Topswara.com -- Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan dengan berita satu keluarga yang tewas di Perumahan Citra Garden I Ekstension Kalideres, Jakarta Barat yang masih menjadi misteri. Pihak Kepolisian hingga kini masih mengusut kasus tersebut.
Sebelumya sempat disampaikan bahwa penyebab kematian Rudiyanto Gunawan (71) yang merupakan kepala rumah tangga, istrinya K. Margaretha Gunawan (68), anaknya Dian (42), dan adik ipar Rudiyanto, Budyanto Gunawan (68) yakni akibat kelaparan.
Terkait kasus yang terjadi, Ketua RT 07/15 Perumahan Citra Garden, Tjong Tjie Xian atau dikenal dengan panggilan Asyung, membantahnya dan menyebut bahwa keluarga ini tergolong mampu sehingga narasi soal mati kelaparan tidak bisa dibenarkan.
Asyung menambahkan bahwa faktanya jika dilihat yang ada di kompleks ini, kondisi rumah jelas tergolong dalam keluarga mampu dan bukan tercatat sebagai penerima bantuan sosial. Asyung juga mengatakan bahwa keluarga tergolong tertutup dalam berinteraksi dengan warga sekitarnya, bahkan juga ke saudaranya.
Sementara itu, Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Metro Jaya, Kombes Hengki Haryadi, turut angkat bicara soal penyebab kematian 1 keluarga itu. Terkait soal mati karena kelaparan, Hengki menilai hal itu belum bisa dipertanggungjawabkan. (kumparannews, 13/11/2022).
Kasus yang terjadi ini menggambarkan lemahnya peran pemimpin umat dalam bentuk kepedulian terhadap rakyatnya. Hal ini sangat mungkin terjadi dalam sistem saat ini yaitu sistem sekuler, di mana dalam masyarakat sekuler akan terbentuk pola hubungan tetangga yang bentuk kepedulian dan hubungan individualis, tidak ada kepedulian dan hubungan sosial kemanusiaan.
Hal ini jelas berbeda dalam sistem Islam, di mana perhatian terhadap tetangga sangat kuat. Dalam sistem Islam, perkara bertetangga dan bermasyarakat bukan dipandang sebagai interaksi sosial yang manusia berkumpul satu dengan yang lain saja.
Syekh Taqiyyuddin an-Nabhani dalam kitabnya, Nidhamul Islam bab Qiyadah Fikriyah menjelaskan hasil ijtihadnya mengenai konsep masyarakat dalam Islam bahwa masyarakat terdiri dari kumpulan manusia, pemikiran, perasaan, dan peraturan. Maka pemikiran, perasaan, dan peraturan masyarakat dalam khilafah akan terikat dengan syariat Islam. Karenanya, konsep bertetangga dalam Islam dikaitkan dengan keimanan.
Imam Qurthubiy dalam kitabnya al-Jaam’i li Ahkam al-Quran, Juz 5/188 menjelaskan konsep bertetangga berdasarkan hadis hasan dari sebuah riwayat bahwasannya Mu’adz bin Jabal radhiallahu anhu pernah berkata:
Kami bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apa hak tetangga itu?”
Rasulullah Saw. menjawab, “Jika ia berutang kepadamu, maka berilah dirinya utang, jika ia meminta bantuan, bantulah ia, jika ia membutuhkan sesuatu, berilah ia, jika ia sakit maka kunjungilah, jika ia mati maka selenggarakanlah jenazahnya, jika ia mendapatkan kebaikan, bergembiralah dan ucapkanlah suka cita kepadanya, jika ia ditimpa musibah, turutlah sedih dan berduka. Janganlah engkau menyakitinya dengan api periuk belangamu (maksudnya jika Anda memasak jangan sampai baunya tercium tetangga), kecuali engkau memberi sebagian kepadanya.
Janganlah engkau mempertinggi bangunan rumahmu, agar bisa melebihi rumahnya, dan menghalangi masuknya angin, kecuali atas izin darinya. Jika engkau membeli buah-buahan, maka berikan sebagian buah itu kepadanya, jika engkau tidak mau memberinya, maka masukkan ia ke dalam rumahnya dengan sembunyi-sembunyi dan janganlah anakmu keluar dengan membawa satu pun buah itu, sehingga anaknya menginginkannya. Apakah kalian memahami apa yang aku katakan kepada kalian, bahwa hak tetangga tidak akan pernah ditunaikan kecuali oleh sedikit orang yang dikasihi Allah?”
Hadis ini akan dipahami oleh individu dan masyarakat sebagai syariat Islam dalam bertetangga yang wajib mereka jalankan. Jika aturan ini diterapkan maka tidak akan dijumpai kejadian seperti kematian satu keluarga di Kalideres, karena mereka memahami hak-hak dan kewajiban dalam bertetangga.
Tidak akan pula dijumpai masyarakat yang individualis, syariat ini tidak hanya dipahami oleh individu dan masyarakat, namun juga negara. Maka, khilafah sebagai institusi pengurus umat akan menetapkan kebijakan terkait tata letak dan bangunan perumahan.
Salah satu cerminan hal tersebut adalah ketika khilafah menguasai wilayah Andalusia. Di mana perumahan di wilayah itu diatur menggunakan sistem blok seperti kluster perumahan pada masa modern. Satu blok terdiri dari delapan atau sepuluh bangunan rumah.
Pengaturan semacam ini melahirkan kerapian dan mengefektifkan pengamanan lingkungan. Selain kawasan pemukiman Muslim ada beberapa kawasan pemukiman dihuni oleh komunitas non-muslim termasuk penganut Yahudi dan Nasrani.
Sekalipun tempat-tempat ini terpisah tidak menghalangi masyarakat bersosialisasi, karena kehidupan sosial masyarakat khilafah mencerminkan ayat Al-Qur'an yang artinya, "Hai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal dan menghargai. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal." (QS. Al-Hujurat ayat 13)
Dengan demikian terbukti bahwa dalam naungan Khilafah hubungan sosial kemasyarakatan dapat terjalin dengan baik, bahkan meski berbeda keyakinan. Waallahu a’lam bishshwab.
Oleh: Asih Lestiani
Sahabat Topswara
0 Komentar