Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Perubahan ke TV Digital, demi Siapa?


Topswara.com -- Rencana perubahan arah dari penggunaan TV analog menuju TV digital semakin menuai kritik dari masyarakat. Pasca dimatikannya TV analog di wilayah Jabodetabek, masyarakat merasakan banyak keluhan. Pasalnya, untuk beralih kepada TV digital, masyarakat harus membeli peralatan TV yang baru atau set box untuk sekedar menikmati hiburan di TV.

Tak hanya itu, para pengguna TV digital juga harus membayar sejumlah dana jika ingin menikmati tampilan hiburan yang lebih luas lagi jangkauannya. Sudahlah membayar listrik untuk menyalakan TV, masih harus pula membayar untuk melihat hiburan yang ada di dalamnya.

Jika dicermati lebih lanjut, perubahan TV analog kepada TV digital sejatinya hanya menguntungkan para pengusaha terlebih lagi korporasi yang ada di dalamnya. Selain itu, keterlibatan pemerintah sebagai pihak yang melegalisasi perubahan ini dengan korporasi yang ada di dalamnya merupakan bentuk kerjasama yang tidak memihak kepada rakyat.

Karena tidak semua rakyat mampu mengikuti perubahan tersebut. Memang, terdapat kelebihan dari perubahan ini seperti adanya jangkauan yang lebih luas untuk menyerap berbagai informasi. Namun, tak dapat dipungkiri pula banyak kekurangan dan dampak negatif yang akan dirasakan jika pemerintah tidak benar-benar melakukan kontroling terhadap semua siaran yang dapat di akses masyarakat melalui TV digital.

Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan perubahan ini, hal lain yang tak dapat ditampik adalah adanya penguasaan oligarki di dalam tubuh pemerintah. Sebab, kebijakan pemerintah yang diambil sering kali tidak melihat kondisi masyarakat yang ada. Pasca pandemi Covid-19 yang melanda, pertumbuhan ekonomi masyarakat belumlah kembali seutuhnya. 

Jangankan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, masyarakat justru merasakan napas yang kian sempit lantaran kebijakan lain yang semakin menyengsarakan rakyat. Kenaikan BBM, kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan bahan pangan dan kebutuhan lainnya, tingginya pemutusan hubungan kerja secara massal, merupakan sebagian beban yang kini dirasakan masyarakat.

Memang, keberpihakan kepada korporasi merupakan hal yang wajar dalam sistem pemerintahan demokrasi. Sistem yang lahir dari ideologi kapitalisme ini memang lebih mengutamakan kaum elit atau oligarki dan pihak korporasi ketimbang rakyat sendiri. Sebab sistem kapitalisme tegak atas dasar pemisahan agama dalam kehidupan. 

Landasan inilah yang kemudian mengharuskan segala kebijakan hanya disandarkan kepada keuntungan materi yang harus didapatkan oleh para kapitalis. Bahkan makna kebahagiaan dalam sistem kapitalisme hanya untuk memperoleh manfaat semata. Sehingga, penerapan sistem kapitalisme merupakan sumber dari segala aturan yang mencekik rakyat.

Prinsip dalam sistem kapitalisme sangat berbeda dengan prinsip di dalam sistem Islam. Sistem Islam menjadikan keimanan atau akidah Islam sebagai landasan berpikir dan bersikap. Sistem Islam juga berprinsip bahwa negara merupakan pelayan bagi rakyatnya. Negara tidak boleh memberikan kebijakan yang dapat menyengsarakan rakyat. Apalagi jika kebijakan tersebut ada yang menyalahi aturan di dalam hukum Islam.

Sistem Islam juga mengharuskan negara melakukan kontrol terhadap masyarakat dan penerapan syariat Islam di dalam kehidupan. Kalau pun ada pihak swasta yang boleh mendirikan usaha termasuk dalam bidang hiburan, maka negara dalam pandangan Islam harus memiliki mekanisme dan aturan yang jelas terhadap setiap pihak yang meminta ijin kepada negara. 

Jika pihak swasta atau yang lain ada yang melanggar hukum Islam maka negara juga wajib menindak tegas. Negara yang bertanggung jawab sebagai pelayan dan pengayom masyarakat tak lain adalah negara yang juga menerapkan syariat Islam secara keseluruhan di semua aspek kehidupan.


Oleh: Firda Umayah
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar