Topswara.com -- “Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat di tolak”. Peribahasa ini mungkin sedikit lebih tepat disematkan untuk proyek fenomenal Indonesia yakni kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB).
Setelah melewati uji dinamis pada (9/11) lalu kemudian peluncurannya yang disaksikan oleh Presiden Indonesia dan Xi Jin Ping (16/11), kabarnya proyek yang digadang-gadang menjadi bagian dari pembangunan strategis Nasional ini diprediksikan mandek dikarenakan beberapa kendala.
Dilansir dari CNBCIndonesia (17/11) bahwa kendala pada proyek KCJB terjadi pembengkakan biaya atau cost overrun, yang saat ini masih menunggu suntikan dana dari pemerintah cair. Yaitu, berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 3,2 triliun.
Menjadi masalah ketika proyek ini melibatkan dua negara yakni Indonesia juga Cina yang juga memiliki modal 40 persen dalam proyek tersebut. Kendala pendanaan yang kurang ini yang sisanya sekitar Rp 16 triliun dari akan diupayakan dari pinjaman yang berasal dari Cina Development Bank (CDB) (cnbcindonesia.com, 17/11/2022).
Bentuk “Penjajahan” Baru
Proyek ini sempat kontroversi dikarenakan negara akan menyuntikkan dana, padahal awalnya proyek ini memang bukan menggunakan skema pembiayaan dari APBN.
Proyek kereta api cepat terancam mandek karena persoalan pembengkakan dana. Indonesia diminta untuk ikut menanggung dana, sebelumnya sudah banyak persoalan yang melilit proyek ini, namun proyek tetap dijalankan.
Ini memperlihatkan kepada kita bahwa proyek ini terlihat ambisius namun minim biaya dan perhitungan resiko sehingga diakhir justru lagi-lagi mengandalalkan pinjaman dari negara mitra proyek ini (Cina).
Jika sebelumnya negara ini begitu bergantung kepada negeri tirai bambu tersebut untuk dana pinjaman, sekarang pun sama. Kita tentu melihat bagaimana proyek-proyek infrastruktur terdahulu seperti jalan-jalan tol yang didanai dari pinjaman Cina justru akhirnya dijual karena negara dinilai merugikan negara.
Pembangunan proyek semacam ini sebenarnya mengancam kedaulatan negara dengan kepemilikannya. Apalagi ada potensi berbagai persoalan yang akan menghalangi pemanfaatannya. Seperti bandara Kertajati, Bandara Kualanamu dan lain-lain.
Bandara Kualanamu contohnya Angkasa Pura II menggandeng GMR Airports Consortium dari India untuk pengelolaan dan pengembangan bandara Kualanamu. GMR sendiri memiliki track record dalam pengelolaan beberapa bandara di India.
Jika seperti ini maka benang merahnya adalah sebuah bahaya yang yang mengintai manakala kepemilikan aset strategis negara seperti proyek KCJB ini dan proyek infrastruktur lainnya yang melibatkan pendanaan dari asing maka rawan akan mengancam kedaulatan negara.
Singkatnya bahwa “proyek bersama” sejatinya adalah bagian dari penjajahan sebab ketika proyeknya mandek maka kita sebagai pemilik proyeknya harus menanggung kekurangan maupun kerugiannya.
Skema Kepemilikan Aset Negara dalam Islam
Berbeda dari sistem kapitalisme bahwa pendanaan infrastruktur didanai dari pajak dan utang, maka Islam punya cara sendiri dalam mendanai proyek infrastruktur yang menjadi salah satu jalan untuk manusia memenuhi kebutuhan hajat hidupnya.
Dalam sistem ekonomi Islam, infrastruktur yang masuk kategori milik umum (jalan-jalan umum dan sejenisnya seperti laut, sungai, danau, kanal atau terusan besar seperti terusan suez, lapangan umum dan masjid) harus dikelola oleh negara dan dibiaya dari dana milik umum (pengelolaan SDA).
Dalam pandangan Islam, ada sejumlah aset/sumberdaya yang terkategori kepemilikan umum yang mencegah pemberian hak khusus/hak eksklusif kepemilikan atau penguasaan sumberdaya tersebut kepada individu atau korporat tertentu.
Meskipun negara sama-sama sebagai pihak yang mengelola kepemilikan umum dan juga mengelola milik negara, terdapat perbedaan di antara dua kepemilikan tersebut. Setiap benda yang tergolong milik umum seperti minyak bumi, gas dan barang tambang yang jumlahnya sangat banyak, laut, sungai, mata air, lapangan, hutan belukar, padang gembalaan, dan masjid.
Semua itu tidak boleh dialihkan kepemilikannya untuk siapa pun, baik individu maupun korporat. Semuanya milik seluruh kaum Muslim. Semua itu wajib dikelola oleh negara melalui kebijakan khalifah sehingga memberi peluang seluruh manusia dapat memanfaatkan kepemilikan ini.
Khalifah dapat menjadikan tanah maupun bangunan yang termasuk milik negara dimiliki oleh orang-orang tertentu baik bendanya maupun manfaatnya, atau manfaatnya saja tanpa memiliki bendanya, atau mengizinkan untuk menghidupkan dan memilikinya. Khalifah mengatur hal itu dengan melihat kebaikan dan kemaslahatan bagi kaum Muslim.
Selain itu dalam Islam juga memperhatikan pembangunan infrastruktur memperhatikan dari segi urgensinya/maslahatnya untuk rakyat.
Berbeda dengan kapitalisme hari ini bagaimana pembangunan proyek jor-joran namun setelah rampung tidak dapat digunakan sehingga menjadi alasan kerugian akhirnya dijual ke pihak asing.
Dengan kata lain negara tidak memperhitungkan kepentingannya untuk rakyatnya. Wallahu ‘alam bishawab []
Oleh: Nurhayati, S.S.T.
Sahabat Topswara
0 Komentar