Topswara.com -- Cuitan Komisaris Independen PT Pelni Dede Budhyarto beberapa waktu lalu yang memelesetkan kata Khilafah menjadi khila**ck mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Di aku sosial medinya ia menyatakan agar tidak sembarangan memilih capres, jangan dari kelompok yang radikal, suka mengkafirkan dan anti akan pancasila yang suka melarang pendirian rumah ibadah.
Pendapatnya ini kontan mendapat kritikan dari berbagai pihak, namun ia bersikukuh enggan meminta maaf. Jubir PKS, M Kholid menyatakan sikapnya atas ungkapan tersebut, dan berharap ada sanksi atas perbuatannya yang bisa menyulut api perpecahan (Detiknews.com Kmis 27 Oktober 2022
Kasus penistaan ajaran Islam bukan baru kali ini terjadi, sudah tentu hal ini sangat menyakitkan hati karena umumnya para penista selalu lolos dari jerat hukum.
Menyebut khilafah bukan ajaran Islam dan tidak ada bentuk baku kekhilafahan, adalah sesat pikir. Apalagi secara gegabah menyatakan ketiadaannya dalam Al-Qur'an dan as-sunnah. Tudingan-tudingan itu adalah upaya mengaburkan dan memfitnah ajaran Rasulullah SAW.
Dalam sistem kapitalisme, kebebasan begitu diagungkan, salah satunya dalam menyatakan pendapat. Seseorang dapat menyatakan apapun sekehendak hatinya tanpa peduli apakah perbuatannya merugikan orang banyak atau menyalahi aturan agamanya. Sang pelaku enggan meminta maaf karena itu merupakan bagian dari haknya untuk mengungkapkan sesuatu.
Padahal jelas, kewajiban menegakkan khilafah telah ditetapkan berdasarkan dalil Al-Qur'an, as-sunnah dan ijmak sahabat. Pertama, dalil Al-Qur'an. Di dalam Al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang memerintahkan kaum Muslim untuk taat kepada ulil amri (QS an-Nisa’ [4]: 59), juga kewajiban menerapkan hukum-hukum Allah SWT. Mereka yang tidak memberlakukannya disebut sebagai kafir, zalim dan fasik (QS al-Mâ'idah [5]: 44-45, 47). Keberadaan khilafah adalah dalam rangka melaksanakan hukum-hukum ini.
Kedua, dalil as-sunnah. Sabda Rasulullah SAW. "Siapa saja yang mati dalam keadaan tidak ada baiat (kepala/imam/Khalifah) di lehernya, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliah (berdosa besar)" (HR.Muslim).
Ketiga, dalil ijmak sahabat. Sebagaimana diketahui, tidak lama usai Rasulullah SAW. wafat, para Sahabat ra. telah berijmak (bersepakat) bahwa harus ada pengganti beliau dalam urusan pemerintahan, yakni untuk mengurusi kepentingan umat dan melaksanakan syariah Islam. Karena itu mereka segera berkumpul di Saqîfah Bani Sa’idah untuk bermusyawarah hingga mereka sepakat untuk memilih Abu Bakar ra. sebagai khalifah pertama. Sejak itulah khilafah Islam berdiri sebagai pelanjut Daulah Islam era Nabi SAW.
Jelas, khilafah adalah bagian dari ajaran Islam, bukan ajaran kelompok tertentu. Mendirikannya adalah wajib atas seluruh kaum Muslim. Bahkan para ulama menyebutnya sebagai mahkota kewajiban. Keberadaannya adalah mulia dan haram untuk dinista.
Menghinakannya adalah bentuk penistaan terhadap syariah Islam. Tindakan ini disebut istikhfâf bi al-ahkâm al-syar’iyyah (penghinaan terhadap hukum-hukum syariah Islam). Yang bisa dilakukan melalui ucapan, perbuatan atau keyakinan. Para fuqaha telah sepakat bahwa pelakunya telah murtad (kafir), yaitu keluar dari agama Islam dan wajib dihukum mati jika tak bertobat kepada Allah SWT.
Teekait penista tersebut, mesti dilihat apakah ia sebenarnya tahu bahwa khilafah adalah bagian dari syariah Islam lalu terang-terangan sengaja menistanya, jika demikian maka dia murtad. Namun, jika dia mengucapkan atau membuat tulisan yang sepertinya menghina tetapi bisa diartikan lain, maka dia tidak divonis kafir. Begitu pula bagi pelaku yang melakukannya karena tidak tahu, maka ia pun tidak divonis murtad.
Keberadaan khilafah di tengah umat sangatlah vital. Tanpa kehadirannya, kemuliaan Islam dan umatnya juga tercabik. Tak ada yang melindungi dan membela. terbukti hari ini, ketika kaum Muslim hidup dalam naungan sistem kapitalisme, kesengsaraan dan kehinaan lah yang dirasakan.
Sumber daya alam dijarah oleh kaum penjajah, negeri mereka dijerat utang yang mencekik. Sementara para penguasa terus menaikkan pajak dan mengurangi subsidi demi membayar utang dan bunganya yang terus membengkak. Kaum Muslim juga terpecah-belah, ditindas dan terzalimi. Ketiadaannya membuat hukum Islam tidak bisa dilaksanakan pada saat ini.
Jika akar persoalan kita pada hari ini adalah ketiadaan institusi penerapan syariat, lalu mengapa umat malah mencari jawaban pada yang lain? Sementara Islam telah memiliki solusi sempurna bagi seluruh permasalahan kehidupan.
Wallahu a'lam Bishawwab
Oleh: Isma Humaeroh
Sahabat Topswara
0 Komentar