderung makin membebani rakyatnya. Fakta tersebut memberikan pengaruh terhadap kehidupan keluarga rakyatnya dan menguji ketahanan keluarga. Lalu, masihkah kita berharap pada sistem yang rusak ini?
Padahal telah nyata bahwa ada sebuah sistem kehidupan yang datang dari Allah SWT, sang Pencipta Yang Maha Pengatur, yang sangat paham tentang mahluk ciptaan-Nya. Itulah sistem Islam yang sesuai dengan fitrah manusia dan memuaskan akal yang pada akhirnya akan membawa pada ketentraman dan kesejahteraan.
Negara Islam bukan hanya sekadar menyeru kepada pemenuhan gizi seimbang, melainkan lebih dari itu yaitu memenuhi segala apa yang dibutuhkan rakyat seluruhnya dengan cara menjamin hak-hak rakyat seperti terpenuhinya sandang maupun pangan. Dengan adanya sistem islam pemenuhan gizi yang seimbang akan benar-benar terealisasi secara sempurna.
Wallahu a'lam Bishshawab
Oleh: Wakini
Aktivis Muslimah
0 Komentar